Senin, 27 Oktober 2014

KAJIAN NILAI FILOSOFIS PADA KARAKTER VIBHISANA DALAM YUDHA KANDA (LAKON WAYANG)



KAJIAN NILAI FILOSOFIS PADA KARAKTER VIBHISANA DALAM YUDHA KANDA

1.1  Latar Belakang Masalah
Sumber ajaran agama Hindu adalah kitab suci Veda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Brahman melalui para Maha Rsi. Veda adalah kitab yang isinya berdasarkan wahyu sehingga Veda itu sangat suci.  Isi ajarannya sangat luas dan dalam, bahasa dan sifatnya sangat rahasia sehingga untuk kalangan tertentu sulit dipahami secara baik dan benar. Agar Veda itu dapat dipahami oleh setiap umat dalam segala lapisan dengan baik dan benar maka Veda harus dipelajari berjenjang atau melalui berbagai bentuk pustaka suci yang isinya dekat dengan isi Veda.
Veda diibaratkan samudera yang sangat luas dan dalam yang mengandung banyak rahasia. Untuk lebih memahaminya perlu diketahui setiap bagian Veda dan hubungannya satu dengan yang lainnya. Kitab suci Veda dibagi menjadi dua yaitu Veda Sruti dan Veda Smerti. Dalam kitab  Sarasamuscaya 39 dinyatakan :
Ndān Sang Hyang Veda, paripūrnakena sira, makasādhana sanghyang itihāsa, sang hyang pūrana, apan atakut sang hyang Veda ring akêdik ajinya, ling nira, kamung hyang, haywa tiki umarā ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut.
Terjemahannya :
Veda itu hendaklah dipelajari dengan sempurna dengan jalan mempelajari Itihasa dan Purana, sebab Veda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya “wahai tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang kepadaku” demikian konon sabdanya, karena takut (Kajeng, 2005:32).

Itihasa dan Purana adalah kitab-kitab yang dapat dibaca untuk memahami Veda. Ramayana dan Mahabharata salah satu epos yang  tergolong Itihasa. Jadi untuk mendalami isi Veda itu hendaknya dipahami terlebih dulu isi Itihasa dan Purana. Karena itu, di kalangan umat Hindu umumnya, Ramayana dan Mahabharata sangat popular. Itihasa adalah kitab suci yang termasuk golongan Smrti. Di dalam kitab–kitab Itihasa dan Purana dijumpai pula tentang ajaran moral, kesusilaan (sila) dan tradisi (acara) yang hidup dalam masyarakat  (Titib, 1996:5).
Kitab Ramayana ditulis oleh Valmiki yang dalam tradisi India disebut sebagai Adi Kawi (penyair utama). Adi kawi juga berarti penyair idaman. Dengan demikian, Ramayana adalah syair utama dan idaman (Calcuta, 1980:ix). Ramayana merupakan epos yang lebih tua dari Mahabharata, yang memiliki banyak nilai-nilai kebaikan bersumber dari kitab suci Veda yang dapat dijadikan pedoman untuk menjalani hidup bahagia di dunia.
Di dalam kisah Ramayana terdapat berbagai tokoh yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang berkarakter baik dan juga ada yang berkarakter jahat yang pada hakikatnya adalah penggambaran dari rva bhineda. Dari sekian banyak tokoh dalam epos Ramayana, tokoh Vibhisana mendapat perhatian penting bagi peneliti, karena tokoh ini berani menentang prilaku adharma yang telah banyak dan sering dilakukan oleh kaumnya dan khususnya raja raksasa Ravana. Bagi masyarakat luas, tokoh Vibhisana dalam kisah Ramayana tidak boleh dilupakan, karena kegigihannya mempertahankan nilai-nilai dharma agama. Walaupun sesungguhnya hidup Vibhisana dalam kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan untuk berbuat kebajikan. Lingkungan Vibhisana penuh dengan perilaku adharma dan keserakahan, namun tidak menyurutkan hati Vibhisana melaksanakan ajaran-ajaran dharma.Vibhisana semakin menegaskan bahwa dharma dapat ditegakan walau seseorang itu berada dalam lingkungan adharma. Bagaikan emas walaupun ditaruh dalam lumpur tetap saja adalah emas. Vibhisana ibarat emas yang masuk di kubangan lumpur, jika tidak keluar dari kubangan tersebut maka emasnya tidak akan terlihat karena tertutup oleh lumpur. Sehingga adalah benar tindakan Vibhisana yang pergi meninggalkan keluarga dan memihak kepada Rama agar kebenaran yang menjadi prinsip hidupnya terpancar kembali.
Peneliti merasa perlu dan tertarik untuk mengangkat tema ini karena di jaman sekarang, karakter seperti Vibhisana sangat sulit ditemukan yang memiliki karakter sangat kuat dalam memegang teguh prinsip kebenaran. Kebenaran harus selalu ditegakan di bumi ini. Siapa lagi yang akan berani mengubah dan membela kebenaran, ketika yang mengerti hanya diam dan duduk saja membiarkan semuanya menjadi hancur berantakan. Seseorang harus berani berbeda pendapat jika memang pendapat yang diyakini itu adalah kebenaran dan mempertahankan pendapat itu. Sosok seperti ini sangat langka dan sulit ditemui dijaman ini. Pada umumnya ketika seseorang berada dalam satu lingkungan yang kecenderungannya buruk pasti akan terpengaruh oleh lingkungan yang buruk. Jika lingkungannya baik maka sifat dan watak seseorang itu pasti baik. Contohnya, jika seseorang pedagang pasti dilingkungannya bergelut dibidang ekonomi dan pembicaraannya tidak jauh-jauh dari untung dan rugi. Begitu juga, misalnya sebuah lingkungan yang tingkat kriminalnya tinggi pasti kemungkinan besar seseorang yang berada di lingkungan tersebut akan terpengaruh. Namun asumsi ini tidak berlaku bagi tokoh Vibhisana yang tidak terpengaruh oleh lingkungan dan bahkan keluarganya sendiri, karena di kerajaan Lańka merupakan kerajaan yang semua penduduknya adalah raksasa, yang notabene raksasa sering melakukan tindakan yang melanggar ajaran dharma. Ibarat lilin yang rela habis demi menerangi kegelapan, seperti itu tindakan Vibhisana yang ada dalam lingkungan raksasa. Walau hanya seorang diri Vibhisana berani menentang tindakan adharma yang dilakukan oleh keluarganya sendiri.
Ketika seorang diri Vibhisana menyuarakan tentang kebenaran di lingkungan raksasa, hal itu sangat sulit untuk diterima oleh para raksasa karena mereka terpengaruh oleh avidya. Memang sangat sulit untuk merubah kebiasaan yang telah menjadi warisan turun-temurun. Oleh karena itu perlu perjuangan yang keras demi merubah kebiasaan tersebut. Nasehat dan tindakan Vibhisana ibarat pil pahit namun menyembuhkan. Jika nasehat sudah tidak mampu mengatasinya maka tindakan yang utama. Sehingga nanti akan membawa perubahan baik bagi kerajaan Lańka. Ketika seorang raja yang menjalankan roda pemerintahan dengan angkuh, penuh nafsu dan tidak mendengarkan nasehat kebenaran namun selalu mendapat dukungan dari rakyatnya, sebenarnya secara tidak sadar rakyat telah dijerumuskan kejurang kehancuran. Sehingga raja yang seperti itu tanda jasanya sebagai seorang raja hanya menjadi simbol yang percuma.
Karakter yang baik menjadi seorang pemimpin adalah yang konsisten dalam sikap dan perbuatan serta memberi pengaruh sosial bagi lingkungannya. Dengan tindakannya, Vibhisana lahir menjadi pahlawan yang berani merubah sifat para raksasa dari adharma menjadi dharma. Walau keluarga yang mendukung tindakan raja Ravana menyebut Vibhisana adalah seorang penghianat. Namun pada akhirnya Vibhisana telah melakukan perubahan besar para kerajaan Lańka. Sebab sifat dan karakter manusia yang stabil memungkinkan perilaku seseorang berubah dalam waktu tertentu tergantung situasi dan kondisinya. Disatu waktu dianggap penghianat, tapi disaat yang sama disebut sebagai pahlawan. Ibarat pejabat yang punya kinerja baik dan banyak membuat kebijakan yang menguntungkan masyarakat dia adalah pahlawan, tapi tak disangka ternyata si pejabat terjerat korupsi, dia adalah pengkhianat. Seperti itulah tindakan raja Lańka Ravana, demi memuaskan nafsunya rela mengorbankan sanak saudara dan rakyatnya untuk berperang. Berbeda dengan Vibhisana yang rela meninggalkan semuanya demi kebenaran dan nantinya akan datang kembali membawa perubahan. Banyak sekali ajaran-ajaran dharma yang dapat dipetik dari setiap karakter tokoh dalam cerita Ramayana, seperti Viveka, pengabdia, kesetiaan, teguh dan berbudhi luhur. Sehingga ketika seseorang sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk maka seseorang itu akan sadar akan hakikat kebenaran yang sejati. Karena pada dasarnya seseorang selalu terpengaruh oleh tiga sifat dasar yang saling melengkapi. Namun sifat dharmalah yang harus ditonjolkan.
Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji nilai-nilai yang terdapat pada tokoh Vibhisana khususnya nilai filosofis karakter Vibhisana berjudul “Kajian nilai filosofis pada karakter Vibhisana dalam Yudha Kanda”.

1.2  Batasan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka penulis membatasi masalah penelitian ini hanya pada penyebab Vibhisana berbeda karakter dengan saudara–saudaranya dan nilai filosofis pada karakter Vibhisana.
1.3  Rumusan Masalah
Mengacu kepada latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
1.3.1        Mengapa Vibhisana berbeda karakter dengan saudara–saudaranya ?
1.3.2        Nilai Filosofis apa yang terkandung dalam karakter Vibhisana ?

1.4  Tujuan Penelitian
     Dengan mempelajari cerita Ramayana yang merupakan karya sastra sejarah, untuk membuktikan bahwa cerita ini memang mengandung kebenaran. Ramayana merupakan kisah yang benar-benar terjadi dan bukan cerita dari negeri dongeng. Sejarah ini disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan  kisah ini akan selalu abadi. Kitab Amarakosa, sejenis glosari yang ditulis oleh pujangga besar bernama Amarasingha, menyatakan bahwa nama lain dari Itihasa adalah akhyayika, Amarakosa I.6.5
     Akhyayikopalabdhartha
     Terjemahan :
     Cerita yang sungguh-sungguh terjadi adalah akhyayika
     (Titib, 1996:6)
Berdasarkan Sloka di atas, semakin menegaskan bahwa kisah Ramayana adalah sejarah yang benar-benar dan abadi. Kisah ini penuh dengan nilai-nilai filosofis, heroik dan berbagai tokoh yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Tujuan dari penelitian ini adalah merujuk pada permasalahan yang telah dirumuskan di atas yaitu :
1.      Mengetahui latar belakang yang menyebabkan Vibhisana berbeda karakter dengan saudara-saudaranya.
2.      Mengetahui nilai-nilai filosofis pada karakter Vibhisana.

1.5  Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan hendaknya memiliki nilai manfaat bagi kehidupan masyarakat maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Demikian pula dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu manfaat, khususnya bagi masyarakat dan perkembangan pengetahuan tentang Hindu.
Secara garis besar, manfaat penelitian ini terbagi ke dalam dua aspek, yaitu:
1.5.1  Manfaat Praktis
Melalui epos  Ramayana  masyarakat secara praktis diberikan suatu tuntunan untuk hidup berdasarkan pada ajaran Veda. Tuntunan tersebut diberikan melalui nilai-nilai yang terkandung dalam epos Ramayana. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan nilai filosofis yang ada pada karakter Vibhisana  dalam Yudha Kanda.
1.5.2  Manfaat Teoritis
Sebagai bagian dari masyarakat akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan agama Hindu. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi penelitian-penelitian yang akan datang berkaitan dengan konsep tentang karakter tokoh pada epos Ramayana khusunya dalam Yudha Kanda.

2.1  Landasan Konseptual
Dalam penulisan skripsi ini, penulisan menggunakan landasan konseptual yang menguraikan tentang pengertian–pengertian mengenai suatu istilah yang berhubungan dengan nilai filosofis pada karakter Vibhisana. Beberapa istilah yang dijelaskan dalam skripsi, adalah :
2.1.1 Nilai
Agama dalam kehidupan pemeluknya merupakan ajaran yang mendasar yang menjadi pandangan atau pedoman hidup. Pandangan hidup ialah konsep nilai yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang mengenai kehidupan. Apa yang disebut nilai-nilai adalah sesuatu yang dipandang berharga dalam kehidupan manusia, yang memengaruhi sikap hidupnya. Manusia antara yang satu dengan yang lainnya sering memiliki pandangan hidup yang berbeda berdasarkan agamanya masing-masing.
Nilai adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Menilai berarti menimbang-nimbang dan membandingkan sesuatu dengan yang lainya untuk kemudian mengambil sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan ini yang disebut dengan nilai. Yang dinilai disini dapat berupa benda, sikap atau tindakan seseorang. Pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai bersumber dan terkait dengan: (1) Agama, sebagai sistem keyakinan yang mendasar, sakral dan menyeluruh mengenai hakikat kehidupan yang pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan; (2) Ideologi, sebagai sistem paham yang ingin menjelaskan dan melakukan perubahan dalam kehidupan ini, terutama dalam kehidupan sosial-politik; dan (3) Filsafat, sistem berpikir yang bijaksana (Nashir, 2013:64). Pandangan hidup manusia dapat diwujudkan dalam cita-cita, sikap hidup, keyakinan hidup dan lebih konkrit lagi perilaku dan tindakan.
Menurut Max Scheler (seperti dikutip Wahana, 2004: 52-53), nilai harus dipahami sebagai yang bersifat absolut, tetap dan tidak berubah, serta tidak tergantung pada dunia indrawi yang selalu berubah dalam sejarah. Nilai juga diartikan suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik buruk, indah maupun tidak indah, layak atau tidak layak, adil dan tidak adil dan lain sebagainya. Pada hakikatnya segala sesuatu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongannya.

Menurut pengertian yang absolut, nilai kebaikan adalah nilai yang tampak pada tindakan mewujudkan nilai yang tertinggi dan nilai kejahatan adalah nilai yang tampak pada tindakan mewujudkan nilai terendah (Wahana, 2004: 56). Dengan demikian, segala sesuatu tindakan yang positif melekat pada kebaikan sedangkan suatu tindakan yang negatif melekat pada kejahatan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia  pengertian nilai disebutkan sebagai berikut :
Nilai adalah harga (dalam arti taksiran harga), sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikat: etika, nilai yang berhubungan dengan akhlak, nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan masyarakat. Bernilai artinya memiliki harga, ternilai artinya terkiranya harga dan penilaian artinya juru taksir (Tim penyusun,  2003:783).

Menurut I Nyoman Arya Sugiarta (Skripsi,  2012:16) berjudul “ Analisis Pendidikan Karakter Prajurit Bangsa dalam Perspektif ajaran Hindu ”, nilai berarti norma atau sesuatu yang baik, sesuatu yang dapat diterima masyarakat dan berguna bagi kelangsungan hidupnya. Nilai hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati. Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat batiniah. Menilai berati menimbang, yaitu kegiatan manusia yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk mengambil suatu keputusan.
      Menurut K.Bertens (2013:112), nilai sekurang–kurangnya memiliki tiga ciri yaitu :
a)      Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, tidak ada nilai. Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai “indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subjek yang menilai.
b)      Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata–mata teoritis, tidak akan nada nilai.
c)      Nilai–nilai menyangkut sifat–sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat–sifat yang dimiliki oleh obyek.
      Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang memiliki makna tersendiri, tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya dan dapat dihitung. Nilai memiliki level–level tersendiri dan besar kecilnya nilai dilihat dari cara pandang seseorang dalam menyikapi sesuatu hal.  Ada juga yang menyatakan nilai adalah segala sesuatu yang memiliki makna kualitas, bobot, isi kandungan dari sesuatu hal yang berguna bagi kehidupan manusia. Persoalan tentang nilai merupakan salah satu masalah yang sangat sulit dalam filsafat karena sangat bermakna. Nilai juga sangat menarik karena amat dalam dan luas sehingga menyentuh kehidupan manusia dan bahkan boleh dikatakan menyentuh eksistensi manusiawi.
      Dalam skripsi ini peneliti mengkaji nilai filosofis dalam karakter Vibhisana. Nilai yang dimaksud adalah tentang karakter dari Vibhisana. Hubungan nilai dengan karakter berlandaskan ajaran agama Hindu adalah pada ajaran-ajaran tentang susila, karena susila mengajarkan tentang nilai kebaikan dan viveka. Dengan nilai-nilai yang tertanam dalam ajaran tersebut, diharapakan dapat membentuk karakter yang baik dan berguna bagi individu yang lain. Karena Vibhisana memiliki karakter yang berbeda dengan kaum raksasa pada umumnya, sehingga Vibhisana memiliki nilai positif sebagai karakter yang memegang teguh ajaran kebenaran. Nilai dapat bermuatan positif maupun negatif, benar atau salah, baik atau buruk, hal itu dapat terjadi jika nantinya ada yang meneliti karakter Vibhisana dari sudut pandang yang  berbeda. Dalam skripsi ini peneliti mengkaji nilai filosofis dalam karakter Vibhisana. Jadi dalam skripsi ini terkandung makna nilai yang positif pada karakter Vibhisana.

2.1.2.Filosofis
        Filosofis merupakan pemaknaan terhadap suatu teks, berdasarkan ilmu filsafat, yaitu dengan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budhi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukum. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang terdiri dari dua suku kata, yaitu philo yang berarti cinta atau philia yang berarti persahabatan dan kata sophos yang memiliki berbagai analog yaitu kebijaksanaan, keterampilan, pengalaman dan pengetahuan. Sehingga filsafat secara singkat disebut sebagai cinta akan kebijaksanaan (Semiawan, Setiawan dan Yufiarti, 2005:115).
Menurut Soetriono dan Hanafie (2007:20) mengatakan secara umum filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Dengan cara ini maka jawaban yang akan diberikan berupa kebenaran yang hakiki.
Menurut Sudarto (dalam Sukarini, 2007:19-20) filsafat sebagai asas atau paradigma yang nilai kebenarannya telah diyakini dan diterima oleh seseorang atau suatu kelompok sebagai dasar atau pedoman untuk memecahkan masalah dalam kehidupan. Yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu pengetahuan adalah kebenaran akal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran wahyu (Soetriono dan Hanafie, 2007:23).
Menurut Soetriono dan Rita Hanafie (2007: 20) mengatakan pengertian filsafat  dapat dirangkum sebagai berikut, yaitu :
a)      Filsafat adalah hasil pemikiran manusia yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematis.
b)      Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang paling dalam.
c)      Filsafat adalah pandangan hidup.
d)     Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan menyeluruh.
Dalam modul filsafat, istilah filsafat berarti : (1) kerendahan hati; (2) mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang seberapa jauh sebenarnya yang dicari telah dijangkau (Tim Penyusun, 2010:1-2).
Dalam konsep Hindu istilah filsafat dinamakan Tattva. Kata “Tattva” ini berarti kebenaran yang utama dan hakiki. Kata Tattva juga berasal dari kata “Tat”, yang berarti jiwa yang tertinggi (Tuhan). Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat yakni suatu kebenaran yang hakiki dan utama (Sudarma, Skripsi, 2003:60). Tattva begitu diyakini kebenarannya, karena itu tattva memiliki dimensi keyakinan yang terdapat dalam filsafat. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, sementara tattva adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya  (Putra, Jelantik dan Argawa, 2013:99).
Kerangka dasar agama Hindu yang terdiri dari tiga bagian, yaitu tattva    (filosofi), susila (etika), dan upakara (ritual). Kesatuan ketiganya dianalogikan seperti sebutir telur, dimana tattva adalah bagian kuning (inti paling dalam), susila atau etika (bagian putih) dan upakara (bagian kulit) (Madrasuta, 2013:52). Sedangkan filosofi adalah studi mengenai kebijaksanaan, dasar–dasar pengetahuan dan proses yang digunakan untuk mengembangkan dan merancang pandangan mengenai suatu kehidupan. Filosofi memberi pandangan dan menyatakan secara tidak langsung mengenai sistem keyakinan dan kepercayaan.
Kata filosofis merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Belanda yaitu filosofy, menurut kamus filsafat bahasa inggris Philosophy yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Sehingga filosofis adalah bentuk penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Kata filsafat atau philosophia itu dapat diartikan cinta atau berkawan ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan. Apabila kebijaksanaan ini telah dapat diamalkan dalam bentuk berbagai perbuatan baik lahir maupun bathin, dan telah adanya penyesuaian antara kebijasanaan dengan objeknya, makan itulah yang dinamakan ”Kebenaran” dalam filsafat. Adapun jenis tingkat dan nilai dari kebijaksanaan atau kebenaran itu adalah berbeda–beda tergantung pada perkembangan desa, kala dan patra serta menurut dasar dan tujuan kemampuan logika manusia yang berfilsafat (Sudarma, Skripsi, 2003:56).

  Dalam KBBI, Tim Penyususn (1992:317) kata filosofis berarti pemaknaan terhadap suatu teks berdasarkan ilmu filsafat yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budhi mengenai hakekat segala yang ada sebab asal dan hukuman dan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi. Filosofi dapat didefinisikan dari sudut pandang yang berbeda. Masing–masing sudut pandang perlu diingat sebagai suatu pemahaman yang jernih mengenai makna filosofi. Adapun sudut pandang tersebut adalah :
a.       Filosofi adalah suatu metode pemikiran dan pengkajian berdasarkan pertimbangan yang sehat;
b.      Filosofi adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan yang menyeluruh.
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2125904-makna- filosofi”(diakses pada tanggal 26–02–2014)
Jadi filsafat merupakan sebuah studi atau ilmu sedangkan filosofis adalah segala hal yang berkaitan dengan kecintaan atas kebijaksanaan (segala yang berkaitan dengan filsafat). Para rohaniawan berpendapat, bahwa yang dianggap kebenaran yang tertinggi dan hakiki adalah Tuhan itu sendiri. Apabila seseorang telah mempersatukan kembali Atma dengan Tuhan Yang Maha Sempurna, itulah orang yang bijaksana dan telah mencapai kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi dan abadi yang dalam istilah agama Hindu disebut Moksa. Dapat disimpulkan bahwa filosofis senantiasa dan terus menerus bertujuan untuk dapat mencapai hakekat kebenaran sesuatu yang setinggi–tingginya.
Makna filosofis dalam skripsi ini adalah sebagai pemahaman makna yang sangat mendalam bagi tokoh Vibhisana yang memiliki karakter berbeda dengan saudara-saudaranya, serta memiliki makna bagi kehidupan dewasa ini. Dalam skripsi ini makna filosofis pada setiap tokoh Ramayana tentunya berbeda-beda. Namun ketertarikan peneliti untuk meneliti dan mencari makna filosofis pada karakter Vibhisana dimana Vibhisana berani menjadi diri sendiri di tengah lingkungan yang sebenarnya sangat mempengaruhi kehidupannya.
Filosofis secara umum dapat ditemukan di dalam ajarannya, karakter dari tokoh yang menjadi objek penelitian serta keyakinan dan pandangan-pandangannya. Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk dan diarahkan. Makna filosofis pada karakter Vibhisana bisa saja membawa dampak bagi peneliti  dan pembacanya karena tokoh ini seyogyannya dapat menjadi panutan dalam menjalani kehidupan. Pembentukan karakter manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang memengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial  dan melalui agama.

2.1.3 Karakter
Karakter merupakan standar atau norma dan sistem nilai yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter dilandasi nilai-nilai luhur, yang pada akhirnya terwujud di dalam perilaku. Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda sehingga sifat-sifat itulah yang membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Karakter secara kebahasaan adalah sifat-sifat kejiwaan atau budhi pekerti yang membedakan seseorang dari orang lain (Tim Penyusun, 1997:444). Dalam Kamus Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat–sifat kejiwaan atau budhi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (Tim penyusun, 1992:88).
Menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi  pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan (Mu’in, 2013:160). Peterson dan Seligman mengkaitkan secara langsung karakter dengan kebajikan. Karakter merupakan kumpulan tingkah laku baik dari seorang anak manusia, tingkah laku ini merupakan perwujudan dari kesadaran menjalankan peran, fungsi dan tugasnya mengemban amanah dan tanggung jawab (Sudewo, 2011:13). Menurut Samuel Smiles (Tim Sosialisasi, 2003:vii) mengatakan bahwa karakter adalah suatu kehormatan dalam diri seseorang, sebagai harta yang paling penting. Karakter merupakan niat baik dan kehormatan seseorang, sebagai investasi berharga, meskipun mereka tidak menjadi kaya secara materi. Mereka yang berkarakter akan memperoleh hasil berupa harga diri dan kemenangan yang terhormat secara adil.
Menurut Subandi (1978:12), karakterisasi merupakan pola pelukisan seseorang yang dapat dipandang dari segi fisik, psikis dan sosiologis. Segi fisik, melukiskan karakter pelaku misalnya, tampang, umur, raut muka, rambut, bibir, hidung, bentuk kepala, warna kulit dan lain sebagainya. Segi psikis, melukiskan karakter pelaku melalui gejala-gejala pikiran, perasan dan kemauannya. Dari segi sosiologis melukiskan watak pelaku melalui lingkungan hidup kemasyarakatan. 
Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang membedakan dari orang lain seperti kepercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya (Nashir, 2013:13). Manusia berkarakter adalah manusia yang sanggup memelihara karakter yang akan bermanfaat besar bagi manusia dalam pergaulan hidup, tanamkan benih kebaikan, dan tertanamnya kebiasaan baik (Dwi Arisetia, Skripsi, 2013:13). Karakter buruk masih dapat diperbaiki, utamanya ketika seseorang masih masa kanak-kanak, sedangkan karakter negatif akan sulit diperbaiki ketika sudah dewasa, kecuali ada pengalaman yang menyentuh, utamanya sentuhan Tuhan Yang Maha Esa karena pada waktu penjelmaanya dulu pernah berbuat baik (Titib, 2004:28). Tetapi karakter negatif pada seorang anak apabila tidak dididik dengan baik ibarat sebuah titik api yang masih kecil, mungkin orang akan meremehkannya, tetapi ketika api sudah menyala besar merupakan ancaman akan terjadinya kebakaran. Ketika itu sudah terjadi, barulah orang akan sadar, bahwa api kecil itu mesti segera dipadamkan. Anak yang berkarakter tidak baik, dengan penuh kasih sayang mesti dididik dengan baik. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.
Willam Stern berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan menentukan pembentukan karakter manusia (Purwanto, 2013:15). Pembawaan adalah semua kesanggupan-kesanggupan yang dapat diwujudkan karena kemampuan itu sudah ada dalam pembawaannya (Purwanto, 2013:22). Sifat-sifat yang termasuk dalam struktur pembawaan itu tidak semuanya dapat berkembang atau menunjukan diri dalam perwujudannya. Pembawaan adalah potensi-potensi  yang aktif  dan pasif, yang terus berkembang hingga mencapai perwujudannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa, semua yang dibawa oleh anak sejak  dilahirkan adalah pembawaan. Sedangkan lingkungan, menurut Sartain mengatakan bahwa lingkungan adalah semua kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan (Purwanto,2013:28). Menurut Woodworth, cara-cara individu berhubungan dengan lingkungannya dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu individu bertentangan dengan lingkungannya, individu menggunakan lingkungannya, individu berpartisipasi dengan lingkungannya, individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Purwanto, 2013:28). Jika dikaitkan dengan karakter Vibhisana, dia yang bertentangan dengan Ravana dan lingkungannya, karena faktor bawaan dan keturunan sejak lahir. Vibhisana mengubah lingkungannya sesuai dengan keinginan dirinya.
Jadi karakter adalah penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk). Karakter bukan hanya bawaan lahir tetapi juga terbentuk melalui lingkungan dan penghayatan nilai-nilai tertentu yang ditanamkan oleh lingkungan. Pendidikan karakter bukan hanya dengan cara tunduk saja pada pengaruh lingkungan, melainkan dengan cara kritis menilai dan kemudian mengambil sikap yang tepat. Seperti karakter Vibhisana yang pada dasarnya tidak terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, karakter tidak hanya terpengaruh oleh lingkungan melainkan juga prinsip yang dipegang teguh oleh seseorang, yang menjadikannya kuat walau dilingkungan yang berlawanan dengan prinsip hidupnya.
2.1.3.1 Unsur Pembentuk Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran. Karena di dalam pikiran terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
 Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, dapat dipahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, maka akan mudah mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan berkaitan dengan perasaan, Mu’in (2013:206) mengatakan bahwa pikiran dan perasaan memang tidak bisa dipisahkan dalam pembentukan karakter manusia. Karena yang bisa menilai baik dan buruk itu adalah pikiran sedangkan perasaan itu muncul karena karena dibentuk oleh penilaian terhadap sesuatu yang nyata.
 Disadari atau tidak, jika pikiran lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan. Pada umumnya tujuan pendidikan menurut  Swami Satya Narayana adalah untuk pembentukan karakter yang baik (character building). Senada dengan itu disebutkan bahwa tujuan pengetahuan adalah kearifan, tujuan peradaban adalah kesempurnaan, tujuan kebijaksanaan adalah kebebasan, dan tujuan pendidikan adalah karakter yang baik  (Titib, 2003:19).
Selain pikiran, ada beberapa unsur dimensi manusia secara psikologis dan sosiologis yaitu sikap, emosi, kepercayaan dan kemauan. Menurut Mu’in (2013:168-178) mengatakan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1.      Sikap adalah suatu perilaku tertentu dan menjadi keunikan pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang dipertahankan dan dikelola oleh individu.
2.      Emosi adalah gejala dimensi dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efek kesadaran dan perilaku. Golongan-golongan emosi yang secara umum ada pada manusia yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu.
3.      Kemauan adalah kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang. Ada orang yang kemauanya keras, tetapi ada juga orang  yang kemauannya lemah. Kemauan erat kaitannya dengan tindakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.
Konsep pembentukan karakter yang dicerminkan oleh tingkah laku dan ucapan memang tak dapat dilihat tanpa mengkaitkan manusia dengan lingkungannya.
2.1.3.2  Pengaruh Tri Guna terhadap Karakter
Tri Guna adalah tiga tingkatan sifat yang mempengaruhi manusia. Bagian dari Tri Guna yaitu sattwam, rajas dan tamas. Ketiga sifat ini saling berkaitan dan mempengaruhi karakter manusia. Sattwam yang bersifat terang dan bersinar, selalu berdasarkan kebenaran, kesucian, kasih sayang, tenang, tidak berburu nafsu, bijaksana, senantiasa dengan sifat kedewasaan. Rajas adalah kegiatan yang terdorong oleh nafsu, semangat dan kemauan yang besar untuk mencapai tujuan. Sebaliknya sifat–sifat yang dikuasai oleh Tamas, cenderung bersifat jahat, tidak bertanggung jawab, loba, bodoh, egois, tidak ada rasa kepedulian.
Agama senantiasa menekankan agar manusia berbuat yang dikuasai sifat–sifat sattwam dan menjauhkan perbuatan yang dikuasai rajas dan tamas. Dalam situasi tertentu mungkin dapat dibenarkan melakukan sesuatu dengan sifat rajas, dalam artian bersemangat untuk mendorong terlaksananya sesuatu yang diperlukan, asalkan tetap berdasarkan dharma yaitu  kejujuran, kebenaran, dan perasaan keadilan  (Jelantik, 2009:66).
Pembagian Guna menjadi dua macam, sesuai dengan klasifikasi perbuatan ke dalam dharma dan adharma. Dharma adalah lambang kebenaran sedangkan adharma adalah lambang kejahatan dan kegelapan. Dharma meliputi bukan hanya perbuatan–perbuatan sattwam melainkan juga perbuatan–perbuatan sattwam–rajas. Maka adharma meliputi bukan hanya perbuatan tamas melainkan juga tamas–rajas. Konsepsi yang lebih murni dan lebih spiritual yang dimiliki oleh manusia tentang Dewa–Dewa, timbul dari keunggulan sattwam guna yaitu kejernihan, kebaikan dan kemurnian. Pandangan yang menunjukan kemarahan, mudah berang dan emosional timbul dari impuls–impuls rajas guna. Mahluk–mahluk yang mempunyai karakter tidak baik, lahir dari kegelapan tamas guna. Aspek–aspek dan personifikasi dari esensi ketuhanan akan terlihat seperti bervariasi sesuai dengan keluasan pengaruh dari salah satu unsur tri guna di dalam sifat manusia (Sudharta, 2007:21). Dalam kitab suci Bhagavad Gita XVII.2 dan XVII.4 disebutkan:
Śri bhagavān uvāca :
tri-vidhā bhavati śraddhā
                                   dehinām sā  svabhāva jā,
sāttvikĪ rājasĪ caiva
tāmasĪ ceti tām śrnu.
(Bhagavad Gita XVII.2)
Terjemahan :
Ada tiga macam keyakinan, yang tergantung kepada watak perwujudan badan, yaitu bersifat sattwam, rajas dan tamas; dengarlah itu semua (Pudja, 2004:387).

yajante sāttvikā devān
yaksa raksamsi rājasāh,
pretān bhūta ganāms cānye
yajante tāmasā janāh.
(Bhagavad Gita XVII.4)
Terjemahan :
Orang yang bersifat sattwam memuja pada Dewata, yang bersifat rajas memuja yaksa dan raksasa, sedangkan lainnya yang bersifat tamas memuja roh orang mati dan para bhuta (Pudja, 2004:388).

Berdasarkan sloka diatas, bahwa manusia sudah sejak sebelum lahir dipengaruhi oleh tri guna. Ketiga sifat ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan yang akan dijalaninya. Seseorang akan hidup bahagia jika sattwam yang dominan mempengaruhi dirinya. Namun tanpa dipengaruhi oleh rajas, akan terasa tidak punya semangat untuk bertindak. Oleh karena itu sattwam dan rajas saling berpengaruh satu dengan yang lain. Namun sebaliknya jika tamas dan rajas yang dominan maka hidup akan terbelenggung dalam kegelapan dan penderitaan. Jika dilihat dari posisinya, rajas bersifat netral, jika rajas bersanding dengan sattwam maka akan muncul sifat dharma, sedangkan jika rajas bersanding dengan tamas akan muncul sifat adharma.
Di dalam Bhagavad Gita Bab XVI telah terlihat sangat jelas menggambarkan dua macam karakter, yaitu karakter daivah dan karakter asura. Di dalam Bhagavad Gita XVI.6 disebutkan :
dvau bhūta – sargau loke ‘smin
daiva āsura eva ca
daivo vistarasah prokta
asuram partha me srnu
Terjemahan :
Ada dua macam mahluk ciptaan di dunia ini, yang mulia dan yang jahat; yang mulia telah diuraikan secara terperinci,           (selanjutnya) dengarkan tentang yang jahat, dari Aku, wahai Partha (Arjuna)  (Pudja, 2004:374).

Namun ada satu karakter lagi, yaitu karakter paisacik. Karakter paisacik ini tergolong dalam karakter asura dan sebagian diabaikan karena terlalu rendah untuk dipertimbangkan. Bahwa orang–orang yang lahir karena pengaruh jnana memperoleh karakter daiwik, sedangakan yang lahir dari pengaruh–pengaruh ajnana memperoleh karakter asurik (Sudharta, 2007:55). Jadi karakter yang baik tidak terbentuk dari sattwam guna saja. Akan tetapi karakter seseorang didalam kehidupannya menempatkan sattwam pada karakter yang paling tinggi, lalu rajas dan tamas posisi yang paling rendah. Dengan kata lain, orang yang berkarakter baik kebanyakan dipengaruhi oleh sattwam guna, ada kalanya rajas guna dan sesaat tamas guna. Tetapi jika sebaliknya tamas guna dan rajas guna yang menonjol di dalam karakter seseorang maka akan  berkarakter buruk.
2.1.4 Vibhisana
Vibhisana adalah anak dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Vibhisana adalah anak yang paling bungsu dan Vibhisana sebagai seorang satria rupawan tanpa cacat. Keningnya berkilat-kilat menyimpan cahaya rahasia. Nama Vibhisana diberikan oleh Rsi Wisrawa dengan sebuah pengharapan, semoga anak ini berwatak brahmana dan satria sejati. Berani mempertahankan pendirian dan bersedia mengorbankan apa saja demi membela kebenaran, sabda Rsi Wisrawa (Pratikto, 1980:58).
Vibhisana dalam istilah sanskerta yang berarti dia yang luar biasa. Vibhisana memiliki fisik yang kuat dan kesaktian yang diperolehnya dari Bhatara Brahma, namun dia tidak mau menyalahgunakan kehebatan dirinya. Ia sangat disiplin dan memegang teguh kebajikan (Pandit, 2009:226). Vibhisana adalah adik bungsu Ravana. Sosoknya tampan dan menunjukan kebajikan yang sangat berlawanan dengan karakter kakaknya Ravana yang jahat, ganas, agresif, kejam dan tidak bermoral. Dalam modul itihasa disebutkan bahwa menurut kitab Uttara Ramayana, Ravana mengawini Mandodari, Kumbhakarna mengambil istri bernama Vajrajvala, putri Mahabali dan Vibhisana mengawini Sarala, putri seorang Gandharva bernama Sailusa. Ketika keputusan Ravana untuk bertempur menghadapi Sri Rama, Vibhisana menyampaikan pendapat yang berbeda yang meminta Ravana segera mengembalikan Sita kepada Rama. Vibhisana akhirnya memihak kepada Rama. Ravana dibunuh oleh Sri Rama dan Vibhisana dinobatkan menjadi raja di Lańka. Ketika Sri Rama melaksanakan upacara Asvamedhya, yang memimpin pasukan tempur adalah Sugriva sedangkan yang bertindak  sebagai penyadang dana adalah Vibhisana (Tim penyusun, 2012:229).
2.1.4.1 Silsilah keluarga
Vibhisana adalah putra bungsu Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Vibhisana adalah anak paling bungsu dari 4 bersaudara yaitu Ravana, Kumbhakarna dan Surpanakha. Ravana lahir berwujud gumpalan darah. Dalam pedalangan namanya disebut Rahwana, Rah yang artinya darah dan Wana artinya hutan (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:120). Oleh karena kemahakuasaan Dewata, gumpalan darah itu berubah dan berwujud raksasa. Kumbhakarna anak yang kedua dan Surpanakha anak yang  ketiga juga berwujud raksasa. Hal ini menyebabkan Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menjadi sedih. Mereka memanjatkan doa bertahun–tahun. Hingga pada akhirnya lahirlah Vibhisana, seorang satria rupawan tanpa cacat (Pratikto, 1983:57-58).

2.1.4.2 Peran di Lanka
Di kerajaan Lańka Vibhisana adalah seorang yang berperan sebagai penasehat Raja. Vibhisana adalah orang yang mahir dalam seni berbicara. Ia tahu apa yang harus diucapkan, kapan, dan dimana ia harus berbicara. Setelah gagal membujuk kakaknya untuk mengembalikan Sita kepada Rama, Vibhisana memutuskan untuk berpihak kepada Rama yang diyakini sebagai pihak yang benar. Menarik untuk dilihat bahwa Kumbhakarna mengambil sikap yang berlawanan, dimana Kumbhakarna tetap membela tanah air, walaupun menyadari bahwa dia berada di pihak yang salah. Vibhisana merupakan tokoh yang menunjukkan bahwa kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan ikatan persaudaraan.


2.1.4.3  Vibhisana memihak Rama
Karena diusir dari Lańka, Vibhisana pergi bersama empat raksasa yang baik dan menghadap Rama. Dalam perjalanan ia dihadang oleh Sugriwa, raja wanara yang mencurigai kedatangan Vibhisana dari Lańka. Setelah Rama yakin bahwa Vibhisana bukan orang jahat, Vibhisana menjanjikan persahabatan yang kekal. Dalam misi menghancurkan Ravana, Vibhisana banyak memberi tahu rahasia pasukan Lańka dan seluk-beluk setiap raksasa yang menghadang Rama dan pasukannya. Vibhisana juga sadar apabila ada mata-mata yang menyusup ke tengah pasukan Vanara, dan melaporkan kepada Rama.
Ketika Kumbhakarna maju menghadapi Rama dan pasukannya, Vibhisana memohon agar ia diberi kesempatan berbincang-bincang dengan kakaknya itu. Rama mengabulkan dan mempersilakan Vibhisana untuk bercakap-cakap sebelum pertempuran meletus. Saat bertatap muka dengan Kumbhakarna, Vibhisana memohon agar Kumbhakarna mengampuni kesalahannya sebab ia telah menyeberang ke pihak musuh. Vibhisana juga pasrah apabila Kumbhakarna hendak membunuhnya. Melihat ketulusan adiknya, Kumbhakarna merasa terharu. Kumbhakarna tidak menyalahkan Vibhisana sebab ia berbuat benar. Kumbhakarna juga berkata bahwa ia bertempur karena terikat dengan kewajiban, dan bukan semata-mata karena niatnya sendiri. Setelah bercakap-cakap, Vibhisana mohon pamit dari hadapan Kumbhakarna dan mempersilahkannya maju untuk menghadapi Rama.

2.1.5 Yudha Kanda
Yudha Kanda adalah bagian ke VI epos agung Ramayana. Dalam Yudha Kanda ini diawali dengan persoalan luasnya lautan yang akan diseberangi oleh Rama dan pasukan Vanara. Setelah mendapat cara menuju Lańka maka diberangkatkanlah pasukan kera ke Lańka. Hanuman merusak kota Lańka. Dikisahkan juga dalam yudha kanda penolakan usul Vibhisana untuk menghindari perang dan pengusiran Vibhisana oleh Ravana, sehingga pada akhirnya Vibhisana bergabung dengan Rama. Dikisahkan juga Ravana berusaha membuat Sita sedih. Ravana menjadi frustasi akibat panglima yang sakti satu persatu meninggal. Dibangunkannya Kumbhakarna namun mati mengenaskan di tangan Rama. Indrajit maju berperang dan berhasil melukai Rama dan Laksmana. Hanoman yang diperintahkan untuk mencari obat.  Obat itu berhasil menghidupkan seluruh pasukan Vanara yang tewas. Lańka dibakar dimalam hari, Indrajit maju untuk kedua kalinya ke medan perang dan pada akhirnya Indrajit terbunuh oleh Laksmana. Rama melawan Ravana dan akhirnya Ravana tewas. Vibhisana dinobatkan menjadi raja. Rama meragukan kesucian Sita. Sita terjun ke api suci untuk membuktikan kesuciannya dan pada akhirnya Rama percaya dan membawa Sita pulang ke Ayodha.

2.2 Kajian hasil penelitian yang relevan
Untuk menunjang hasil penelitian maka peneliti menjadikan buku dan skripsi orang lain sebagai titik tolak pembanding dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Adapun buku dan skripsi yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu sebagai berikut :
2.2.1 Suhardi dan Wisnu Subagyo dalam buku yang berjudul “Arti dan makna tokoh pewayangan Ramayana dalam pembentukan dan pembinaan watak” (seri II). Buku ini menjadi salah satu yang menjadi kajian hasil penelitian yang relevan karena kajian mengenai karakter tokoh–tokoh wayang mengungkapkan nilai–nilai luhur yang terkandung dalam setiap tokoh wayang yang bersangkutan. Dalam kajian ini mencakup 5 tokoh, satu diantaranya adalah Vibhisana (dalam buku ini namanya Raden Gunawan Wibhisana). Metode yang digunakan dalam pengkajian nilai–nilai tokoh pewayangan ini adalah studi kepustakaan. Hampir seluruhnya bahan yang dikaji bersumber dari bahan–bahan kepustakaan, khususnya tentang cerita dari epos Ramayana.
2.2.2 Skripsi STAH DN Jakarta tahun 2012 yang berjudul “ Analisis Pendidikan Karakter Prajurit Bangsa dalam perspektif ajaran Hindu “Yudha Kanda” oleh I Nyoman Arya Sugiarta. Penulis menggunakan metode studi dokumen atau teks dan peneliti menggunakan sumber data sekunder berupa buku Ramayana kanda ke-enam (Yudha Kanda).  Dalam skripsi ini menjadi kajian hasil penelitian yang relevan karena menjelaskan nilai–nilai pendidikan karakter dalam Yudha Kanda. Hasil penelitiannya adalah yudha kanda memberi konsep tentang ahimsa yang melekat pada diri Rama. Rama adalah pokok utama dari ajaran tidak melakukan tindakan kekerasan. Kebenaran adalah Rama itu sendiri sebagai avatara yang bertugas untuk melindungi kemerdekaan dunia. Dalam penelitian ini juga dijelaskan tentang hukum karmaphala, dimana Ravana yang jahat menemui ajalnya dan Vibhisana yang bijaksana mendekatkan dirinya kepada kekuasaan Rama sebagai avatara. Vibhisana sebagai adik dari Ravana rela meninggalkan keluarga, harta dan negaranya demi membela dan berpegang teguh para prinsif kebenaran. Sehingga skripsi ini merupakan kajian yang relevan.
Buku dan karya tulis ini telah memberikan sumbangan dalam penyusunan skripsi peneliti. Karena ada kesamaan dalam metode dan sumber-sumber yang dipergunakan. Terlepas dari kesamaan tersebut, penelitian tersebut perlu dikembangkan lebih jauh. Setiap karya tulis pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Sehingga nantinya dalam setiap penelitian bisa saling melengkapi. Penelitian ini menjadi hal pembaharuan dan melengkapi penelitian sebelumnya.

3.1 Latar Penelitian
Cerita yang terkandung oleh kitab Ramayana itu sangat mempesona karena penuh dengan pendidikan moral, kewiraan serta disampaikan dalam gaya bahasa yang baik, menyebabkan epos ini sangat digemari diseluruh dunia. Karena sungguh agung cerita Ramayana ini, sehingga peneliti tertarik untuk mengambil judul dari kisah tokoh–tokoh yang terdapat dalam Ramayana tersebut. Salah satu tokoh dalam cerita ini yang sangat berkaitan dengan skripsi yang peneliti buat adalah Vibhisana. Dia adalah tokoh yang sangat mulia, sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji nilai filosofis kehidupan pada karakter Vibhisana. Sehingga nantinya tokoh ini akan menjadi sosok yang menarik karena kebenarannya bahwa Vibhisana adalah pemegang prinsip dharma sejati akan terbukti dari skripsi yang akan peneliti buat ini.
Peneliti menggunakan buku Ramayana kanda VI (Yudha Kanda) karangan Kamala Subramaniam, karena buku ini menjelaskan secara lengkap dan jelas isi dari Yudha Kanda tersebut. Dimulai dari persiapan sebelum perang hingga pada akhirnya kemenangan Rama melawan Ravana dan penobatan Vibhisana sebagai raja lańka yang baru. Namun pada buku Ramayana karangan Kamala Subramaniam, tidak menjelaskan kisah  kehidupan Vibhisana pada masa kecil. Sehingga peneliti mengkaji dari buku Ramayana dengan pengarang yang berbeda. Buku Ramayana ini berjudul “Hamba sebut paduka Ramadewa” Ramayana, di dalam buku ini dijelaskan tentang silsilah dari keluarga Vibhisana.

3.2  Pendekatan dan Metode Penelitian
 Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yaitu suatu cara analisis atau pengelolahan data dengan jalan menyusun secara sistematis dalam bentuk kalimat atau kata–kata. Kategori–kategori mengenai suatu objek yaitu benda, gejala, variabel tertentu. Hal ini dijelaskan dalam modul metode penelitian (Tim penyusun, 2012:171).  Suatu penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Suatu metode yang tepat  sangat bermanfaat, sehingga keabsahan hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Metode studi dokumen atau kajian teks merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini karena studi dokumen/kajian teks menjadi salah satu bagian yang penting dan tak terpisahkan dalam metodologi penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan karena banyak sekali data-data yang tersimpan dalam bentuk dokumen yang bisa digali. Dalam buku panduan pedoman penulisan skripsi, dijelaskan bahwa studi dokumen atau kajian teks yang merupakan kajian yang menitik beratkan pada analisis bahan tertulis berdasarkan konteksnya (Tim penyusun, 2013:51).

3.3 Data dan Sumber Data
Dilihat dari jenisnya data dapat digolongkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder (Setiawan, 2012:8). Jika menggunakan dokumentasi maka hasil pencatatan yang menjadi sumber data sedangkan isi catatan adalah subjek penelitian atau variabel penelitian. Jika  menggunakan wawancara, maka sumber data disebut informan yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti baik pertanyaan tertulis maupun lisan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan oleh karena itu data penelitian  berasal dari sumber-sumber antara lain:
3.3.1    Data primernya berupa buku Yudha Kanda oleh Kamala Subramaniam (Bahasa Indonesia) diterjemahkan oleh I Gede Sanjaya, Editor I Wayan Maswinara, 2003.
3.3.2 Data sekundernya berupa buku atau dokumen yang berasal dari perpustakaan dan koleksi pribadi peneliti seperti buku Ramayana oleh Kamala Subramaniam diterjemahkan  oleh I Gede Sanjaya, buku Hamba sebut paduka RamaDewa” Ramayana oleh  Herman Pratikto, 1983.
3.3.3    Yudha Kanda terjemahan A.A Inten Mayuni dkk, 2011.
3.3.4    Beberapa sumber lainnya berupa buku-buku agama dan sumber dari internet sebagai bahan penunjang dalam penelitian ini.
3.3.4    Data yang berasal dari hasil wawancara dengan orang-orang yang peneliti anggap mampu  menjelaskan dan menguasai permasalahan dalam penelitain ini.

3.4 Prosedur Pengumpulan Data dan Perekaman Data
3.4.1 Studi kepustakaan
Studi kepustakaan adalah cara mengumpulkan data dengan mencatat data yang sudah ada dalam dokumen atau arsip (Praptini, 2009:45). Kepustakaan dapat digunakan untuk keperluan penelitian karena memenuhi kriteria dapat dipertanggungjawabkan. Sumber kepustakaan merupakan sumber yang stabil, berguna sebagai bukti untuk pengkajian, sesuai untuk penelitian kualitatif karena sifatnya alamiah, dan hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk memperluas tubuh pengetahuan terhadap sesuatu yang diselidiki.
 Untuk mengumpulkan data melalui studi kepustakaan, peneliti memilih buku-buku, majalah, jurnal, diktat, modul dan referensi dari internet yang berisikan masalah yang akan diteliti. Dengan mengumpulkan sumber-sumber yang terkait dengan skripsi, mengkaitkannya dengan data yang utama. Agar nantinya mempermudah untuk menganalisis.
3.4.2 Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal (Gulo, 2004:11). Wawancara diartikan sebagai percakapan yang mempunyai maksud tertentu yang dilakukan dengan bentuk percakapan. Percakapan yang dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moeloeng, 2002:135).
Dalam wawancara, penetapan informan dilakukan saat peneliti memulai penelitian. Menurut Esterberg (dalam Sugiyono, 1984:72) mengatakan bahwa wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan pemikiran melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Tata kerjanya yaitu dengan cara peneliti memilih seseorang yang dianggap mampu memberikan data yang diperlukan. Selanjutnya, berdasarkan data dari informan tersebut peneliti dapat menentukan informan lain yang dipertimbangkan akan memberikan data untuk melengkapi data yang ada.

3.5 Analisis data                                                           
Dalam penelitian ini penulis akan melakukan analisis data dengan mengumpulkan data untuk mendapatkan hasil dari masalah yang diteliti. Penelitian kualitatif pada umumnya, analisis dilakukan dengan pengelompokan data untuk mencari suatu pola atau keteraturan dari fenomena yang dipelajari, membandingkan data dengan referensi lainnya.
3.5.1 Proses analisis data
Adapun proses analisis data yang dilakukan adalah reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan penulisan hasil penelitian.
a)   Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transpormasi data kasar yang didapat dari data penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan adalah menajamkan analisis, menggolongkan atau pengkategorisasian ke dalam setiap permasalahan melalui uraian singkat, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sehingga dapat ditarik kesimpulan final.
b)   Penyajian data
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah penyajian data. Pada langkah ini penulis berusaha menyusun data yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Proses yang dilakukan yaitu dengan menampilkan dan membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu nilai–nilai filosofis dalam karakter Vibhisana.
c)   Penarikan kesimpulan
Kesimpulan adalah tinjauan terhadap catatan yang telah dilakukan dalam penelitian. Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah usaha untuk mencari atau memahami makna, arti, keteraturan, pola, penjelasan dan alur sebab akibat dari penelitian.
d)  Menulis laporan penelitian
Laporan penelitian merupakan langkah terakhir dalam proses penelitian. Setelah semua data terkumpul dan diolah, laporan hasil penelitian ditulis secara lengkap dan sistematik.


3.6 Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
Dalam bagian ini penulis menggunakan kriteria keabsahan konstruk (Construct validity). Keabsahan data ini dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat yaitu dengan proses triangulasi. Dalam buku pedoman penulisan skripsi, menurut Patton (dalam Sulistiany 1999) ada 4 macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu triangulasi data, triangulasi pengamatan, triangulasi teori dan triangulasi metode. Peneliti menggunakan triangulasi data. Karena menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip dan hasil wawancara. Dengan kesesuaian dari hasil yang dicapai maka peneliti nantinya dapat membuat laporan hasil kajian ini dengan benar dan dapat dipergunakan sebagai hasil tulisan yang bermanfaat.

4.1  Sinopsis Kehidupan Vibhisana
4.1.1  Kelahiran Vibhisana
Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang dengan sifat dan karakter yang berbeda-beda dan memang sudah kodrat manusia ada yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Dalam panca sradha, hal ini dapat dipahami melalui ajaran hukum karma. Kecenderungan untuk berbuat baik merupakan sifat yang diajarkan dalam subha karma, sedangkan kecenderungan untuk berbuat buruk merupakan sifat dari asubha karma.
Vibhisana adalah saudara raja Lańka Ravana.  Ia adalah anak dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Pada suatu hari Rsi Wisrawa meletakan jabatan dan hidup sebagai pendeta. 
Rsi Wisrawa bertempat tinggal di pertapaan Girijembat. Silsilahnya diceritakan bahwa Sanghyang Manikmaya berputra Batara Sambo dari Dewi Umayi sebagai putra sulung. Empat keturunan kemudian dari Batara Sambo adalah Prabu Darodana. Dan empat keturunan dari Prabu Darodana ke kiri adalah Rsi Wisrawa putra Rsi Padma, sedangkan empat grad ke kanan adalah Dewi Lokawati, putri Prabu Lokawana raja negara Lokapala. Rsi Wisrawa sangat sakti dan termasyur dalam ilmu kasidan. Ia kemudian di persandingkan dengan Dewi Lokawati. Setelah Prabu Lokawana mangkat, maka atas perkenan Dewi Lokawati, Rsi Wisrawa kemudian dilantik menjadi raja Lokapala. Dari perkawinan tersebut lahir seorang lahir seorang putra bernama Danapati dan setelah dewasa dinobatkan sebagai raja pengganti Prabu Wisrawa (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:510).

Pemerintahan negeri diserahkan kepada anak kandungnya yaitu Danapati. Suatu ketika Danapati tergila–gila kepada Dewi Sukesi, putri raja Sumali dari Lańka. Sebagai ayah, Rsi Wisrawa berusaha melamar puteri idaman hati anaknya itu. Maka pergilah ia ke Lańka seorang diri, dan mengutarakan maksud kedatangannya itu kepada raja Sumali (Pratikto, 1983:55). Mendengar hal itu Dewi Sukesi lalu mengajukan sebuah teka–teki tentang Sastra Jendra Hayuningrat. Rsi Wisrawa dengan tersenyum menjawab persoalan itu dengan mudah.
Dewi Sukesi adalah putri Prabu Sumali, setelah dewasa Dewi Sukesi menjadi lamaran para ksatria. Dewi Sukesi tumbuh menjadi perempuan cerdas yang gemar belajar. Banyak para raja dan pangeran berdatangan untuk mempersuntingnya. Seorang perwira Lańka bernama Jambumangli tampil mengumumkan sayembara barangsiapa yang bisa mengalahkan dirinya berhak memperistri Sukesi. Namun Sukesi sendiri juga menggelar sayembara yaitu ia hanya mau menikah apabila ada orang yang bisa mengajarinya ilmu Sastrajendra Hayuningrat. Rsi Wisrawa datang ke Lańka untuk melamar Sukesi menjadi menantunya, yaitu sebagai istri Danapati raja Lokapala. Sumali yang juga sahabat Wisrawa menyatakan bahwa sayembara yang digelar Jambumangli tidak sah. Sayembara yang asli adalah mengajarkan Sastrajendra Hayuningrat. Wisrawa ternyata menguasai ilmu tersebut namun tidak berani sembarangan mengajarkannya kepada orang lain. Barang siapa yang mendengarkan sastra tersebut akan memperoleh pencerahan. Raksasa akan menjadi manusia, sedangkan manusia akan menjadi Dewa. Sukesi pun meminta agar dirinya diajari ilmu Sastrajendra Hayuningrat Wisrawa (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:428).

Sementara itu para Dewa menjadi sibuk karena perbuatan Rsi Wisrawa itu. Maka turunlah Dewa Siwa dan Dewa Naradda. Mereka berusaha menggagalkan ajaran suci itu. Oleh sabda kedua Dewa itu, Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi mendadak jatuh cinta. Akhirnya mereka memutuskan untuk hidup bersama sebagai suami istri. Raja Sumali gembira mendengar hal tersebut. Ia telah lama menginginkan menantu berwatak Brahmana sejati. Namun anaknya Raja Danapati sangat kecewa. Maka terjadilah pertempuran antara anak dan ayah. Danapati seorang raja yang sangat sakti. Rsi Wisrawa merasa sangat bersalah dan sebagai penebusan dosa sebenarnya ia rela mati ditangan anaknya sendiri. Tetapi Dewa tidak memperkenankan, bahkan Danapati mendapat marah para Dewa, seperti dikutip dalam buku Herman Pratikto yang berjudul “Hamba sebut Paduka Ramadewa”, seperti yang diuraian dalam teks, dijelaskan bahwa :
“Kata Dewa, Manusia tidak berhak mengadili manusia. Lagi pula engkau lahir ke dunia oleh ayahmu. Seumpama engkau sebatang tanaman, benih–benih ditebarkan oleh ayahmu. Apa alasanmu hendak melawan ? Itulah dosa yang sebesar–besarnya. Engkau akan hancur oleh adikmu sendiri. Itulah anak ayahmu yang akan lahir kemudian hari”. Dewa juga  menghukum pekerti Wisrawa karena telah membuat malu anaknya  yang mencintai dan menghormatinya dengan sepenuh hati. (Pratikto, 1983:57).

Setelah kejadian itu, tidak lama kemudian lahirlah anak Wisrawa yang pertama dari rahim Dewi Sukesi. Anak itu lahir di tengah hutan, berwujud gumpalan darah. Dengan amat sedih Rsi Wisrawa memanjatkan ampun kepada para Dewa. Oleh karena kekuasaan Dewata, segumpalan darah itu menjadi raksasa. Ia memberikan nama Ravana. Anaknya yang kedua juga berwujud raksasa. Telinganya sebesar telinga gajah dan diberi  nama Kumbhakarna. Menyaksikan keadaan kedua anaknya itu, Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menjadi sangat malu. Seluruh penduduk negeri membicarakan aib tersebut. Rsi Wisrawa seorang Rsi yang berbudhi luhur dan Dewi Sukesi anak seorang raja yang bijaksana. Betapa mungkin kedua anak mereka berwujud raksasa yang menakutkan. Namun dengan  penuh kesungguhan mereka memanjatkan doa siang malam. Berharap dewata menganugerahi seorang anak yang sempurna. Dewata yang maha pemurah mengabulkan permintaan mereka. Kali ini lahir seorang anak yang perempuan. Tubuhnya seperti tubuh manusia, hanya saja berparas raksasa. Kukunya tajam, mengkilat dan mengandung racun. Rsi Wisrawa memberi nama Surpanakha. Sekali lagi orang membicarakannya dan mengejeknya. Dengan rasa sesal dan tobat, keduanya memanjatkan doa bertahun–tahun lamanya. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Perkawinan Rsi Wisrawa dengan Dewi Sukesi tiga kali berturut-turut melahirkan putra dan putri berwujud raksasa. Hal ini menyedihkan hati. Kemudian ia pun bersamadi dengan tekun memohon kehadirat Dewa agar dianugerahi putra yang berparas mirip dengan putranya yang lain yaitu Danapati. Permohonan itu akhirnya terkabulkan dan Dewi Sukesi kemudian melahirkan seorang putra yang berwajah cakap dan diberi nama Vibhisana” (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).

Maka lahirlah anak yang keempat, seorang satria rupawan tanpa cacat, keningnya berkilat menyimpan cahaya rahasia. Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi bergembira sekali hatinya. Anak ini diberi nama Vibhisana. Rsi Wisrawa memberi anugerah, semoga anak ini berwatak Brahmana sejati. Berani mempertahankan pendirian, dan bersedia mengorbankan apa saja demi membela kebenaran. Berwatak Brahmana sejati, semoga ini sabda hidup. Setelah dewasa, Vibhisana disuruh pergi bertapa sampai Dewata menurunkan anugerah. Lahirnya tiga anak yang berwujud raksasa itu adalah hukuman para Dewa akibat pernikahan yang terlarang dan membuka ilmu rahasia alam semesta, sehingga membuat mereka lupa diri. Anak-anak mereka lahir dari nafsu, akibat perkawinan yang tidak suci, bibit keturunan pun membawa kutukan dari isi ilmu tersebut.
 Dalam buku Ensiklopedi Wayang Purwa 1 (Compendium) disebutkan bahwa Vibhisana dalam tradisi pewayangan jawa bernama Arya Vibhisana.
“Arya Vibhisana adalah putra bungsu Rsi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, putri prabu Sumali, raja Alengka. Arya Vibhisana adalah satu–satunya putra yang berwujud manusia diantara ketiga saudara sekandungnya, yaitu Prabu Dasamuka/Ravana, Arya Kumbhakarna dan Dewi Surpanakha yang kesemuanya berwujud raksasa/raksasi. Arya Vibhisana adalah titisan Rsi Wisnu Anjali, oleh karena itu ia sangat bijaksana. Mempunyai tempat bersemayam di kesatriyan Utarapura, yang terletak di sebelah utara keraton Lańka bernama Kuntara. Rsi Wisnu Anjali adalah kerabat Batara Wisnu yang berkewajiban membina kesejahteraan di dalam lingkungan para pendeta. Pada jaman Lokapala menjelma dalam diri Rsi Dasarata, pada jaman Ramayana manuksma dan bersatu dengan Arya Vibhisana, putra Dewi Sukesi dengan Rsi Wisrawa dan saudara muda dari Prabu Ravana raja Lańka dan  jaman Bharata, sejiwa dan manuksma di dalam diri Rsi/Begawan Kesawasidi yang merupakan kerabat Dewa Wisnu (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).

Keangkaramurkaan kini telah merasuk pada anak yang pertama yaitu Ravana. Sehingga akan menjadi sumber kehancuran wangsanya dan negara. Dalam buku cupu manik astagina disebutkan bahwa, dialog antara Sang Hyang Wenang dan Naradda, saran dari Sang Hyang Wenang untuk menghalagi atau menaklukan sifat keangkaramurkaan yang terkandung pada anak Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi itu. Dikutip dari buku Cupi Manik Astagina, dijelakan bahwa :
“Sang Hyang Wenang menuturkan bahwa untuk menaklukan sifat kotor dari anak pertama Wisrawa dan Sukesi itu, aku diharuskan berputra lagi dari seorang putri makhluk marcapada. Nantinya anakku yang akan dilahirkan itulah yang akan melenyapkan sifat keangkaramurkaan di dunia. Namun anak itu tidak serta merta melakukan tugasnya sendiri, namun harus didampingi oleh Batara Wisnu yang akan menitiskan dirinya kepada manusia. Mereka berdualah yang kelak akan dapat menaklukan sumber kekacauan ini”. (Ardian Kresna, 2012:109).

Dari penjelas tersebut, bahwa nanti yang akan menumpas keangkaramurkaan Ravana adalah adiknya yaitu sekutu dari  Vibhisana yang merupakan anak ilahi dari Dewa Brahma dan Rama yang merupakan reinkarnasi dari Dewa Wisnu. Ketika dharma di injak–injak dan adharma semakin merajalela, maka Tuhan akan turun kedunia menyelamatkan umat manusia dari kehancuran. Dengan wujud tertentu dan kembali menegakan dharma yang sudah menyimpang.
4.1.2. Anugerah Dewa Brahma
Selama tiga tahun Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menimang-nimang anaknya. Setelah itu, disuruhlah anak-anaknya pergi bertapa sampai Dewata menurunkan karunia. Akibat tapa hebat yang sedang dilakukan oleh anak–anak Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi tersebut terdengarlah suara yang menggelegar dari Kawah Candradimuka di Gunung Mahameru. Sehingga turunlah para Dewa ke marcapada. Dilihatlah anak–anak dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi yaitu Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana. Dewa Brahma lalu mendatangi mereka satu persatu. Tapa mereka pun dibangunkan oleh Dewa Brahma (Kresna,  2012:110). Dalam buku Cupu Manik Astagina dijelaskan :
“Pertama Dewa Brahma membangunkan Vibhisana, wajah anak ini sangat tampan dan tenang. “Anak muda, apa yang kamu inginkan dari tapamu ini ? Vibhisana menjawab, yang aku inginkan hanyalah kenyamanan dan keamanan dunia sehingga kehidupan manusia dan makhluk–makhluk hidup lain dimuka bumi ini menjadi tenang dan damai dan Dewa Brahma tersenyum mendengar permintaan Vibhisana.” Anak muda yang budiman, keinginan itu sangat luhur. Namun cita–cita itu sangat sulit diwujudkan dikarenakan cara berpikir tiap makhluk berbeda–beda. Sehingga hasrat dan keinginannya pun berbeda–beda. Akibatnya akan sering menimbulkan pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan itulah yang akan menimbulkan kekacauan. Meskipun begitu, cita–cita luhurmu itu akan aku penuhi meskipun nantinya kau harus berjuang keras untuk menghalangi segala sifat  ketamakan  dan kejahatan yang akan mengelilingi  jalan hidupmu sendiri. Asalkan kau teguh dengan keinginan itu, maka kelak kedamaian dunia akan dapat kau wujudkan meskipun pengorbanannya begitu besar dan berat.  Apa kau sanggup menjalaninya ? Vibhisana menjawab, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran demi kenyamanan dan keamanan kehidupan di dunia ini. Dewa  Brahma sungguh sangat senang mendengar hal tersebut. Sehingga Vibhisana diberi anugerah sikap kelembutan dari tutur kata yang dapat mempengaruhi orang lain untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan yang akan dilakukan” (Kresna, 2012:113-114).

Karakter Vibhisana mirip dengan Prahlada yang dilahirkan sebagai keturunan asura, namun menjadi pemuja Dewa Wisnu yang setia. Vibhisana menghabiskan masa mudanya dengan bertapa dan memuja Dewa Wisnu. Ketika Ravana dan Kumbhakarna bertapa memuja Brahma, Vibhisana juga berbuat demikian. Saat Dewa Brahma memberi kesempatan kepada Vibhisana untuk memohon anugerah, Vibhisana meminta agar ia selalu berada di jalan kebenaran atau dharma. Sikapnya tidak seperti kakaknya yang meminta kekuatan untuk menaklukkan para Dewa. Selanjutnya Dewa Brahma membangunkan tapa dari Surpanakha. Dewa Brahma bertanya, apa yang kau inginkan dari tapamu itu ? Surpanakha menjawab, aku ingin selalu mendapatkan kesenangan dengan daya kekuatanku. Apapun yang aku inginkan dapat terkabulkan agar aku senang. Dewa Brahma mengabulkan permintaan Surpanakha untuk mendapatkan kesenangan dunia, seperti yang dia inginkan. Namun sifat wanita raksasa ini akan senantiasa bergelimang dengan hasrat dan nafsu keinginan duniawi (Kresna, 2012:117).  
Setelah Vibhisana dan Surpanakha mendapatkan anugerah, Dewa Brahma lalu menemui Kumbhakarna. Badannya yang besar menjadikan Kumbhakarna sosok yang menakutkan. Dewa Brahma muncul karena berkenan dengan pemujaan yang mereka lakukan. Saat tiba giliran Kumbahkarna untuk mengajukan permohonan, Dewi Saraswati masuk ke dalam mulutnya untuk membengkokkan lidahnya, maka saat ia memohon "Indraasan" yang berarti tahta Dewa Indra, namun yang ia ucapkan adalah "Neendrasan" yang berari tidur abadi. Brahma mengabulkan permohonannya. Karena merasa sayang terhadap adiknya, Ravana meminta Dewa Brahma agar membatalkan anugerah tersebut. Brahma tidak berkenan untuk membatalkan anugrahnya, namun ia meringankan anugrah tersebut agar Kumbhakarna tidur selama enam bulan dan bangun selama satu hari. Pada saat ia menjalani masa tidur, ia tidak akan mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.
Brahma mengutuk Kumbhakarna bahwa dia akan tidur seakan-akan dia mati. Namun Ravana memohon agar jangan mengutuk Kumbhakarna dengan kutukan seperti itu. Hingga akhirnya Dewa Brahma meringankan kutukan, bahwa Kumbhakarna akan tidur selama enam bulan dan akan bangun selama satu hari. Satu hari bangun itu, dia akan makan binatang sebanyak mungkin dan dia akan seperti hutan api jika dia lapar.
Dewa Brahma lalu menemui putra sulung Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi yaitu Ravana. Dewa Brahma bertanya, apa yang kau inginkan dari tapamu ini ? Ravana menjawab, aku ingin menjadi orang paling sakti di dunia dan memiliki umur panjang. Kalau tidak dikabulkan oleh para Dewa, maka aku akan terus bertapa di sini sampai permohonanku benar–benar dikabulkan. Setelah cukup lama merenung, akhirnya Dewa Brahma pun menyutujui keinginan raksasa muda itu. Saran dari Dewa Brahma, ilmu sakti yang diberikan itu bukanlah digunakan sebagai alat kejahatan (Kresna, 2012:122). Setelah mendapatkan anugerah, Dewa Brahma berpesan bahwa gunakanlah kesaktian sebagai penjaga diri dari ancaman yang akan mencelakakanmu. Ravana pun melonjak–lonjak kegirangan setelah cita–cita dikabulkan oleh Dewa. Dikutip dalam buku Hamba Sebut Paduka Ramadewa, dijelaskan bahwa :
“Tiga tahun lamanya Ravana bertapa, tetapi Dewa yang diharapkan akan memberikan karunia tidak kunjung datang. Maka diadakanlah suatu persembahan yang istimewa. Setiap tahun ia memenggal kepalanya sendiri dan diletakan di atas batu, kemudian memekikan doa himbauan senyaring–nyaringnya. Ia rela mati oleh tangannya sendiri dari pada hidup berkepanjangan tiada arti. Pada tahun kedua belas ketika ia hendak memotong kepalanya yang terakhir, di saat itu Dewa Kalaludra turun ke bumi karena kagumnya menyaksikan tekad yang penuh pengorbanan itu. “katakan padaku, apa kehendakmu !” tegur Hyang Kalaludra. Dengan sujud sembah, Ravana mengatakan keinginannya. Pertama, ia ingin menjadi raja besar tiada bandingannya. Menguasai darat, laut dan udara. Kedua, ia ingin sakti tiada lawan. Kuasa mengalahkan para Aditya dan Dewa. Karena bersungguh–sungguh, permohonannya dikabulkan. Watak yang keras membaja itu akan membuat setiap keinginannya akan terkabulkan. Ravana girang bukan kepalang. Tiba–tiba kepalanya berjumlah sepuluh dan utuh kembali seperti semula. Kejadian itu membuat ia menepuk dada seperti sikap menantang semua yang ada di sekelilingnya” (Pratikto, 1983:59–60).

Setelah masing–masing dari anak Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi mendapat anugerah lalu mereka datang ke Lańka. Sungguh perjuangan yang luar biasa karena mereka semua mendapatkan anugerah yang mereka inginkan. Setiap anugerah yang diberikan memiliki kelebihan dan kekurangan masing–masing, tergantung bagaimana mereka nantinya menggunakan anugerah tersebut.

 4.2    Sinopsis Yudha Kanda
Ramayana terdiri dari tujuh kanda yang dituliskan dalam bentuk sloka atau syair yang banyaknya mencapai 24.000 sloka. Ketujuh kanda tersebut antara lain adalah Bala Kanda, Ayodhya Kanda, Aranyaka Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yuddha Kanda dan Uttara Kanda. Adapun cerita singkat dari ketujuh kanda tersebut yaitu :
1.      Bala kanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Di dalam Balakanda menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra empat orang, yaitu: Rama, Bharata, Lakshmana dan Satrughna.  Balakanda juga menceritakan kisah Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita, puteri Prabu Janaka.
2.      Ayodhya kanda berisi kisah dibuangnya Rama ke hutan bersama Dewi Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi. Setelah itu, Prabu Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan menjadi Raja, kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali ke kerajaan. Akhirnya Bharata memerintah kerajaan atas nama Sang Rama.
3.      Aranyaka kanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di tengah hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering membantu para pertapa yang diganggu oleh para raksasa. Aranyaka kanda juga menceritakan kisah Sita diculik Ravana dan pertarungan antara Jatayu dengan Ravana.
4.      Kiskindha kanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut kerajaannya dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran, Subali terbunuh. Sugriwa menjadi Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa bersekutu untuk menggempur kerajaan Lańka.
5.      Sundara kanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang membangun jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan Lańka. Hanuman yang menjadi duta Sang Rama pergi ke Lańka dan menghadap Dewi Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri dan membakar ibukota Lańka.
6.      Yudha kanda menceritakan kisah pertempuran antara laskar kera Sang Rama dengan pasukan raksasa Sang Ravana. Cerita diawali dengan usaha pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan mencapai Lańka. Sementara itu Vibhisana diusir oleh Ravana karena terlalu banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran, Ravana gugur di tangan Rama oleh senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat ke Ayodhya bersama Dewi Sita.
7.      Uttara kanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang Rama mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan Rsi Walmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa datang ke istana Sang Rama pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan Ramayana yang digubah oleh Rsi Walmiki.


Dalam penelitian ini, yang menjadi data dan fokus penelitian adalah nilai filosofis pada karakter Vibhisana dalam Yudha Kanda. Di dalam buku Yudha kanda karangan Kamala Subramaniam, terdiri dari 50 sub bab yaitu persiapan sebelum perang, longmarch menuju selatan, Ravana yang mulai khawatir, Ravana kehilangan Vibhisana, Vibhisana dan Rama, persiapan sebelum perang, kemarahan Rama, pembangunan jembatan, spekulasi–spekulasi, Ravana berusaha membuat Sita sedih, di ruang sidang kembali, Rama dengan orang-orangnya, kecerobohan Sugriva, misi Angada, panah Nagapasa, Sita melihat Rama di medan perang, kedua pangeran kosala sembuh kembali, Ravana mengutus Prahasta ke medan perang, Ravana di medan perang, Kumbhakarna dibangunkan, Kumbakarna di medan perang, kematian Kumbhakarna, pangeran-pangeran muda Lańka ke medan perang, kehebatan pangeran-pangeran Lańka, Indrajit, tamanan obat, Sanjivini, Kumbha dan Nikumbha, Indrajit datang ke medan perang lagi, Maya Sita (Sita palsu) terbunuh, Yaga Nikumbhila, Laksmana menyerang Indrajit, terbunuhnya Indrajit, Rama terhibur kembali, kesedihan Ravana, Mulabala Ravana, Ravana melakukan persiapan ke medan perang, mencari sanjivini lagi, pertandingan final (penentuan), terbunuhnya Ravana, ketika Ravana mati, ratapan Mandodari, upacara pemakaman, Rama mengutus Hanuman pada Sita, Rama dan Sita, pembuktian kesucian Sita dengan ritual api, para Dewa turun ke Bumi, perjalanan pulang ke Ayodhya, Hanuman di Nandigrama, kembalinya Rama ke tanah kelahirannya dan penobatan Rama menjadi  raja Phalasruti.
Yudha Kanda mengisahkan penyerangan dan pertempuran Rama melawan Ravana. Terdapat berbagai jenis karakter dalam kisah Ramayana ini. Sehingga setiap sosok memiliki karakter tersendiri. Salah satu tokoh yang terdapat dalam Yudha kanda ini adalah Vibhisana. Tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya tokoh Vibhisana ini, karena dalam kisah Ramayana, Vibhisana muncul disaat akan terjadi penyerangan dan pertempuran Rama melawan Ravana dan para wangsa raksasa yang jahat. Sehingga tidak banyak diketahuai kehidupan Vibhisana pada masa kecil hingga tumbuh menjadi sosok dewasa. Sosok ini sungguh mulia, namun mengapa bisa disebut mulia, padahal pada dasarnya beliau berada dalam lingkungan para raksasa? sungguh menarik sosok Vibhisana ini, walaupun terlahir dari ibu yang sama, tidak akan menjadi sebuah jaminan seorang anak–anak itu memiliki karakter yang sama. Terkadang lingkungan mempengaruhi karakter manusia. Tetapi pernyataan tersebut akan menjadi berbeda jika  mengenal sosok Vibhisana.

4.3  Kajian Nilai Filosofis Karakter Vibhisana
4.3.1  Karma memengaruhi Karakter Vibhisana
      Kata karma berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “kr” artinya melakukan yang menyatakan sebuah tindakan yang membawa hasil dalam kehidupan sekarang atau dikehidupan yang akan datang (Pandit, 2006:71). Dalam slokantara dijelaskan bahwa :
Karmaphala ngaran ika
Phalaning gawe hala hayu
Terjemahan :
Karmaphala artinya akibat (pahala) dari buruk (suatu) perbuatan (karma). Subhaasubha karma (subhasubha prawrtti)
(Rai Putra, Jelantik dan Argawa, 2013:116)

      Baik buruknya perbuatan akan membawa akibatnya, baik saat ini atau akhirat nanti. Karmaphala mengajarkan untuk percaya bahwa perbuatan baik akan berphala baik dan perbuatan buruk, buruk pula pahalanya. Karakter tidak saja dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi karakter juga dipengaruhi oleh karma. Karma ini adalah sifat masa lalu yang berpengaruh terhadap kehidupan sekarang. Jika dahulu karmanya baik dan suka menolong, tetapi mengalami punarbhawa maka pada kehidupan yang sekarang akan menjadi orang baik, suka menolong dan dharma selalu menjadi tuntunan dalam hidup.
      Vibhisana adalah reinkarnasi dari seorang Rsi agung dan mulia, sehingga Vibhisana bagaikan permata dalam lingkungan negeri Lańka. Dalam buku Ensiklopedi Wayang Purwa 1 (Compendium), seperti uraian teks, dijelaskan bahwa :
Arya Vibhisana adalah titisan Rsi Wisnu Anjali, oleh karena itu ia sangat bijaksana. Rsi Wisnu Anjali adalah kerabat Batara Wisnu yang berkewajiban membina kesejahteraan di dalam lingkungan para pendeta. Pada jaman Lokapala menjelma dalam diri Rsi Dasarata, pada jaman Ramayana manuksma dan bersatu dengan Arya Vibhisana, putra Dewi Sukesi dengan Rsi Wisrawa dan saudara muda dari Prabu Ravana raja Lańka dan Jaman Bharata, sejiwa dan manuksma di dalam diri Rsi/Begawan Kesawasidi yang merupakan kerabat Dewa Wisnu (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).

Dari uraian teks tersebut, dapat mempertegas bahwa karakter Vibhisana itu dipengaruhi oleh karma kehidupan terdahulu. Pada kehidupan terdahulu, Vibhisana adalah seorang pendeta agung yang bertugas membina kesejahteraan di lingkungan para pendeta. Ketika Vibhisana lahir pada jaman Treta Yuga, Vibhisana berusaha untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang ksatria yang berkarakter pendeta. Vibhisana memang sudah berbeda dari sejak lahir hingga dia tumbuh dewasa. Walau tempat Vibhisana tinggal adalah lingkungan para raksasa, namun karena keteguhan dan sifat-sifat khasnya yang sudah dibawa sejak lahir, menyebabkan Vibhisana tidak terpengaruh oleh lingkungannya. Karma seseorang terdahulu akan dapat mempengaruhi karakternya pada kehidupan sekarang atau pada masa yang akan datang. Sehingga akan selalu terikat oleh karma-karma terdahulu, sekarang dan akan datang. Adapun jenis-jenis karmaphala yaitu :
1.      Sancita Karmaphala adalah pahala perbuatan pada kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang bisa menentukan perjalanan hidup sekarang.
2.      Prarabda Karmaphala adalah perbuatan pada kehidupan sekarang dan pahala akan diterima pada kehidupan sekarang pula.
3.      Kriyamana Karmaphala adalah perbuatan yang tidak langsung dinikmati pada masa sekarang, tetapi pahalanya dari perbuatan tersebut akan diterima pada masa yang akan datang.
Dari karma-karma terdahulu menyebabkan seseorang lahir dengan karakter-karakter yang berbeda-beda. Ada yang lahir dengan sifat Daiva dan ada yang lahir dengan sifat Asura. Karakter Ravana dan Kumbhakarna juga dipengaruhi oleh karma terdahulu. Dalam Srimad Bhagavatam diceritakan, ketika Catursana yaitu Sanaka, Sananda, Sanatana dan Sanatkumara pergi ke Waikunta yang dipercaya sebagai tempat Narayana dengan keinginan untuk memuja beliau. Mereka melalui enam gerbang dalam keadaan tergesa-gesa, namun para Rsi dicegah oleh Jaya dan Wijaya yang merupakan penjaga pintu Waikunta. Akibatnya para Rsi menjadi marah dan mereka mengutuk Jaya dan Wijaya. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Kami dapat melihat bahwa posisimu di sisi Tuhan telah menjadikan kalian berdua sombong. Kami mengutuk kalian untuk meninggalkan Narayana. Kalian akan lahir sebagai manusia yang dikuasai oleh kama, kroda, mada dan semua kejahatan lain (Subramaniam, 2006:65).

Kesombongan akan membawa kehancuran dan kutukan, kutukan tersebut harus dijalani sebagai sebuah hukuman akibat perbuatan yang melanggar aturan. Mereka berdua diberi dua pilihan oleh  Dewa Wisnu jika hidup di dunia, yaitu sebagai pemuja Wisnu selama tujuh kehidupan atau sebagai musuh Dewa Wisnu selama tiga kehidupan. Karena Jaya dan Wijaya ingin singkat menjalani hidup di dunia, maka mereka lebih memilih untuk menjalani hidup sebagai musuh Dewa Wisnu. Selama Jaya dan Wijaya bereinkarnasi ke dunia dan menjalani karmanya, mereka selalu dibunuh oleh awatara Dewa Wisnu. Pada masa Satya Yuga, Jaya dan Wijaya lahir sebagai Hiranyaksa dan Hiranyakasipu, putra Diti dan Kasyapa. Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha awatara, sedangkan Hiranyakasipu dibunuh oleh Narasinga awatara. Pada masa Treta Yuga, Jaya dan Wijaya lahir kembali sebagai Ravana dan Kumbhakarna, putera Wisrawa dan mereka dibunuh oleh Rama awatara. Pada masa Dwapara Yuga, mereka lahir sebagai Sisupala dan Kamsa dan keduanya dibunuh oleh Kresna. Setelah mereka menjalani hukuman karma, Jaya dan Wijaya kembali ke Waikunta.
Dari kisah Jaya dan Wijaya tersebut, maka dapat mempertegas bahwa karma terdahulu sangat berpengaruh terhadap karakter kehidupan kini dan  kehidupan masa yang akan datang. Kelahiran dari  yang berwujud raksasa Hiranyakasipu menjadi Ravana lalu menjadi Sisupala, ini adalah sebuah proses, Hiranyakasipu adalah raksasa, Ravana juga berwujud raksasa, tetapi sudah lebih baik karena mempelajari Veda sedangkan Sisupa adalah manusia sempurna hanya saja mereka semua harus mati  ditangan Dewa Wisnu. Tidak ada yang terbebas dari ikatan karma, sehingga berbuatlah yang baik, jalani kehidupan dengan penuh rasa kasih dan mengamalkan ajaran agama yang merupakan sumber dari segala kebenaran. Sehingga nantinya terhindar dari karmaphala buruk dan menyiksa. Dari karma yang mempengaruhi karakter Vibhisana ini, dapat diambil hikmahnya, bahwa ketika istri hamil, suami harus berdoa untuk keselamatan istri dan jabang bayi agar anaknya benar-benar merupakan anugerah dari Sang Hyang Widhi bukan anak yang lahir dari sekedar nafsu. Jangan sampai yang lahir adalah keturunan yang bermasalah yang mengakibatkan penderitaan bagi keluarga.

4.3.2   Vibhisana Lahir dari Yadnya
Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta dari akar kata “Yaj” yang artinya memuja. Secara etimologi pengertian yadnya adalah korban suci secara tulus ikhlas dalam rangka memuja Hyang Widhi. Pada masa penciptaan alam Sang Hyang Widhi dalam kondisi Nirguna Brahman (Tuhan dalam wujud tanpa sifat) melakukan tapa menjadikan diri beliau Saguna Brahma (Tuhan dalam wujud sifat Purusha dan Pradhana). Dari proses ini, bahwa penciptaan awal dilakukan dengan yadnya yaitu pengorbanan diri Sang Hyang Widhi dari Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman. Selanjutnya semua alam diciptakan secara evolusi melalui Yadnya. Dalam Bhagawadgita Bab III, sloka 10 disebutkan :
saha-yajnāh prajāh srstvā
purovāca prajāpatih
anena prasavisyadhvam
esa vo ‘stv ista-kāma-dhuk
Terjemahan :
Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yadnya, berkata dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri) Pudja, 2004:84.

Dari satu sloka tersebut, jelas bahwa manusia saja diciptakan melalui yadnya, maka untuk kepentingan hidup dan berkembang serta memenuhi segala keinginannya semestinya dengan yadnya. Manusia harus berkorban untuk mencapai tujuan dan keinginannya. Yadnya memiliki tiga manfaat, yaitu :
1.         Menjamin ketenteraman bagi manusia melalui anugerah Dewa selama hidup di dunia;
2.         Untuk hidup bahagia setelah kematian di alam para Dewa;
3.         Yadnya sebagai kewajiban bagi ketenteraman dunia dan tanpa memikirkan keuntungan diri sendiri.
(Saraswati, 2009:40)
Setiap pasangan suami istri pasti menginginkan untuk mempunyai keturunan yang sempurna. Oleh karena itu, seyogyanya melaksanakan yadnya sebagai bentuk sujud dan bakti kehadapan Sang Hyang Widhi. Karena seorang anak adalah hadiah terbesar yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi, sehingga pelaksanaan yadnya sebagai bentuk rasa terimakasih kepada-Nya. Kelahiran Vibhisana karena yadnya dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Untuk mendapatkan keturunan yang berwujud manusia sejati, diperlukan sebuah korban suci secara tulus ikhlas. Karena Kesempurnaan dan kebahagiaan tidak mungkin akan tercapai tanpa ada pengorbanan. Diibaratkan bahwa diri manusia itu tidak ubahnya seperti lembu perah yang akan diperah terus menerus untuk memenuhi keinginan yang timbul pada diri manusia itu sendiri.
Sebagaimana Tuhan menciptakan manusia melalui yadnya, demikian pula manusia harus beryadnya untuk memperoleh segala keinginan, termasuk untuk memperoleh keturunan. Contoh sederhana bila memiliki secarik kain dan berniat untuk menjadikannya sepotong baju, maka kain yang utuh tersebut harus direlakan untuk dipotong sesuai dengan pola yang selanjutnya potongan-potongan tersebut dijahit kembali sehingga berwujud baju. Sedangkan potongan yang tidak diperlukan tentu harus dibuang. Jika bersikukuh tidak rela kainnya dipotong dan dibuang sebagian, maka sangat mustahil akan memperoleh sepotong baju.
Dari gambaran sederhana tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup maka harus rela berkorban. Tentu saja pengorbanan ini harus dilandasi rasa cinta, tulus dan ikhlas. Tanpa dasar tersebut maka suatu pengorbanan bukanlah yadnya.

4.3.3   Vibhisana Sebagai Simbol Sattwam
Dalam membaca mahakarya Ramayana, bukan saja tokoh Sri Rama saja yang menarik, tetapi juga tokoh-tokoh Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana. Mereka adalah tokoh bersaudara tetapi yang sangat menarik dan menjadi perhatian, karena mereka memiliki dasar-dasar pemikiran yang berbeda dan karakter yang berbeda. Menurut pemikiran timur, sifat manusia dapat dibagi ke dalam tiga kualitas. Setiap orang memiliki ketiganya dalam derajat yang berbeda. Namun setiap individu didominasi oleh satu dari ketiganya yang mempengaruhi dan mengarahkan tingkah lakunya (Madrasuta, 2013:25).
Sifat sattwam yakni sifat tenang, suci, bijaksana, cerdas, terang, tenteram, waspada, disiplin, ringan dan sifat-sifat baik lainnya. Orang yang dikuasai oleh sifat sattwam biasanya berwatak tenang, waspada, dan berhati yang damai serta welas asih. Kalau mengambil keputusan akan ditimbang terlebih dahulu secara matang, kemudian barulah dilaksanakannya.Segala pikiran, perkataan, dan perilakunya mencerminkan kebijaksanaan dan kebajikan, seperti tindakan sang Yudistira dan sang Krishna dalam cerita Mahabharata, dan tindakan sang Rama dan Vibhisana dalam cerita Ramayana. Keadaan sattwam adalah kesenangan diperintah oleh tindakan yang dituntut oleh pengetahuan dan kebijaksanaan. Seseorang bertindak dengan tujuan pasti adalah dia mengerti bahwa hadiah terdalam dari tindakan adalah kebahagiaan karena tindakan itu sendiri (Madrasuta,  2013:257).
a.      Sattwam dalam filsafat Samkhya
Pokok ajaran filsafat Samkhya ialah ajaran tentang Purusa dan Prakerti  yaitu asas rohani dan bendani. Dari keduanya ini terciptalah alam semesta dengan isinya (Sumawa dan Krisnu, 1995:139). Di dalam filsafat Samkhya, dalam Prakerti ada tiga guna. Prakerti dibangun oleh tri guna yaitu sattwam, rajas dan tamas. Purusa adalah tidak terikat, ia merupakan kesadaran, meresapi segalanya dan abadi. Karakter suatu mahluk ditentukan oleh tri guna. Sattwam adalah keseimbangan, bila sattwam yang berkuasa maka akan terjadi kedamaian dan ketenangan.  Rajas adalah aktivitas yang menyebabkan suka da tidak suka, menarik dan benci. Tamas adalah yang membelenggung hingga muncul kelesuan dan kemalasan. Salah satu guna ini biasanya lebih berpengaruh pada orang yang berbeda-beda, sehingga muncul karakter yang berbeda-beda pula.
Seseorang yang dikuasai sifat sattwam akan berkarakter bijaksana, cenderung menjalani kehidupan yang murni, suci, mulia dan memiliki sifat kedewataan. Sifat sattwam ini banyak dimiliki oleh orang-orang yang bijak atau orang suci. Dalam filsafat samkhya ada dua perubahan bentuk tri guna yaitu wirupa parinama dan swarupa parinama.
1.       Wirupa Parinama  
Wirupa parinama adalah disaat guna yang satu menguasai guna yang lain dan bekerja sama, maka terjadilah penciptaan (Sumawa dan Krisnu, 1995:141). Ketika wirupa parinama yang mempengaruhi dan Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana, mereka masih bertukar pikiran, maka Lańka menjadi sangat kuat, tidak bisa dikalahkan. Ketiganya saling memengaruhi dan mereka bersinergi,  maka mereka akan menjadi sakti. Jika Ravana mau mendengarkan Vibhisana maka mereka tidak akan pernah terkalahkan dan  apapun yang diinginkan pasti akan tercapai. Andai saja Vibhisana tidak usir oleh Ravana, Rama dan pasukan wanara akan kesulitan mengalahkan pasukan Ravana.
Ketika sattwan memihak kepada sattwam dan tidak lagi bergabung dengan rajas, maka pihak kebenaran ada di sattwam. Karena yang menjadi pengendali dari rajas adalah sattwam. Ibarat mobil dengan perangkatnya yaitu setir, gas dan rem. Setir melambangkan sattwam, gas melambangkan rajas dan rem melambangkan tamas. Tanpa adanya setir sebagai pengendali pengemudi, gas akan kehilangan arah dan tidak terkontrol. Demikian pula dengan Vibhisana yang bertugas sebagai penasehat raja, namun diusir dan dipermalukan oleh raja Ravana. Akibat diusirnya Vibhisana, dia memihak kepada Rama dan menjadi penasehat. Vibhisana memberi nasehat ketika Rama dililit oleh nagapasa milik indrajit.
Dengan bergabungnya Vibhisana, menyebabkan Rama mengetahui kelemahan para raksasa. Ketika indrajit melepaskan nagapasa, tidak akan yang bisa menolong kecuali Vibhisana yang memberi tahu obat lataosadi. Andai kata Vibhisana tidak bisa diusir, maka indrajit tidak bisa dikalahkan. Vibhisana memberi informasi Hanoman untuk melihat dan mengganggu ritual indrajit ketika memohon kesaktian kepada Dewi Kali. Ini bukti yang mempertegas bahwa, ketika sattwan, rajas dan tamas tidak bersatu pasti kehancuran yang akan terjadi. Membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh Vibhisana dan ini semua adalah rekayasa Sang  Hyang Widhi. Hanoman melihat yaga nikumbhila Indrajit, menyebabkan ritual  kepada Dewi Kali tidak berhasil. Hal ini sama dengan teori pengleakan di Bali. Ketika ada orang yang mau ngeleak tetapi dilihat oleh manusia menyebabkan kekacauan dan proses pengleakannya tidak sempurna. Dengan demikian, sattwam, rajas dan tamas harus bersinergi, jika tidak bersatu maka akan menyebabkan kehancuran, seperti yang dialami oleh Ravana dan para raksasa.
2.      Swarupa Parinama      
Swarupa parinama adalah pada waktu pralaya, masing-masing guna berdiri sendiri (Sumawa dan Krisnu, 1995:141). Ketika sattwam, rajas dan tamas, masing-masing berdiri sendiri maka akan terjadi kehancuran dan disebut dengan swarupa parimana. Seperti halnya, Ravana yang melambangkan rajas, Kumbhakarna melambangkan tamas dan Vibhisana yang melambangkan sattwam, karena terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan menyebabkan kehancuran. Vibhisana diusir dari negerinya sendiri. Vibhisana berbeda karakter dengan saudara-saudaranya, karena memang proses lahir Vibhisana berbeda dengan saudara-saudaranya. Ravana lahir dari nafsu, Vibhisana lahir dari tapa dan permohonan. Memohon agar mempunyai anak yang daivi sampat, artinya anak yang bersifat dewata dan mulia. Dari nafsu lahirlah Ravana, kemudian berkurang nafsunya, lahirlah Kumbhakarna, kemudian memohon lagi dan meningkat kualitasnya. Ibarat menyaring air, dari keruh makin jernih dan jernih. Baru yang terjernih adalah Vibhisana. Dengan tapa dan permohonan dari Wisrawa, Dewa Brahma mendengarkan dan akhirnya diberikan anak yang benar-benar berparas tampan dan berkarakter sattwam.
        Ketika svarupa parinama, kecenderungan masing-masing guna berputar dan bergerak pada diri sendiri. Di mana Ravana pada egonya, Kumbhakarna tidur dan bermalas-malasan, nasehat Vibhisana tidak didengar oleh Ravana dan mereka semua berdiri sendiri, menyebabkan semuanya hancur. Demikian juga tri guna dalam diri manusia. jika sattwam, rajas dan tamas berdiri sendiri  atau tidak saling mempengaruhi maka akan terjadi kiamat atau kematian. Rajas tidak ada, maka angin tidak akan bergerak menyebabkan manusia akan mati. Tamas tidak ada maka tidak akan ada yang tidur dan dunia selalu sibuk dan sattwam tidak ada, maka tidak akan  ada kebaikan di dunia ini. Ravana tidak mendengarkan nasehat Vibhisana dan Kumbakharna tidur maka terjadi kehancuran. Sattwan sudah tidak ada, andai saja Vibhisana masih ada di Lańka, maka akan sangat sulit untuk mengalahkan para raksasa. Vibhisana adalah simbol sattwam, sattwan sudah berusaha masuk ke rajas, supaya sattwam dan rajas ini bisa bersatu. Tetapi rajas tidak menerima dan akhirnya terjadi svarupa parinama.
b.      Sattwam dalam Wrhaspati-Tattwa
Wrhaspati-Tattwa adalah salah satu lontar yang bercorak siwaistik yang ajarannya bersumber dari Veda. Dalam Wrhaspati-Tattwa dijelaskan, kekuatan Tuhanlah yang menggerakan mayatattva dan timbulah pradhanatattva, yang merupakan perwujudan maya yang hampa yaitu alam tidak sadar. Tuhan menggabungkan atmatattva dan pradhanatattva. Atman lenyap dan menjadi tidak sadar. Ia menjadi acetana karena ia tidak merasa dimasuki oleh pradhanatattva. Itulah yang menyebabkan ketidaksadaran atman, sedangkan pradhanatattva digerakan oleh kekuatan Tuhan (kriyasakti) dan melahirkan tri guna, yaitu sattwam, rajas dan tamas (Putra dan Sadia, 1998:16).
Tri guna mewarnai pikiran manusia, sehingga akan berpengaruh terhadap perkataan dan perbuatan. Dalam Wrhaspati-Tattwa sloka 15 dan 16 dijelaskan :
Ikang citta mahangan māwa, yeka sattwa ngaranya, ikang madêrês molah, yeka rajah ngaranya, ikang abwat pêtêng, yeka tamah ngaranya
Terjemahan :
Sattwam bersifat terang dan bersinar, rajas berubah-ubah, tamas berat dan kabur. Ketiga sifat itulah yang mempengaruhi pikiran. Pikiran yang terang dan jernih disebut sattwam. Pikiran yang selalu berubah-ubah disebut rajas dan pikiran  yang berat dan keruh disebut tamas  (Putra dan Sadia, 1998:15).

Ikang ambêk duga-duga drêdha, maso ta ya wruh ta ya ri palenan ing wastu lawan maryada, wruh ta yeng Iswaratattwa, widagdha ya, mamanis ta ya denyan pamêtwakên wuwusnya, mahalêp pindakarāny awaknya, yeka laksana ning citta sattwika
Terjemahan :
Kejujuran, kebebasan, kelembutan, kekuatan, keagungan, ketangkasan, kehalusan dan keindahan adalah sifat-sifat pikiran sattvika. Pikiran jujur dan teguh dapat membedakan antara benda dan batas-batasnya, memiliki pengetahuan tentang Iswara-tattwa, pandai menunjukan kelembutan dalam berbicara, memiliki bentuk badan yang indah, merupakan sifat pikiran sattwika. (Putra dan Sadia, 1998:16).
                                   
Vibhisana mewakili diri yang sudah sadar, bahwa kakak-kakaknya Ravana, Kumbhakarna dan Surpanakha adalah saudara dalam kehidupan kini. Vibhisana mengasihi kakak-kakaknya, akan tetapi dia lebih memilih dharma, kebenaran yang nyata dan abadi. Wujud kakak-kakaknya hanya sementara di dunia, yang belum tentu dikenalnya dikehidupan sebelumnya maupun yang kehidupan yang akan datang.
Dalam ajaran tri guna, Vibhisana melambangkan Sattwam, berbeda dengan kakak-kakaknya yang mewakili rajas, tamas dan kama. Ravana mewakili ego yang hanya memikirkan diri pribadi, termasuk menculik Sita dengan menggunakan segala cara dan mempertahankannya dengan kekuasaan. Bahkan mengorbankan rakyat dan negara demi kesenangan pribadi, dalam ajaran tri guna, Ravana melambangkan Rajas. Ketika Ravana dipengaruhi oleh kama dan mada, itu adalah awal dari kehancurannya dan itulah sebab kebinasaannya. Surpanakha adalah lambang dari kama (nafsu). Surpanakha adalah penyebab diculiknya Sita, karena informasi keberadaan Sita berasal dari Surpanakha, seperti dalam uraian teks dijelaskan :
“Rama memiliki istri bernama Sita, “ia amat cantik” ucap Surpanakha. Aku pikir kesempurnaan wanita ini akan menjadi ideal jika menjadi milikmu. Dadamu yang perkasa adalah tempat bersandar untuk tangannya yang lembut. Ketika aku berusaha menangkapnya  untuk membawanya padamu sebagai hadiah, pada saat itulah Laksmana melakukan penghinaan dengan melukai dan membuatku cacat seumur hidup” (Subramaniam, 2003:59).

Jika berpikir lebih dalam, siapa sebenarnya musuh-musuh yang paling kuat dalam hidup ini ? ternyata musuh itu adalah pikiran yang tercemar. Ketika nafsu berjalan bersama dengan rajas menyebabkan sifat-sifat yang penuh semangat membara ini tidak terkontrol, karena nafsu yang berlebihan menjadi pemimpin semua sifat buruk manusia. Dalam buku “Hidup itu seperti petir” Suyadnya (2007:9-10) Krsna bersabda bahwa betapapun tingginya pendidikanmu, apapun pangkatmu, apapun jabatanmu, kalau engkau tidak bisa mengendalikan nafsu, engkau tidak akan memperoleh ketenangan batin. Ketenangan batin hanya dapat diperoleh dengan mengendalikan nafsu.
Kumbhakarna mewakili ego yang sudah meluas memikirkan negara yang menghidupinya, sehingga walaupun tahu kepala negara sekaligus kakak kandungnya bersalah, dia berperang membela negaranya yang sedang diserang. Terlepas dari anugerah yang diperoleh oleh Kumbakarna, dalam kesehariannya Kumbakarna selalu tidur, bermalas–malasan dan tidak memikirkan apapun yang ada disekitarnya. Sehingga dalan ajaran tri guna, Kumbhakarna melambangkan tamas.
c.       Sattwam dalam Dwaita Wedanta 
Dalam Dwaita Wedanta dijelaskan bahwa jiwa dapat dipengaruhi oleh tri guna yaitu :
1.      Jiwa sattwika yaitu yang dikuasai oleh sifat sattwam dan jiwa semacam ini akan dapat menuju ke alam sorga.
2.      Jiwa rajasa ialah jiwa yang dikuasai oleh sifat rajas dan jiwa yang semacam ini akan tetap dalam keadaan samsara.
3.      Jiwa tamasa ialah jiwa yang dikuasai oleh sifat tamas dan jiwa ini akan jatuh ke alam neraka.
      Pengaruh tiga guna inilah yang menentukan jiwa-jiwa itu untuk mencapai sorga, kelahiran kembali ke dunia dan masuk neraka yang menyebabkan seseorang mengalami kebahagiaan dan penderitaan. Menurut Dwaita, tiga guna itu merupakan produk pertama dari prakerti yang menjadi asas kebendaan, maka dari  itu pengaruhnya sangat kuat terhadap jiwa. Dalam modul 1-12, Sumawa dan Krisnu (1995:264) dijelaskan bahwa :
1.      Sattwam adalah unsur dari prakerti yang alamnya bersifat tenang, riang, terang dan bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran, sifatnya ringan yang menimbulkan gerak keatas, seperti adanya angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangang, kepuasan dan kebahagiaan.
2.      Rajas adalah unsur gerak pada benda-benda ini, ia selalu bergerak, yang menyebabkan benda dan makhluk bergerak. Rajas menyebabkan api berkobar, angin berhembus dan pikiran berkeliaran kesana-kemari.
3.      Tamas menyebabkan sesuatu menjadi pasif dan bersifat negatif. Ia bersifat keras, menentang aktivitas, menahan gerak pikiran sehingga menimbulkan kegelapan, kebodohan dan mengantarkan manusia pada kebingungan.
Pengalaman di dunia, setiap objek tampaknya memiliki tiga karakter. Masing–masing dari karakter ini mewakili satu aspek berbeda dari realitas fisik. Sattwam menandakan segala sesuatu yang murni halus dan berguna untuk menghasilkan kebahagiaan. Rajas selalu aktif, ia juga bertanggung jawab untuk keinginan dan ambisi. Tamas yang berarti pendiam dan memberikan perlawanan. Ia cenderung untuk tidur dan tidak aktif (Madrasuta, 2014:73). Ketiga guna ini selalu hadir bersama dan tidak pernah dapat dipisahkan. Ketiga ini ada didalam satu keadaan seimbang secara sempurna dan sangat mempengaruhi karakter hidup manusia.
Adanya tri guna pada manusia menyebabkan adanya orang–orang yang sabar dan tenang serta tabah menghadapi sesuatu  yang menimpa dirinya. Adanya orang–orang yang resah, gelisah, bingung dan selalu penuh dengan kesibukan dalam hidup ini. Selain itu ada lagi orang–orang yang malas, manja, tidak mau bekerja, apatis dan masa bodoh serta acuh tak acuh yang tidak menghiraukan apa yang terjadi disekelilingnya.
Karakter Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana selalu ada dalam diri manusia. Ketika Ravana yang bersifat rajas menguasai diri ini maka akan mengakibatkan kehancuran dan penderitaan yang mendalam. Apapun yang sifatnya berlebihan itu tidaklah baik. Hindari memuaskan diri sendiri tanpa berlandaskan ajaran dharma. Sradha kepada Tuhan dan sifat tidak mengejar keduniawian merupakan kunci untuk mencapai kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian. Bhagawan Sri Satya Sai Baba bersabda bahwa ketidakterikatan terhadap keduniawian memberi kebahagiaan dan keterikatan membawa sengsara. Dalam kutipan dijelaskan :
“Beradalah di dunia namun tidak terikat. Saudara, rekan, teman, dan mitra Rama, semuanya adalah teladan pribadi yang dijiwai oleh dharma. Tiga pemimpin raksasa melambangkan pribadi yang bersifat rajas (Ravana), sifat tamas (Kumbhakarna), dan sifat sattva (Vibhisana). Sita merupakan Brahmajnana atau kesadaran Tuhan yang universal dan mutlak yang harus dicapai setiap individu melalui pahit getirnya kehidupan dunia. Sucikan dan kuatkan hatimu dengan merenungkan kemuliaan Ramayana dan yakinilah Rama adalah jati dirimu” (Bhagawan Sri Satya Sai Baba, terj.,N Kasturi, 2011:xi-xii).

Ibarat makan, jika makan itu berlebihan makan perut akan menjadi sakit. Karena perut sakit menyebabkan diri ini menderita.  Akan tetapi ketika manusia sudah bisa mengendalikan diri, apapun yang dimakan pasti dengan porsi yang cukup, seperti ada pepatah yang mengatakan “berhentilah makan sebelum anda kenyangan”. Kalimat ini menyarankan untuk hidup secara seimbang dan tidak berpoya–poya. Semua sifat itu ada pada karakter Vibhisana yang selalu menjalankan kaidah kehidupan dengan seimbang. Itu semua dia buktikan dengan selalu mengatur pola makannya, menghormati para leluhurnya, dan rajin berdoa untuk keselamatan dunia.
Di dalam Vayu Purana disebutkan bahwa Brahma membagi ke dalam 3 fungsi utama, yaitu sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, yang disebut dengan Tri Murti. Tri Murti jika dikaitkan dengan Tri Guna maka akan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya. Dewa Wisnu dengan sifatnya sattwam yang bertugas untuk memelihara dan menjaga dunia dari sifat-sifat adharma, Dewa Brahma adalah Dewata dengan sifatnya rajas yang bertugas sebagai pencipta dan Dewa Siva adalah Dewata dengan sifatnya tamas yang bertugas sebagai pralina atau pelebur. Jika dikaitkan dengan karakter Vibhisana yang berpegang teguh pada dharma, maka Vibhisana karakternya dipengaruhi oleh sifat-sifat sattwam.

4.3.4     Vibhisana Berpegang Teguh pada Prinsip Kebenaran
Vibhisana adalah simbol dharma yang merupakan kebenaran tertinggi dan universal. Dimanapun kebenaran itu akan tetap benar. Walau ditaruh ditempat yang kotor, tetap saja akan berpegang teguh pada kebenaran. Dalam kehidupan Vibhisana, dia selalu berpegang teguh pada prinsip hidupnya. Prinsip tersebut tidak lepas dari karakter Vibhisana yang baik, sopan, tenang karena sifat Vibhisana dipengaruhi oleh sattwam dan menyebabkan perilaku Vibhisana yang sesuai dengan ajaran moral dan sesuai dengan aturan. Vibhisana yang sejak lahir memang berwujud manusia dan tidak terpengaruh oleh lingkungan tempat dia tinggal. Ketika Vibhisana lahir, Rsi Wisrawa bersabda bahwa Vibhisana akan menjadi anak berwatak Brahmana sejati. Berani mempertahankan pendirian dan bersedia mengorbankan apa saja demi membela kebenaran (Pratikto, 1983:58). Saat dewasa Vibhisana bertapa memohon anugerah, permohonan Vibhisana sungguh mulia. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
“Anak muda, apa yang kamu inginkan dari tapamu ini ? Vibhisana menjawab, yang aku inginkan hanyalah kenyamanan dan keamanan dunia sehingga kehidupan manusia dan makhluk–makhluk hidup lain dimuka bumi ini menjadi tenang dan damai. Apa kau sanggup menjalaninya ? Vibhisana menjawab, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran demi kenyamanan dan keamanan kehidupan di dunia ini. Dewa Brahma sungguh sangat senang mendengar hal tersebut. Sehingga Vibhisana diberi anugerah sikap kelembutan dari tutur kata yang dapat mempengaruhi orang lain untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan yang akan dilakukan” (Kresna, 2012:113-114).

Keinginan Vibhisana sungguh mulia dan anugerah itu menjadi prinsip hidupnya. Dengan  karakter dan anugerah tersebut, Vibhisana bagaikan permata yang bersinar di antara para raksasa. Karakter yang berpegang teguh pada kebenaran dan berani menentang tindakan-tindakan adharma menyebabkan Vibhisana sering berselisih dengan Raja Ravana. Kebenaran adalah dharma dan dharma adalah nafas kehidupan. Sri Swami Sivananda (2003:72) menyatakan bahwa dalam filsafat Waisesika, yang meningkatkan dan membawa lebih dekat kepada Tuhan adalah benar, yang membawamu turun dan jauh dari Tuhan adalah salah, yang dilakukan dengan tepat sesuai dengan kitab suci adalah benar dan yang dilakukan dengan melanggar kitab suci adalah salah. Agama adalah ajaran tentang kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu-gugat karena berasal dari Tuhan. Kebenaran adalah sesuatu yang tidak berubah dan selalu benar. Jika kebenaran itu adalah sesuatu yang benar hari ini, maka kebenaran itu juga akan menjadi benar besok dan selamanya. Karakter Vibhisana berpegang teguh pada kebenaran adalah kebenaran yang berdasarkan ajaran kitab suci yang merupakan petunjuk dari Tuhan dan tindakan Vibhisana dibenarkan dalam kitab suci. Adapun ajaran-ajaran kebenaran dalam kitab suci dipertegas dalam berbagai sloka-sloka, antara laian :
a.      Ajaran Kebenaran dalam Slokantara
Secara harafiah, Slokantara berarti untain sloka mahawakya yang diyakini mengandung kebenaran hakiki. Kitab ini sejajar kedudukannya dengan kitab Sarasamuccaya yang bersama-sama merupakan Kitab Smrti (Sudharta, 2012:vii). Teks Slokantara dapat menjadi fundamen yang kokoh bagi umat Hindu dalam menghadapi kehidupan yang penuh godaan duniawi yang menyesatkan. Ketika Vibhisana telah lelah memberi nasehat kepada Ravana, hingga pada akhirnya demi kebenaran, Vibhisana meninggalkan itu semua, karena tidak ada yang melebihi dari ajaran kebenaran dan itu dibenarkan dalam kitab Slokantara.  Dalam kitab Slokantara Sloka 3 (7) dan  4 (9) di jelaskan :
Nāsti satyāt paro dharmo nānrtāt pātakam param,
triloke ca hi dharma syāt tasmāt satyam na ’lopayet.
Terjemahan :
Tidak ada dharma (kewajiban suci ) yang lebih tinggi dari kebenaran (satya), tidak ada dosa lebih rendah dari dusta. Dharma harus dilaksanakan di ketiga dunia ini dan kebenaran harus tidak dilanggar  (Sudharta,  2012:15).

Anityam yauwanam rupamanityo drawyasamcayah,
anityah priyasamyogastasmād dharmam samācaret.
Terjemahan :
Keremajaan dan kecantikan rupa tidak langgeng. Timbunan kekayaan tidak langgeng. Hubungan dengan yang dicinta pun tidak langgeng. Oleh karena itu harus selalu mengejar dharma (kebenaran) karena itulah yang langgeng  (Sudharta, 2012:17).

 Vibhisana mempunyai harta berlimpah, mempunyai wewenang sangat besar sebagai adik seorang raja yang sangat berkuasa. Vibhisana mempunyai keluarga yang hidup sejahtera di negeri Lańka. Akan tetapi demi kebenaran dia rela menukar itu semua dengan menyeberang ke pihak Rama yang kekuatannya belum diketahui apakah bisa mengalahkan pasukan Lańka. Sebuah pilihan yang penuh resiko terhadap diri dan keluarganya, terutama apabila pasukan Rama kalah perang melawan pasukan Ravana. Sesungguhnya manusia semua, tanpa kecuali sadar atau tidak, tengah memetik buah dari masa lalu. Seperti yang dijelaskan dalam kitab Slokantara sloka 43(40), bahwa seorang pelayan boleh meninggalkan rajanya dengan alasan yang dijelaskan sloka ini yang berbunyi :
Tyajet swāminamatyugrāt krpanam tyajet,
Knpanadawisesajnamawisesat krtaghnakan.
Terjemahan :
Seorang pelayan boleh meninggalkan tuannya, jika tuannya itu sangat kejam atau kikir, sangat kikir, apabila jika ia tidak mempunyai rasa perikemanusiaan, atau jika ia tidak bisa membalas budhi  (Sudharta,  2012:133).
Jika keluarga bertindak yang bertentangan dengan ajaran dharma dan menginjang-injak dharma maka tindakan yang harus di perbuat adalah menasehati dengan perkataan dan menasehati dengan tindakan. Dia adalah musuh bagi kebenaran. Membela kebenaran jangan pernah mengkaitkannya dengan hubungan kekerabatan dan bertindaklah adil. Hal ini dipertegas dalam kitab Slokantara  sloka 25 (51) yang berbunyi:
Paro’pi hitāwām bandhurbandurapyahitah parah,
ahito dehajo wyādhir hitamāranyamausadham
Terjemahan :
Walau orang lain tetapi bermaksud baik adalah keluarga. Walau keluarga tetapi kalau bermaksud jahat adalah orang lain. Sebagai halnya penyakit, walaupun timbul dari diri sendiri tidaklah menyenangkan, sedangkan daun obat-obatan walaupun dari hutan asalnya, sangatlah dihargai (Sudharta,  2012:85).

Dari Sloka tersebut dapat dijelaskan kondisi–kondisi kapan waktunya seorang raja patut ditinggalkan. Ketika raja mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan nasib rakyatnya atas perbuatan menculik Sita, ketika itu juga penasehat raja harus berani membuka pintu hati sang raja agar mengubah sikapnya. Sudah sepatutnya seorang penasehat memberikan arahan dan jalan kebenaran. Namun apa jadinya jika seorang penasehat yang jujur dan bijaksana, tetapi raja tidak memperdulikannya bahkan mengusirnya. Jika seorang raja sudah bertindak sedemikian jahatnya dan tidak menghiraukan cahaya kebenaran, tinggalkanlah raja yang bersifat demikian. Seketika penasehat raja yang bijaksana meninggalkannya, seketika itu pula cahaya akan padam. Akibatnya kegelapan dan nafsu yang menyelimutinya yang menyebabkan raja menjadi tersesat dan terjerumus ke dalam lubang kehancuran.
Vibhisana adalah ornamen yang paling indah seperti permata. Dia telah memahami bahwa negara hanya merupakan maya yang tidak abadi yang berguna bagi peningkatan kesadaran, sedangkan dharma adalah kebenaran yang benar-benar nyata. Vibhisana secara tidak langsung telah memuliakan dan mensucikan kaum Raksasa.
b.      Keagungan Dharma dalam Kitab Sarasamuccaya
Untuk mencapai kebahagiaan itu orang harus mengamalkan ajaran kebenaran dengan sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu, marilah amalkan ajaran kebenaran dimulai dari diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Dharma juga sering didefinisikan sebagai jalan dua arah yaitu pravrtti dan nivritti. Pravrtti adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan dunia luar atau dunia lahiriah. Sedangkan nivrtti adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan batiniah (Sri Satya Sai, 2008:69).  Dengan mengamalkan ajaran kebenaran, seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Dalam kitab Sarasamuccaya dijelaskan tentang keagungan dharma atau kebenaran, yaitu :
1.      Mengamalkan ajaran dharma dengan sebaik-baiknya memberi jalan untuk mendapatkan kebahagiaan, baik jasmani maupun rohani. Dalam Sloka nomor 12 dijelaskan :
Kamarthau lipsamānastu
Dharmmamevāditascaret
Nahi dharmmādapetyārthah
Kāmo yapi kadācana
Terjemahan:
Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nantinya, tidak aka nada artinya jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma (Kajeng, 2005:15).

Dari sloka di atas, jika ingin mendapatkan artha dan memuaskan nafsu, hendakanya harus memahami dharma. Karena dharma akan mengantarkan manusia untuk memperoleh artha dan pemuasan nafsu dengan jalan yang benar. Tetapi untuk menegakan pengamalan ajaran dharma yang menyimpang, nafsu harus di kendalikan. Pemuasan nafsu yang berlebihan adalah penyebab dari kehancuran. Sebagai contoh, Ravana yang menculik Sita secara paksa karena tergoda oleh nafsu yang membutakan mata hatinya. Oleh karena itu, kendalikan kama yang dapat merusak tatanan ajaran dharma. Jika sudah demikian, maka kepuasan pasti akan diperoleh dan kepuasan yang dapat berdasarkan tindakan dharma.
2.      Dharma adalah penyelamat bagi mereka yang teguh budhinya, walaupun ia harus berkelana dan meninggalkan semua yang dimikili demi menegakan dharma. Dalam sloka nomor 18 dijelaskan :
Dharma sadā hitah pumsām
Dharmacaivācrayah satam
Dharmallokāstrayastāta
Prawartatah sacarācarāh
Terjemahan :
Dan keutamanan dharma itu sungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan bagi mereka yang melaksanakannya, lagipula dharma itu merupakan perlindungan orang yang berilmu, tegasnya hanya dharmalah yang dapat melebur dosa triloka dan jagat tiga itu  (Kajeng, 2005:18).

Dari sloka di atas, dapat dijelaskan bahwa untuk mencapai kebahagiaan maka bertindaklah sesuai dengan ajaran dharma. Tetaplah berada dijalan dharma, walau terkadang jalan dharma menyakitkan dan butuh pengorbanan. Tindakan Vibhisana yang meninggalkan keluarga dan rakyatnya adalah untuk menegakan kebenaran di negerinya. Vibhisana ingin menunjukan, inilah jalan kebenaran yang harus dilakukan. Dari sloka diatas pengamalan ajaran dharma dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu :
1)         Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya dipertimbangkan baik itu pikiran, perkataan maupun perbuatan.
2)         Dharma adalah universal dan tidak pilih kasih, ia berlaku di mana saja dan kapan saja. Karena dharma adalah kebenaran tertinggi.
3)         Ada harta yang tidak dapat hilang dan akan dibawa sampai mati, harta yang dimaksud adalah perbuatan dharma.
4)         Orang yang tekun melaksanakan dharma akan terhindar dari penderitaan, tidak perlu khawatir sebab ajaran dharma selalu memberikan perlindungan.
Dalam wrhaspati tattwa dijelaskan bahwa dharma adalah perbuatan mulia, yajna, tapa, dana punia, dan yoga (Putra dan Sadia, 1998:21). Dengan mengamalkan ajaran dharma, maka seseorang akan mencapai sorga dan berinkarmasi menjadi manusia rupawan dan dermawan.

4.3.5   Nasehat  Kebenaran Vibhisana kepada Ravana
Ada pepatah yang mengatakan bahwa keberhasilan tergantung pada nasehat orang bijak. Vibhisana merupakan penasehat raja dan selalu menjalankan tugasnya dengan baik. Ketika Vibhisana bertemu dengan Hanoman, Vibhisana berdialog dengan Hanoman, seperti yang diuraikan dalam teks :
“Wahai Hanuman, engkau sungguh beruntung telah dipilih sebagai Duta Sri Rama. Tahukah wahai Hanuman, mengapa saya yang berdoa setiap hari terhadap Sri Rama belum dapat bertemu Sri Rama?” Hanuman menjawab: “Pangeran Vibhisana, karena senantiasa doa  maka Pangeran akan memperoleh kesempatan dharsan, bertemu muka dengan Sri Rama. Akan tetapi sekedar berdoa kurang bermakna, doa harus diikuti perbuatan nyata. Paling tidak Pangeran harus menyuarakan Kebenaran. Karena yang paham diam,  maka negeri Lańka mengalami carut-marut dalam penegakan dharma.” (Anandas Ra, 2004:122).

Dari dialog tersebut, keberanian Vibhisana muncul untuk menasehati Ravana, karena tindakannya telah menyimpang dari ajaran dharma. Ia mengetahui betul kaidah dharma yang harus di jalani sebagai seorang penasehat raja. Vibhisana adalah orang yang mahir dalam seni berbicara. Dari tutur bicara, Vibhisana tahu apa yang harus diucapkan, kapan dan dimana ia harus berbicara. Sesuai dengan karakter Vibhisana yang tenang dan sopan mencoba untuk menasehat Ravana.
Ternyata umur tidak bisa menjadi jaminan seseorang untuk bisa berpikir lebih dewasa dan bijak. Ibarat pepatah mengatakan, “lebih duluan yang tua merasakan garam kehidupan tetapi belum tentu bisa berpikir bijak”, Vibhisana yang lebih muda tetapi berpikir dewasa dan tidak ada salahnya Vibhisana menasehati Ravana. Karena yang menunjukan kedewasaan seseorang dalam kehidupan bukan dari usianya, namun dari karakter yang baik, ucapan dan tindakan yang bijaksana. Di dunia ini akan mudah untuk mencari orang yang akan menyenangkan hati dengan kata-kata yang manis, akan tetapi akan sangat sulit mencari orang yang menyuarakan kebenaran dengan tegas. Dunia ini bagaikan dijatuhi racun oleh perbuatan Ravana. Oleh karena itu, harus ada penawar racun agar dunia terselamatkan. Nasehat yang jujur ibarat pil pahit namun pada akhirnya akan menyembuhkan. Kritik yang jujur sulit diterima, terutama dari seseorang anggota keluarga, seorang teman, seorang kenalan atau orang asing (Foster, 2008:78). Nasehat Vibhisana adalah amerta yang akan menyelamatkan Ravana dan dunia ini. Adapun nasehat-nasehat dari Vibhisana untuk raja Ravana, yaitu Vibhisana ingin agar Ravana  mempertimbangkan kekuatan musuh, mengembalian Sita dan menyembah Rama.
a.      Mempertimbangkan kekuatan musuh
Tugas menjadi seorang penasehat adalah menasehati tentang kebenaran, walau terkadang kebenaran itu menyakitkan. Namun, jika nasehat itu diperuntukan untuk kepentingan bersama, seharusnya nasehat tersebut dipertimbangkan. Pasukan Lańka terlalu menganggap remeh pasukan Wanara, sehingga mereka semua menjadi sombong. Tetapi, mempertimbangkan kekuatan musuh adalah suatu kebijakan yang sangat tepat. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
“Aku telah mendengar tentang Rama. Dia adalah orang yang selalu berhati-hati dan penuh pertimbangan akan selalu didukung oleh para Dewa. Rama adalah seorang yang selalu jaya  dan yang terpenting adalah Dewa ada dibelakangnya. Pertimbangkanlah kekuatan Hanoman, tidak boleh merendahkan kekuatan musuh” (Subramaniam, 2003:13).

Dari kutipan di atas, dapat dilihat sosok Vibhisana yang bisa menilai dan menimbang kekuatan musuh. Sudah sangat jelas, kesalahan ada dipihak Ravana, karena menculik istri Rama. Seharusnya tidak ada peperangan, namun yang harus dilakukan adalah mengembalikan Sita dan memohon maaf kepada Rama. Tidak boleh meremehkan musuh, walau seorang raja memiliki kekuatan yang luar biasa dan tidak terkalahkan. Karena dengan demikian hanya akan menimbulkan sifat keakuan yang sebenarnya akan membawa diri pada kehancuran. Jangan pernah mengukur kekuatan musuh dari segi fisik dan jumlah. Semua menteri dan pasukan raksasa Ravana memberikan nasehat penuh dengan kesombongan yang merupakan ciri khas sifat dari para raksasa. Ravana adalah orang yang bingung dan bodoh, kejam tak punya belas kasihan. Ravana ibarat racun, supaya menjadi sehat, hendaknya menasehatinya.
b.      Menasehati untuk mengembalikan Sita
Ketika mengambil istri orang, itu adalah dosa yang paling besar, membunuh Brahmana  adalah dosa terberat dan terjahat. Kalau selingkuh, menyebabkan dosa pada istri dan dosa pada suaminya dia. Ravana seharunya berani mengakui kesalahan, karena Sita bukan istri yang diperebutkan dalam sayembara, melainkan dengan menculik dan itu adalah tindakan yang sangat memalukan. Kejatuhan seseorang ada tiga yaitu  tahta, harta dan wanita. Awal dari segala bencana yang terjadi di negeri Lańka adalah akibat ulah memalukan rajanya sendiri. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Kalian harus menasehati agar dia mengembalikan Sita pada suaminya dan ini adalah jalan yang terbaik. Vibhisana menoleh kearah Ravana dan berkata, kembalikan Sita pada Rama. Maka selanjutnya kau akan terbebas dari segala kekhawatiran dan kamipun bisa bernafas lega serta hidup bahagia. Vibhisana memohon agar nasehatnya didengar” (Subramaniam, 2003:21-23)

Memang dalam hidup ini akan sangat mudah menemukan seseorang dengan kebohongan dan menyenangkan hati  dengan kata-kata yang manis. Tetapi sulit mencari seseorang yang jujur dan tulus dari hati, seperti tindakan lantang dan berani Vibhisana yang menyuruh Ravana untuk mengembalikan Dewi Sita.  Karena dengan mengembalikan Sita, berarti Ravana menjunjung tinggi nilai keagungan martabat leluhurnya, Ravana akan tercatat sebagai seorang raja yang cinta damai, Ravana akan menjadi raja yang pandai menghargai hak dan nilai budhi seorang raja yang luhur, dengan keputusan itu Ravana akan dihormati sejarah sebagai seorang raja yang mengutamakan cinta kasih dan Ravana akan dihormati para Dewa dan umat manusia diseluruh dunia  (Pratikto, 1983: 348-349).
Jika Ravana dikaitkan dengan jaman sekarang ini, Ravana akan dicap sebagai pemimpin yang tidak bermoral oleh rakyatnya sendiri. Bukannya mempertahankan daerah kekuasaan tetapi mempertahankan istri orang lain. Seharusnya tidak ada rakyat yang patut untuk membelanya. Tetapi sangat disayangkan, karena pengaruh sifat keraksasaan mereka ikut terjerumus oleh nafsu rajanya Ravana. Namun Vibhisana memang sungguh berbeda, Vibhisana ibarat permata didalam lumpur. Walau dikotori oleh lumpur tetap saja akan menjadi permata yang indah. Vibhisana yang berada di lingkungan para raksasa tetapi tetap bisa memancarkan cahaya kebenaran, bahkan tidak terpengaruh oleh lingkungan tempat dia berada. Seperti pernyataan Vibhisana kepada Ravana “sekarang apa tujuan berperang? hanya bersitegang mempertahankan istri orang lain? Bukakankah nama paduka yang agung dan berwibawa akan runtuh karenanya?”(Pratikto, 1983:349).
 Dengan demikian nasehat–nasehat yang disampaikan oleh Vibhisana sungguh agung dan mengarahkan kejalan kebenaran. Apa yang dipertahankan oleh Ravana itu adalah sesuatu yang tidak sepatutnya dipertahankan. Karena Sita adalah racun yang telah membutakan mata Ravana. Racun yang akan membunuh kejahatan para raksasa. Sita ibarata kekuasaan yang dipertahankan untuk kepentingan Ravana sendiri tetapi mengorbankan rakyat Lańka untuk mempertahankannya. Ravana telah dipengaruhi oleh Sad Ripu karena tidak bisa mengendalikan keinginannya. Andai saja Ravana mempertahankan wilayah kekuasaan, peneliti mempunyai keyakin bahwa Vibhisana tidak akan membelot dan membantu raja untuk berperang. Namun pada kenyataannya apa yang telah dipertahankan Ravana telah berseberangan dengan sendi–sendi ajaran  kebenaran.
c.       Menasehati agar Ravana menyembah dan bersahabatan
Vibhisana menasehati Ravana agar menyembah dan bersahabat dengan Rama. Seperti yang diuraikan dalam teks dijelaskan bahwa “tuanku, mohon dengarkan nasehatku, ambil permata-permata berhargamu dan bawalah Sita kepada Rama” (Subramaniam, 2003:23). Nasehat untuk menyembah dan bersahabat dengan Rama adalah nasehat yang sungguh mulia. Peneliti mempunyai keyakinan jika Ravana mau mendengarkan nasehat Vibhisana maka kerajaan Lańka akan semakin jaya. Menyembah dan mengakui kesalahan adalah tindakan kesatria. Dengan menyembah Rama, sebenarnya Ravana akan berumur panjang karena terbebas dari kematian.
Namun karakter Ravana yang angkuh dan merasa hebat menyebabkan dia menjadi sombong dan tidak mau bersahabat. Menyembah dan bersahabat dengan musuh, bukanlah tindakan pengecut. Karena persahabatan akan melahirkan rasa saling mengasihi dan saling menyayangi. Bahkan yang termulia akan semakin terhormat dan disegani oleh masyarakat. Apabila Ravana mau mendengar nasehat Vibhisana, maka selamanya tidak akan terjadi perang, tidak ada kerugian, tidak ada kematian, tidak ada kesedihan yang diterima oleh Ravana dan pengikutnya. Nasehat Vibhisana adalah siasat yang tetap, karena peperangan tidak akan menghasilkan apa-apa, yang ada hanya kehancuran dan penderitaan. Apalagi Ravana berada dipihak yang salah dengan menculik Sita, maka  Ravana akan hancur.

4.3.6    Vibhisana Berseberangan dengan Kepala Negara
Ketika Vibhisana berseberangan dan berbeda pendapat dengan kepala negara banyak kalangan yang menyebutkan adalah seorang penghianat.  Namun peneliti berpandangan lain, karena karakter Vibhisana yang berpegang teguh pada prinsip kebenaran dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Vibhisana memberikan saran dan nasehat, namun saran tersebut tidak diterima oleh Ravana. Sejak kecil hingga dewasa, Ravana dan Vibhisana selalu berbeda pendapat, namun Vibhisana tetap hormat kepada kakaknya. Adapun penyebab Vibhisana berseberangan dengan kepala negara dan pergi meninggalkan negeri Lańka, yaitu :
a.      Vibhisana diusir oleh Ravana
Vibhisana mencoba menasehati tentang kebajikan kepada Ravana, Tujuan dari nasehat tersebut adalah untuk menyelamatkan Ravana dari kehancuran. Namun Vibhisana diusir dari tanah kelahirannya sendiri dan Vibhisana bingung karena diusir dan tidak tahu dia harus pergi kemana, seperti yang diuraikan dalam teks dijelaskan bahwa :
“Vibhisana dengan sabar berusaha mengingatkan sang raja atas tindakan bodohnya dan sang raja malah menyakiti hatinya dengan kalimat kasar dan mengusirnya. Kesetiaan itulah yang memaksa Vibhisana untuk memberikan nasehat yang sia-sia, karena Ravana telah diikat di tali kematiaanmu” (Subramaniam, 2003:24-25).

Kepergian Vibhisana meninggalkan raja Ravana, apakah bisa disebut dengan tindakan penghianatan. Apakah Vibhisana berhianat? tergantung dari segi mana melihatnya. Kalau orang yang tidak mengerti prosesnya maka Vibhisana disebut penghianat, tetapi jika seseorang  mengerti prosesnya bahwa sebenarnya Vibhisana diusir dan mahkotanya ditendang maka akan berpendapat berbeda. Karena tidak mungkin kebenaran itu mau diam ditempat yang salah. Mengapa dia meninggalkan negeri ? karena dia di usir dan ditendang kehormatannya.
Semua nasehat yang diberikan oleh Vibhisana menjadi tidak berarti lagi. Karena Ravana sudah dipengaruhi oleh Sad Ripu dan Sapta Timira yang menyebabkan kegelapan (avidya) dalam dirinya. Kalimat pedas dan hinaan yang dilontarkan dengan kasar oleh Ravana ditanggapi dengan senyum oleh Vibhisana. Ravana terpengaruh oleh musuh-musuh dalam diri ini. Sad Ripu adalah enam musuh dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi (Putra, Jelantik dan Arawa, 2013:137). Kama dan krodha adalah penyebab manusia kehilangan jati diri, seperti asap yang menyelimuti api, menyebabkan diri kehilangan sifat aslinya. Memerangi Sad Ripu harus dimulai dari membatasi keinginan atau kama, karena kama yang berlebihan merupakan sumber penderitaan. Apabila tidak mampu menguasainya akan membawa bencana dan kehancuran total bagi kehidupan manusia. Bhagawan Satya Narayana (ter., I Dewa Geda Malih, 1999:27–28) menandaskan bahwa manusia harus berusahan menundukan manah dengan budhi yang berkemampuan membeda–bedakan (viveka) sehingga dengan demikian manah akan dapat menolong karena kalau tidak demikian, ia malah akan dirugikan.
b.      Berseberangan akibat Ravana menculik Sita
 Dalam beberapa sloka dijelaskan bahwa, dimana wanita tidak hargai dan dilecehkan disana akan terjadi kehancuran, seperti yang dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 56 dan III. 57, yang berbunyi :
Yatra Naryastu Pujyante
Ramante Tatra Devatah
Yatraitastu Na Pujyante
Sarvastatraphalah Kriyah
Terjemahan :
Dimana wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugerahnya. Dimana wanita tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang memberikan pahala mulia (Pudja dan Sudharta, 2003:147).

Socanti Jamayo Yatra
Vinasyatyacu Tatkulam
Na Socanti Tu Yatraita
Vardhate Taddhi Sarvada
Terjemahannya :
Dimana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan hancur,
Tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan bahagia
 (Pudja dan Sudharta, 2003:147).

Menahan istri orang adalah tindakan yang bertentangan dengan dharma. Karena dibutakan oleh cintanya kepada Sita, dengan cara apapun dilakukan untuk meluluhkan hatinya. Namun dengan teguh dan pendirian yang kuat Sita tidak tergoda oleh rayuan dan tipu daya Ravana. Menculik Sita dari Rama itu merupakan pertanda kehancuran Ravana, seperti yang disebutkan dalam kitab Manawa Dharmasastra, bahwa seseorang akan hancur dan menderita karena memperlakukan wanita secara semena–mena. Cinta seorang wanita tidak bisa dipaksakan. Jangan bersifat seperti Ravana yang memaksakan kehendak dan nafsunya pribadi tanpa mengindahkan kaidah–kaidah ajaran agama. Sungguh sulit untuk memberi saran kebaikan kepada orang yang sedang dimabuk oleh nafsu. Akan tetapi sangat sulit untuk mencari seseorang yang menyuarakan kebenaran dengan tegas. Dengarkan dengan hati yang bersih dan hening. Vibhisana bersumpah, hamba adalah adik sekandung yang sudah sewajarnya rela mati bersama disamping paduka. Tetapi hamba ingin mati dengan tujuan dan cita–cita yang benar. Pertimbangkan apa guna faedah perang ini (Pratikto, 1983:350). Setelah itu ia mohon diri untuk bersiap–siap pamit dan meninggalkan Lańka.
Jika tetap membela Ravana, berarti Vibhisana membela kejahatan yang sangat bertentangan dengan prinsipnya. Vibhisana bertentangan dengan raja Ravana bukan berarti bertentangan dan melawan negara tetapi dia ingin menunjukan tentang kebenaran kepada negaranya yaitu Lańka. Vibhisana telah merubah segalanya. Jika tidak ada keberanian maka kejahatan semakin merajalela. Menyuarakan kebenaran memang sangat sulit, apalagi kebenaran itu disuarakan hanya sendiri. Tetapi yakinlah kebenaran pasti akan menang dan jaya kembali. Walaupun sendiri tidak perlu takut untuk menyuarakan kebenaran. Jika bukan Vibhisana yang merubah siapa lagi. Semua itu telah dilakukan oleh Vibhisana dengan prinsipnya dan perubahannya untuk negeri Lańka.
c.       Kebenaran ada dipihak Rama
Dalam dharma melawan adharma, Vibhisana berpendapat bahwa, kebenaran itu hanya satu, dimanapun dan kapanpun. Kebenaran itu dharma abadi, maka artinya sama dan kebenaran itu ada dipihak Rama. Rama adalah avatara dari Dewa Wisnu yang turun ke dunia untuk menegakan dharma. Ketika adharma merajalela dan dharma diinjak-injak, maka turunlah Dewa Wisnu untuk menyelamatkan alam semesta dan mahluk cipataan-Nya dari kehancuran. Dalam Bhagavad Gita Bab IV sloka 7 dan 8 dijelaskan :
Yadā yadā hi dharmasya
glānir bhavati bhārata
abhutthanam adharmasya
tadātmānam srjāmy aham
Terjemahan :
Sesungguhnya manakala dharma berkurang kekuasaannya dan tirani hendak merajalela, wahai Arjuna, saat itu Aku ciptakan diriku sendiri (Pudja, 2004:109).

Paritrānya sadhūnām
vināśāya ca duskrtām
dharma samsthāpanarthāya
sambhavāmi yuge-yuge
Terjemahan :
Untuk melindungi orang-orang baik dan untuk memusnakan orang yang jahat, Aku lahir ke dunia dari masa ke masa, untuk menegakan dharma (Pudja, 2004:110).

Dari dua sloka tersebut, ketika makin memudarnya kekuatan dharma di dunia ini, maka Tuhan akan turun sendiri ke dunia mengambil wujud tertentu yang sangat sulit sekali ditebak. Ketika Ravana berperilaku sewenang-wenang dan menggemparkan ketiga dunia, para Dewa menghadap Dewa Brahma untuk memohon bantuan untuk mengatasi sikap jahat Ravana, seperti yang diuraikan dalam teks Ramayana bahwa Dewa Brahma telah memberkati Ravana dengan kekuatan yang tidak akan mati oleh Dewa, Danawa, Yaksa dan Gandharwa, tetapi Ravana tidak mempertimbangkan untuk meminta anugerah agar tidak mati ditangan manusia (Subramaniam, 2004:26). Oleh karena itu, Ravana akan dibunuh oleh manusia dan vanara, dalam uraian teks Ramayana dijelaskan:
“Narayana mempertimbangkan kata-kata Brahma itu lalu bersabda, Jangan khawatir, aku telah membuat keputusan untuk lahir di dunia manusia. aku akan menghancurkan Ravana beserta kroni-kroninya dan aku tidak punya tujuan lain selain itu. Narayana lalu berkata, untuk membantuku dalam misi ini, maka kalian semua juga harus lahir ke dunia. Karena Ravana lupa meminta berkat kekebalan terhadap binatang, seperti kera dan beruang. Oleh karena itu, aku minta kalian juga lahir dalam wujud kera-kera untuk membantuku jika waktunya sudah tiba” (Subramaniam, 2004:28).

 Dharma di dunia ini kian hari kian menurun dari jaman Satya Yuga, Treta Yuga, Dvapara Yuga dan Kali Yuga. Dewa Wisnu turun dan menjelma menjadi Rama pada jaman Treta Yuga. Bisa melayani dan membantu avatara dalam menjalankan misinya adalah suatu tindakan yang sangat mulia dan tindakan itu sudah dilakukan oleh Vibhisana yang bergabung dengan Rama demi membela dharma yang kian merosot di negerinya Lańka dan dunia. Kasih yang dipancarkan oleh Rama pada akhirnya akan lebih berkuasa dibandingkan kebencian dan kekejaman. Ketika Ravana gugur di medan perang, Vibhisana menjadi sedih dan Mandodari menangis. Seperti yang diuraikan dalam teks Ramayana, dijelaskan bahwa :
 “Aku tahu siapa Rama. Ia adalah penguasa dari semua Dewa yaitu Narayana. Beliau adalah yogi agung, paramatman yang merupakan asal muasal segala sesuatu, kebenaran tiada berawal, pertengahan dan berakhir. Beliau adalah yang abadi. Beliau adalah penguasa tiga dunia ini. Dengan tujuan melakukan kebaikan untuk dunia manusia dan para Dewa beliau menyamar menjadi manusia dan para Wanara ini adalah inkarnasi para Dewa dalam wujud kera” (Subramaniam, 2003:177).

 Dharma pasti  menang dan adharma kalah. Vibhisana dan Mandodari sudah berusaha untuk menasehati Ravana, karena mustahil bagi manusia biasa, apalagi raksasa untuk mengalahkan Rama. Seorang raja yang jaya dan berkuasa, namun tidak dapat mengendalikan nafsu dan keinginannya menyebabkan kehancuran. Nasehat seorang istri haruslah didengar, karena istri adalah sumber kasih sayang dan merupakan sakti yang tidak dapat dipisahkan. Ravana terlalu sombong dengan kekuatannya, akibat kekuatan yang tak terkalahkan itu mata hatinya menjadi buta. Ravana tidak sadar bahwa Rama adalah Avatara dari Dewa Wisnu. Vibhisana sesungguhnya ingin mengabdi kepada orang yang bijaksana dan benar-benar mengayomi dunia dan Vibhisana melaksanakan kewajiban untuk meyelamatkan negara (Nirdon, 1998:66).

Dari pernyataan Vibhisana tersebut terungkap secara nyata alasan mengapa Vibhisana mendatangi Rama. Karena sesungguhnya Vibhisana sudah berusaha untuk menasehati Ravana. Kematian Ravana adalah bukti nyata yang diyakini Vibhisana, bahwa mereka yang mengikuti ajaran agama akan terselamatkan. Rama adalah lambang manusia yang memiliki sifat-sifat kedewataan sedangkan Ravana adalah lambang manusia yang mempunyai sifat keraksasaan.
Nasehat yang diberikan tidak ditanggapi oleh Ravana, sehingga Vibhisana berseberangan dengan Ravana. Kepergian Vibhisana bukanlah tanpa alasan. Semua itu terjadi karena prinsip Vibhisana berbeda dengan Ravana. Tetapi prinsip hidup Vibhisana adalah prinsip kebenaran. dengan demikian Vibhisana telah berviveka dan mampu mengendalikan diri.
1)      Viveka
Pemilah–milahan viveka adalah akal budhi,dengan mengetahui Tuhan sendirilah yang nyata dan yang lain selain Tuhan tidak nyata. Diantara mahluk ciptaan Tuhan, hanya manusialah yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam kitab sarasamuccaya sloka nomor 2 dijelaskan :
Mānusah sarvabhūteșu
varttate vai șubhāśubhe
aśubheșu samaviștam
śubhesvevāvakārayet
Terjemahan :
Di antara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu. Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia (Kajeng, 2005:8).

 Dari sloka diatas dapat dijelaskan bahwa, manusia memiliki keistimewaan dibandingkan dengan mahluk lainnya. Oleh karena itu, gunakanlah keistimewaan yang diberikan untuk menjalankan dharma menjadi seorang manusia. Diantara anak-anak Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya Vibhisana yang berwujud manusia dan yang lainnya berwujud raksasa. Vibhisana menasehati Ravana, Vibhisana sudah tahu mana yang benar dan pihak mana yang salah. Vibhisana dengan semangatnya memberikan nasehat dan saran untuk mengembalikan Sita, karena Vibhisana tahu Ravana dan pasukannya berada dipihak yang salah. Vibhisana telah bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang maya, berarti dia telah sadar akan jati dirinya yang sejati. Karena  manusia adalah bagian terkecil dari yang nyata. Pergunakan viveka jika pikiran berkelana kearah yang tidak nyata.
2). Pengendalian Diri
Dengan adanya viveka seseorang telah bisa memilih yang baik dan menghindari yang salah. Dalam hidup ini, seseorang memiliki dua unsur yang selalu berdampingan yaitu unsur baik dan unsur buruk, unsur dewata dan unsur raksasa. Kendalikan diri ini agar terhindar dari malapetaka. Kendalikanlah pikiran, perkataan dan perbuatan sehingga segala daya menuju kepada yang baik. Dharma mengendalikan orang menuju kepada kebajikan dan pada akhirnya mendapatkan kelepasan duniawi ini.
Dasa Yama Brata adalah sepuluh jenis pengekangan diri berdasarkan upaya individu untuk menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan (Putra, Jelantik dan Argawa, 2013:134). Dalam kitab Sarasamuccaya 259 disebutkan bahwa :
ānrcamsyam ksamā satyamahinsā dama ārjavam,
prītih prasādo mādhuryam mārdavam ca yamā daca
Terjemahan :
Inilah brata yang disebut yama, perinciannya demikian: anresangsya, ksama, satya, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada, madhurya, mardawa, sepuluh banyaknya; anresangsya yaitu harimbawa tidak mementingkan diri sendiri, ksama yaitu tahan akan panas dan dingin, satya yaitu tidak berkata bohong, ahimsa yaitu berbuat selamat dan tidak membunuh, dama yaitu sabar serta dapat menasehati diri sendiri, arjawa adalah tulus hati dan berpegang teguh pada kebenaran, priti adalah sangat welas asih, prasada adalah kejernihan hati, madhurya yaitu manis pandangannya dan manis perkataannya, mardhawa adalah kelembutan hati (Kajeng, 2005:195).

Dalam ajaran Dasa Yama Brata, Vibhisana memiliki karakter yang arjawa, yaitu dapat mempertahankan kebenaran dan berpegang teguh pada kebenaran. Berbeda dengan karakter Ravana yang diperbudak oleh nafsu dan pengaruh Sad Ripu. Sad Ripu adalah enam musuh dalam diri manusia yang selalu menggoda dan yang menyebabkan ketidakstabilan emosi (Putra, Jelantik dan Argawa, 2013:137). Oleh karena itu Sad Ripu harus dikendalikan. Ketika kama, lobha, krodha, moha, mada dan matsarya ini mempengaruhi akan menyebabkan hancurnya hidup manusia.
a.       Kama adalah keinginan atau hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan;
b.      Lobha adalah sifat tamak yang ingin selalu mendapatkan lebih;
c.       Krodha adalah kemarahan yang melampaui batas;
d.      Moha adalah kebingungan yang menyebabkan tidak fokus;
e.       Mada adalah kesombongan, kemabukan yang menyebabkan gelapnya pikiran;
f.       Matsarya adalah iri hati atau dengki yang menyebabkan rusaknya hubungan kekerabatan seseorang.
Selain Sad Ripu sebagai unsur sifat-sifat yang selalu memengaruhi manusia, terdapat juga tujuh unsur kegelapan yang disebut dengan Sapta Timira. Adapun bagian-bagian dari Sapta Timira, yaitu :
a.       Surupa berarti kecantikan atau kebagusan wajah. Kecantikan atau ketampanan yang  disalahgunakan akan membuat orang itu sombong. Hal ini yang menyebabkan kehancuran. 
b.      Dhana berarti kekayaan atau harta benda yang melimpah. Kekayaan yang digunakan dan didapat bukan melalui jalan dharma menyebabkan orang menjadi angkuh, sombong, menghina orang lain, dan sebagainya.
c.       Guna berarti kepintaran atau kepandaian. Jika kepandaian ada pada orang yang bermoral tidak baik seperti teroris, koruptor, penipu, dan sebagainya maka akan menyebabkan kekacauan.
d.      Kulina berarti keturunan atau kebangsawanan. Orang yang berasal dari keturunan keluarga terhormat, seperti bangsawan, putra raja akan dihormati. Jika dengan keturunan ini seseorang menjadi sombong, menghina orang lain, hal ini yang menyebabkan kegelapan.
e.       Yohana berarti masa remaja. Seseorang pada masa muda memiliki pendirian yang labil sehingga mudah terpengaruh ke hal–hal yang negatif.
f.       Sura berarti minuman keras (yang memabukan). Minuman keras tentunya harus dihindari, karena minuman ini dapat menyebabkan mabuk. Banyak akibat buruk yang ditimbulkan karena mabuk seperti tindakan tindakan kriminal, kecelakaan lalu lintas dan lain-lain.
g.      Kasuruan berarti keberanian. Keberanian yang tidak terkontrol akan menyebabkan kehancuran, seperti setiap orang yang ditemui ditantang untuk bertarung dan pada akhirnya terjadi perkelahian. Akibat dari perkelahian tersebut adalah kehancuran dan kesengsaraan.
      Orang yang selalu bertindak adharma dikarenakan tidak bisa mengendalikan Sad Ripu dan Sapta Timira. Berperang melawan Sad Ripu harus dimulai dari membatasi kama, karena kama atau nafsu yang berlebihan adalah sumber dari penderitaan. Dengan terkendalinya kama tersebut, maka otomatis elemen-elemen Sad Ripu lainnya sulit berkembang dan terhindar dari kehancuran. Sifat-sifat Sad Ripu ini tidak bisa dihilangkan dan akan selalu ada dalam diri manusia. Tanpa adanya sifat Sad Ripu ini menyebabkan hilangnya kegairahan hidup. Contohnya adalah sifat matsarya, karena tanpa adanya sifat matsarya ini manusia cenderung malas-malasan dan tidak ada rasa untuk memacu diri agar menjadi manusia yang sukses.
      Ketika manusia diperbudak oleh nafsu dan tujuh macam kegelapan, seperti Ravana dan Ravana menjadi pemimpin, apa yang harus dilakukan? mencari Vibhisana, karena dalam setiap kerajaan Lańka, niscayalah ada seorang Vibhisana. Berpihaklah padanya dan berdirilah bersamanya dan kesadaran Vibhisana pun ada berupa suara hati. Berpihaklah pada dia, dan bebaskan diri dari kuasa Sad Ripu dan Sapta Timira. Berbeda dengan Ravana, bersama dia ikut binasalah seluruh kaumnya. Apa salah kaumnya? hanya satu yaitu mereka mengikuti Ravana dan tidak menggunakan akal sehat mereka. Vibhisana yang menggunakan akal sehatnya terselamatkan.

4.3.7   Nilai-nilai yang perlu diteladani dari Karakter Vibhisana
a.      Ketekunan
Ketekunan adalah perilaku atau tindakan yang bersungguh-sungguh, rajin dan penuh semangat. Vibhisana bersama saudara–saudaranya bertapa selama bertahun–tahun untuk mendapatkan ilmu yang diharapkan. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa:
Tiga tahun lamanya Vibhisana dan saudara-saudaranya bertapa, hingga pada akhirnya Vibhisana memperoleh anugerah dari dari Dewa Brahma. Vibhisana datang ke negeri Lańka dan memiliki anugerah dari Dewata sebagai mahluk sakti yang tidak terkalahkan (Pratikto, 1983:60).

Pada jaman sekarang ini, bertapa selama sepuluh tahun untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diidentikan dengan orang yang belajar pada pendidikan formal untuk mendapatkan bekal hidupnya. Hal ini bukan perjuangan yang mudah. Tentunya Vibhisana dan saudara–saudaranya mengalami banyak tantangan, kesulitan serta godaan. Namun demikian pada akhirnya Vibhisana berhasil menyelesaikannya dengan baik.
 Sejak mulai bertapa, Vibhisana sudah didasari oleh maksud–maksud dan cita–cita yang baik. Dia tidak mengharapkan dapat menguasai dunia atau mendapat kekuasaan, tetapi lebih kepada cita–cita kedamaian dan kelestarian hidup umat manusia. Hal tersebut dipegang teguh serta dilaksanakan setelah tuntas perjuangan memperoleh ilmu. Ilmu itu diamalkan dalam kehidupan sebenarnya, yaitu menentang kebatilan untuk menegakan kebenaran.
b.      Keteguhan hati
Keteguhan hati adalah kekuatan hati, di mana hal yang mutlak diperlukan oleh manusia dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Keteguhan hati dapat berarti dalam keyakinan sradha kepada Sang Hyang Widhi, komitmen terhadap ajaran-ajaran-Nya, teguh dalam memegang prinsip–prinsip kebenaran dan kuat dalam memperjuangkan keyakinan yang bersumber dari hati nurani. Dalam teks dijelaskan, ketika Vibhisana menjawab pertanyaan Ravana, “hamba tetap pada pendirian semula, bila paduka ingin tetap menjadi raja agung di negeri Lańka, kembalikan Sita” (Pratikto, 1983:348).
Keteguhan hati mengantarkan seseorang meraih kebijaksanaan dan kemuliaan dalam hidupnya. Keteguhan hati menjadi cermin kepribadian seseorang, karena menunjukan keyakinan kebenaran yang ditempuh. Dalam teks dijelaskan :
Seorang kakak harus diperlakukan sebagai seorang ayah. Akan tetapi, tuan kau telah menolak untuk berjalan di atas rel dharma. Aku berrmaksud menyelamatkanmu. Aku punya satu keinginan dalam hatiku dan itu adalah kebaikan dan keselamatanmu (Subramaniam, 2003:25).

Ketika seseorang mampu mendengarkan bisikan hati, dalam kebenaran dan kebaikan, tidak mudah tergoda dengan tawaran dan jebakan hawa  nafsu dan ego pribadi, tidak mudah dibelokan dengan tujuan yang tidak sesuai dengan keyakinan hati. Keteguhan hati merupakan nilai yang dapat temukan pada karakter Vibhisana. Vibhisana yang memiliki pola pikir dan pola tindakan berbeda dengan saudara–saudaranya sangat teguh memegang prinsipnya. Sebagai orang yang luas pengetahun lahir maupun batin, Vibhisana tahu persis apa yang akan dihadapi dengan tindakan dan perilakunya. Vibhisana tidak pernah mau bergeming dari prinsip–prinsip yang diyakini kebenarannya. Semua itu didasari oleh keyakinan bahwa itulah laku seorang yang luhur budhinya, itulah laku seorang pendeta yang arif dan bijaksana, dan dengan cara itu dia dapat mengamalkan ilmunya demi kebenaran dan keadilan. Dia adalah gambaran orang yang sangat teguh hatinya. Dia adalah orang yang betul–betul membela kebenaran yang diyakini. Dia berani berkorban atas segala yang dimilikinya demi kebenaran.
c.       Bijaksana
Bijaksana adalah tindakan dengan menggunakan akan budhinya dalam menghadapi suatu masalah kehidupan dan kecakapan dalam bertindak apabila dalam menghadapi suatu kesulitan. Dimana terdapat nafsu, kebencian, kemabukan, amarah disitu tidak terdapat kebijaksanaan. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Vibhisana berdiri dan berbicara dengan penuh kebijaksanaan, pertimbangkanlah kehebatan Hanuman. Dia telah menyeberangi lautan samudera luas yang tak akan pernah bisa diseberangi oleh mahluk duniawi. Karena tidak boleh merendahkan kekuatan musuh dan jangan tergesa-gesa menafsirkan kekuatan mereka (Subramaniam, 2003:13).

Kebijaksanaan menjadi permata bernilai bagi seseorang. Tanpa adanya kebijaksanaan maka kesalahan dan keserakahan akan semakin sering dilakukan. Vibhisana adalah orang yang terkenal sangat luas pengetahuannya, baik lahir maupun batin. Dalam kisah kehidupannya, Vibhisana adalah orang yang menghargai pendapat orang lain, baik para orang tua, penguasa, ataupun rakyat jelata. Dengan sifat yang demikian, Vibhisana selalu bisa menimbang apa yang seharusnya dilakukan atau diputuskan terhadap suatu masalah yang dihadapi.
d.      Satria
Satria adalah suatu sifat yang selalu membela kebenaran, tidak takut menghadapai kesulitan atau tantangan yang bagaimanapun beratnya, serta mau mengakui kesalahan. Dalam hal pertentangan antara kakaknya Ravana, dengan Rama, Vibhisana digambarkan tahu persis mana yang benar dan mana yang salah. Atas dasar tersebut, Vibhisana berani mengesampingkan nilai “berbakti” kepada raja Ravana, karena tujuan Vibhisana adalah untuk membela kebenaran dan keadilan. Dia berani menasehati, meminta dan menganjurkan kakaknya untuk mengembalikan Sita kepada Rama, serta meminta maaf kepada Rama atas kesalahan yang telah menculik Dewi Sita. Vibhisana berani menasehati Ravana dengan pandangan yang berbeda. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Mohon kembalikan Sita pada Rama, aku tidak pernah takut mengorbankan nyawa, namun aku mengkhawatirkanmu. Akan sangat mudah untuk mencari semilyar orang yang akan menyenangkanmu dengan kata-kata manis. Akan tetapi akan sangat sulit mencari orang yang mau menyuarakan kebenaran dengan tegas. Mohon selamatkan kota ini dan dirimu sendiri (Subramaniam, 2003:25).

Vibhisana sadar betul bahwa tindakannya itu akan membuat Rahvana murka. Walaupun demikian, Vibhisana tidak takut dimarahi, disakiti dan bahkan diusir dari negara yang dicintainya demi membela kebenaran. Dia rela meninggalkan kemewahan dan berbagai fasilitas yang dimilikinya. Dia cenderung memilih kebenaran dan berbagai kesulitan dari pada kesenangan tetapi menginjak–injak sendi kebenaran dan keadilan.
e.       Berbakti
Berbakti adalah perbuatan yang menyatakan setia, tunduk dan hormat kepada orang tua dan Tuhan Yang Maha Esa. Berbakti berarti sikap dan perilaku terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus, karena adanya perbedaan dalam usia dan kedudukan. Berbakti juga berarti menjunjung tinggi pesan dan amanat yang diterima, khususnya dari ayah dan ibu. Karena nasehat ayah dan ibu adalah doa dan anugerah yang suci. Sehingga pengertian berbakti ini dapat pula terwujud dalam sikap tidak menolak terhadap pesan orang, misalnya kakak, paman, bibi, bahkan kakek dan nenek. Betapa baktinya Vibhisana kepada Ravana, supaya Ravana tidak hancur, Vibhisana menasehati dan memperingati adalah pengabdian yang sungguh luar biasa. Simbol bakti adalah selalu mengingatkan dan menghormati kakaknya Ravana, namun Ravana tidak paham, hingga tega mengusir Vibhisana. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Ia memasuki  ruangan istana, kemudian Vibhisana mendekat dan bersujud dihadapan Ravana. Vibhisana adalah orang yang mahir dalam seni berbicara. Ia tahu apa yang harus diucapkan, kapan dan dimana saja (Subramaniam, 2003:15).

Vibhisana adalah orang yang berbakti yang selalu menuruti aturan yang berlaku dalam segala perilaku dan tindakanya. Sikapnya pun selalu sopan dan sangat santun. Misalnya menyembah dulu sebelum mengucapkan sesuatu.  Dia selalu memilih kata dan bahasa yang halus dan rendah untuk mengutarakan pendapat pada orang yang dihormati itu. Vibhisana tidak pernah membantah pesan dan amanat yang datang dari orang tuanya, termasuk pesan ibunya untuk memberi peringatan dan nasehat kepada kakanya Ravana.

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah diberikan, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.           Vibhisana memiliki karakter berbeda dengan saudara-saudaranya sehingga sering terjadi perselisihan akibat perbedaan pendapat dan tindakan. Karakter dipengaruhi oleh lingkungan, pergaulan, pendidikan dan karma. Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana adalah anak dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menjalani hubungan terlarang karena membuka ilmu rahasia yang menyebabkan mereka jatuh cinta. Dari hubungan tersebut lahirlah Ravana yang berwujud raksasa, Kumbhakarna juga berwujud raksasa yang bertubuh besar dan Surpanakha yang merupakan satu-satunya anak perempuan dari Rsi Wisrawa juga berwujud raksasa. Seorang Rsi, tetapi melahirkan keturunan yang berwujud raksasa, akibatnya orang mengejek dan Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menjadi malu.
 Semua itu bisa terjadi karena hubungan yang terlarang dan tidak suci. Karena keinginan untuk memiliki putra yang lahir berwujud sempurna, Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi berdoa, memohon ampun dan memohon agar diberikan karunia seorang anak berwujud manusia sejati. Sehingga lahirlah Vibhisana yang berwujud manusia. Itu semua terjadi karena doa dan harapan Rsi Wisrawa dikabulkan oleh Dewa. Vibhisana terlahir karena doa yang suci, sedangkan Ravana, Kumbhakarna dan Supanakha lahir karena hubungan yang penuh dengan nafsu. Dari kelahiran itu, menyebabkan Vibhisana berbeda karakter dengan saudara-saudaranya. Vibhisana berkarater baik, ketika Vibhisana bertapa dan menjalani pendidikan, Vibhisana memohon anugerah dari Dewa Brahma, dia meminta permohonan yang sungguh mulia, yaitu keselamatan dunia dan berharap selalu berpegang teguh pada ajaran dharma. Berbeda dengan saudara-saudaranya, yang menginginkan keinginan duniawi dan nafsu dunia. Sehinga prinsip hidup Vibhisana yang membedakan karakter dia dengan kaumnya.
2.            Dari uraian yang telah dibahas, dapat disimpulkan nilai filosofis yang terkadung dalam  karakter Vibhisana, yaitu dari kelahirannya, Vibhisana lahir karena permohonan dan doa yang suci. Jika dikaitkan dengan jaman sekarang, sepasang suami istri hendaknya menjalani hubungan dengan harmonis. Memohon anugerah agar memperoleh keturunan yang saputra dan tidak hanya mengumbar nafsu yang mementingkan kenikmatan duniawi. Selain doa dan harapan yang suci, kelahiran Vibhisana juga tidak terlepas dari ikatan karma. Vibhisana adalah reinkarnasi dari Rsi Wisnu Anjali yang merupakan kerabat dari Dewa Wisnu. Beliau turun kedunia untuk membantu Dewa Wisnu membina kesejahteraan umat manusia. Dalam kehidupannya di negeri Lańka, Vibhisana bertugas menjadi seorang penasehat raja. Vibhisana selalu bertentangan pendapat dengan Rajanya, karena Ravana bertindak yang bertentangan dengan dharma. Dharma seorang raja adalah melindungi rakyat dan menjadi panutan bagi rakyat. Tetapi Ravana adalah raja yang selalu dipengaruhi oleh kama yang tidak terkendali. Puncaknya adalah ketika Ravana menculik Sita dari Rama. Karena penculikan tersebut, terjadilah pertentangan pendapat antara Vibhisana dengan Ravana. Nasehat yang diberikan tidak dihiraukan dan Vibhisana diusir dari Lańka. Karena bertentangn dengan prinsip hidup dan hati nurani, akhirnya Vibhisana pergi meninggalkan raja dan bertemu Rama untuk memohon perlindungan. Kepergian Vibhisana dari Lańka dan bergabung dengan Rama, bukanlah tindakan pembelotan dan penghianatan. Tetapi Vibhisana pergi menghadap Rama, agar Rama dan pasukan Vanara tidak membunuh rakyat yang tidak bersalah karena Vibhisana cinta kepada rakyat negeri Lańka. Sehingga pada akhirnya, setelah kematian raja Ravana, Vibhisana diangkat menjadi raja negeri Lańka dan menjadi raja yang adil dan bijaksana.
      Vibhisana adalah permata bagi negeri Lańka, karena permata akan tetap menjadi permata walau berada dilautan yang dalam dan akan menjadi sesuatu yang berharga ketika permata itu diangkat ke permukaan. Seperti itulah karakter dan prinsip kehidupan Vibhisana. Karena karakter yang berbeda, menyebabkan semua itu terjadi. Dalam ajaran tri guna, Ravana melambangkan sifat rajas, Kumbhakarna melambangkan sifat tamas dan Vibhisana melambangkan sifat sattwam. Sedangkan saudara perempuannya, yaitu Surpanakha melambangkan sifat kama. Akan tetapi jika tri guna ini bersatu dan seimbang, ibarat setir, gas dan rem, maka akan menjadi sesuatu yang sangat berguna. Dalam filsafat Samkhya ada disebut dengan wirupa dan swarupa parinama. Wirupa adalah ketika mereka bersinergi dan bersatu. Sattwam, rajas dan tamas bergabung, maka kerajaan Lańka menjadi sangat kuat dan jaya.  Ketika diusir, sattwam hilang, tamas tidur, rajas berdiri sendiri menyebabkan kehancuran disebut dengan swarupa parinama. Dalam kehidupan manusia, ketika terjadi swarupa parinama, maka rajas tidak bergerak angin pun tidak bergerak. Sattwam, rajas dan tamas ini tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Sehingga ketika Vibhisana pergi meninggalkan Lańka dan saudara-saudaranya, menyebabkan kehancuran pada pihak adharma dan kemenangan bagi yang berpegang teguh pada ajaran dharma. Dewasa ini, tri guna tidak dapat dipisahkan, karena saling berkaitan. Ketika pagi hari perbuatan yang dilakukan bersifat sattwam, pada siang hari perbuatan yang dilakukan bersifat rajas dan pada saat sore hari menjelang malam perbuatan yang dilakukan bersifat tamas. Dengan demikian, tri guna adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalani kehidupan didunia ini. Dari kerakter Vibhisana, terdapat nilai-nilai yang dapat diteladani dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu ketekunan, berbakti,  bijaksana, satria dan keteguhan hati.


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Jelantik, Ida Bagus, et.al. Yudha Kanda, terj. Anak Agung Inten Mayuni, I Wayan Ana, I Made Jendra, I Wayan Sukarma.  Denpasar: ESBE buku, 2011.
Kajeng, I Nyoman. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita Surabaya, 2005.
Kresna, Ardian. Cupu Manik Astagina Tragedi Maha Hebat Pusaka Pemberian Batara Surya. Jogjakarta: Diva Press, 2012.
Lal, P. Ramayana. Jakarta: Gramedia, 1980.
Maswinara, I Wayan. Rg Veda. Surabaya: Paramita Surabaya, 2004.
Madrasuta, Ngakan Made. Petunjuk Untuk  Yang Ragu. Jakarta: Media Hindu, 2013.
Madrasuta, Ngakan Made. Kamu adalah Tuhan. Jakarta: Media Hindu, 2014.
Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2002.
Nashir, Haeder. Pendidikan Karakter berbasis Agama dan Budaya. Yogyakarta: Multi Presindo, 2013
Notopertomo, Margono., Warih Jatirahayu. 51 Karakter Tokoh Wayang Populer.Klaten: Hafamira, 2000.
Nala. I Gusti Ngurah. Murddha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra, 1989.
Normies, Adam., Sri Sani Bagus, Imron. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Ilmu, 1992.
Nirdon, Ki. Wija Kasawur (2). Denpasar: T.U Warta Hindu Dharma, 1998.
Oka, Gde Nyoman Jelantik. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma, 2009.
Pratikto, Herman. Hamba Sebut Paduka Ramadewa:Ramayana. Jakarta: Widjaya Jakarta, 1980.
Pudja. Gede. Bhagava Gita. Surabaya: Paramita Surabaya, 2004.
Pandit, Bansi. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita Surabaya, 2006.
Putra, I.G.A.G., I Wayan Sadia. Wrhaspati Tattwa. Surabaya: Paramita Surabaya, 1998.
Putra, Ida Bagus Rai., Ida Bagus Jelantik, I Nyoman Argawa. Swastikarana Pedoman Ajaran Hindu Dharma. Jakarta: Parisadha Hindu Dharma Indonesia, 2013.
Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Rai Sudharta, Tjok. Ajaran Moral dalam Bhagavad Gita. Surabaya: Paramita Surabaya, 2007.
Sadia, I Wayan. Melaksanakan Gita sehari-hari jalan menuju Tuhan. Surabaya: Paramita Surabaya, 2010.
Saraswati, Sri Chandrasekharendra. Peta Jalan Veda. Jakarta: Media Hindu, 2009.
Subramaniam, Kamala. Ramayana Kanda VI, terj. I Gede Sanjaya. Surabaya: Paramita Surabaya, 2003.
Subramaniam, Kamala. Ramayana, terj. I Gede Sanjaya. Surabaya: Paramita Surabaya, 2004.
Subramaniam, Kamala. Srimad Bhagavatam, terj.  Suwariyati. Surabaya: Paramita Surabaya, 2006.
Suhardi., Wisnu Subagyo. Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Ramayana dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1996.
Sura, I Gede. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Hanuman Sakti, 2001.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV Alfabeta, 2012.
Soetriono., Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian. Yogyakarta: C.V Andi, 2007.
Semiawan, Conny., Setiawan, Yufiarti. Panorama Filsafat Ilmu. Jakarta: Taraju, 2005.
S. Pendit, Nyoman. Glosari Sanskerta Kontemporer. Denpasar: Sarad, 2009.
Titib, I Made. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita Surabaya, 1996.
Tim Penyusun. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Ri, 2012.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta, 2013.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Tim Penyusun. Ensiklopedi  Wayan Purwa I (Compendium). Jakarta,tt.
Tim Penyusun. Sri Satya Sai. Jakarta: Yayasan Sri Satya Sai Indonesia, 2008.
Wahana, Paulus.  Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita Surabaya, 2003
Sumber Hasil Penelitian, Majalah dan Skripsi :
Ananda, I Nyoman. “Pandangan Ramakrishna tentang Dunia dan Maya”, Raditya, Desember 2013.
Arisetia, Dwi. “ Kajian Nilai Pendidikan Tattva dalam dialog Yudhistira dengan Yaksa dalam Vana Parva.”, Skripsi, STAH DN Jakarta,  Jakarta, 2013.
Muliawan, I Gusti Ngurah. “ Kajian Nilai Kesetiaan Hanoman kepada Rama dalam Ramayana.”, Skripsi, STAH DN Jakarta, Jakarta, 2012.
Sugiarta, I Nyoman Arya. “Analisi Pendidikan Karakter Prajurit Bangsa dalam Perspektif ajaran Hindu dalam Yudha Kanda.” , Skripsi, STAH DN Jakarta, Jakarta, 2012.
Sumber internet :


www.spdi.eu/tag/gambar-vibhisana/‎ (diakses pada tanggal 10-06-2014)














Tidak ada komentar:

Posting Komentar