KAJIAN
NILAI FILOSOFIS PADA KARAKTER VIBHISANA DALAM YUDHA KANDA
1.1 Latar Belakang Masalah
Sumber
ajaran agama Hindu adalah kitab suci Veda, yaitu kitab yang berisikan ajaran
kesucian yang diwahyukan oleh Brahman
melalui para Maha Rsi. Veda adalah kitab yang isinya berdasarkan wahyu sehingga
Veda itu sangat suci. Isi ajarannya
sangat luas dan dalam, bahasa dan sifatnya sangat rahasia sehingga untuk
kalangan tertentu sulit dipahami secara baik dan benar. Agar Veda itu dapat
dipahami oleh setiap umat dalam segala lapisan dengan baik dan benar maka Veda
harus dipelajari berjenjang atau melalui berbagai bentuk pustaka suci yang
isinya dekat dengan isi Veda.
Veda
diibaratkan samudera yang sangat luas dan dalam yang mengandung banyak rahasia.
Untuk lebih memahaminya perlu diketahui setiap bagian Veda dan hubungannya satu
dengan yang lainnya. Kitab suci Veda dibagi menjadi dua yaitu Veda Sruti dan Veda Smerti. Dalam
kitab Sarasamuscaya 39 dinyatakan :
Ndān Sang Hyang Veda,
paripūrnakena sira, makasādhana sanghyang itihāsa, sang hyang pūrana, apan atakut
sang hyang Veda ring akêdik ajinya, ling
nira, kamung hyang, haywa tiki umarā ri kami, ling nira
mangkana rakwa atakut.
Terjemahannya
:
Veda itu hendaklah
dipelajari dengan sempurna dengan jalan mempelajari Itihasa dan Purana, sebab Veda
itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya “wahai
tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang kepadaku” demikian konon sabdanya, karena
takut (Kajeng, 2005:32).
Itihasa
dan Purana adalah kitab-kitab yang dapat dibaca untuk memahami Veda.
Ramayana dan Mahabharata salah satu epos yang tergolong Itihasa. Jadi untuk
mendalami isi Veda itu hendaknya dipahami
terlebih dulu isi Itihasa dan
Purana. Karena itu, di kalangan
umat Hindu umumnya,
Ramayana dan Mahabharata sangat popular. Itihasa adalah kitab suci yang
termasuk golongan Smrti. Di dalam kitab–kitab Itihasa dan Purana dijumpai pula
tentang ajaran moral, kesusilaan (sila) dan tradisi (acara) yang hidup dalam
masyarakat (Titib, 1996:5).
Kitab
Ramayana ditulis oleh Valmiki yang dalam tradisi India disebut sebagai Adi Kawi
(penyair utama). Adi kawi juga berarti penyair idaman. Dengan demikian, Ramayana
adalah syair utama dan idaman (Calcuta, 1980:ix). Ramayana merupakan epos yang lebih tua dari
Mahabharata, yang memiliki banyak nilai-nilai kebaikan bersumber dari kitab
suci Veda yang dapat dijadikan pedoman untuk menjalani hidup bahagia di dunia.
Di dalam kisah Ramayana terdapat berbagai
tokoh yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang berkarakter baik dan
juga ada yang berkarakter jahat yang pada hakikatnya adalah penggambaran dari rva bhineda. Dari sekian banyak tokoh
dalam epos Ramayana, tokoh Vibhisana mendapat perhatian penting bagi peneliti,
karena tokoh ini berani menentang prilaku adharma yang telah banyak dan sering
dilakukan oleh kaumnya dan khususnya raja raksasa Ravana. Bagi masyarakat luas,
tokoh Vibhisana dalam kisah Ramayana tidak boleh dilupakan, karena kegigihannya
mempertahankan nilai-nilai dharma agama. Walaupun sesungguhnya hidup Vibhisana
dalam kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan untuk berbuat kebajikan.
Lingkungan Vibhisana penuh dengan perilaku adharma dan keserakahan, namun tidak
menyurutkan hati Vibhisana melaksanakan ajaran-ajaran dharma.Vibhisana semakin
menegaskan bahwa dharma dapat ditegakan walau seseorang itu berada dalam
lingkungan adharma. Bagaikan emas walaupun ditaruh dalam lumpur tetap saja
adalah emas. Vibhisana ibarat emas yang masuk di kubangan lumpur, jika tidak
keluar dari kubangan tersebut maka emasnya tidak akan terlihat karena tertutup
oleh lumpur. Sehingga adalah benar tindakan Vibhisana yang pergi meninggalkan
keluarga dan memihak kepada Rama agar kebenaran yang menjadi prinsip hidupnya
terpancar kembali.
Peneliti merasa perlu dan tertarik
untuk mengangkat tema ini karena di jaman sekarang, karakter seperti Vibhisana
sangat sulit ditemukan yang memiliki karakter sangat kuat dalam memegang teguh
prinsip kebenaran. Kebenaran harus selalu ditegakan di bumi ini. Siapa lagi
yang akan berani mengubah dan membela kebenaran, ketika yang mengerti hanya
diam dan duduk saja membiarkan semuanya menjadi hancur berantakan. Seseorang
harus berani berbeda pendapat jika memang pendapat yang diyakini itu adalah
kebenaran dan mempertahankan pendapat itu. Sosok seperti ini sangat langka dan
sulit ditemui dijaman ini. Pada umumnya ketika seseorang berada dalam satu lingkungan
yang kecenderungannya buruk pasti akan terpengaruh oleh lingkungan yang buruk. Jika
lingkungannya baik maka sifat dan watak seseorang itu pasti baik. Contohnya, jika
seseorang pedagang pasti dilingkungannya bergelut dibidang ekonomi dan pembicaraannya
tidak jauh-jauh dari untung dan rugi. Begitu juga, misalnya sebuah lingkungan
yang tingkat kriminalnya tinggi pasti kemungkinan besar seseorang yang berada
di lingkungan tersebut akan terpengaruh. Namun asumsi ini tidak berlaku bagi
tokoh Vibhisana yang tidak terpengaruh oleh lingkungan dan bahkan keluarganya
sendiri, karena di kerajaan Lańka
merupakan kerajaan yang semua penduduknya adalah raksasa, yang notabene raksasa
sering melakukan tindakan yang melanggar ajaran dharma. Ibarat lilin yang rela
habis demi menerangi kegelapan, seperti itu tindakan Vibhisana yang ada dalam
lingkungan raksasa. Walau hanya seorang diri Vibhisana berani menentang
tindakan adharma yang dilakukan oleh keluarganya sendiri.
Ketika seorang diri Vibhisana
menyuarakan tentang kebenaran di lingkungan raksasa, hal itu sangat sulit untuk
diterima oleh para raksasa karena mereka terpengaruh oleh avidya. Memang sangat
sulit untuk merubah kebiasaan yang telah menjadi warisan turun-temurun. Oleh
karena itu perlu perjuangan yang keras demi merubah kebiasaan tersebut. Nasehat
dan tindakan Vibhisana ibarat pil pahit namun menyembuhkan. Jika nasehat sudah
tidak mampu mengatasinya maka tindakan yang utama. Sehingga nanti akan membawa
perubahan baik bagi kerajaan Lańka.
Ketika seorang raja yang menjalankan roda pemerintahan dengan angkuh, penuh nafsu dan tidak
mendengarkan nasehat kebenaran namun selalu mendapat dukungan dari rakyatnya,
sebenarnya secara tidak sadar rakyat telah dijerumuskan kejurang kehancuran. Sehingga
raja yang seperti itu tanda jasanya sebagai seorang raja hanya menjadi simbol
yang percuma.
Karakter
yang baik menjadi seorang pemimpin adalah yang konsisten dalam sikap dan
perbuatan serta memberi pengaruh sosial bagi lingkungannya. Dengan tindakannya,
Vibhisana lahir menjadi pahlawan yang berani merubah sifat para raksasa dari
adharma menjadi dharma. Walau keluarga yang mendukung tindakan raja Ravana
menyebut Vibhisana adalah seorang penghianat. Namun pada akhirnya Vibhisana
telah melakukan perubahan besar para kerajaan Lańka.
Sebab sifat dan karakter manusia yang stabil memungkinkan perilaku seseorang
berubah dalam waktu tertentu tergantung situasi dan kondisinya. Disatu waktu
dianggap penghianat, tapi disaat yang sama disebut sebagai pahlawan. Ibarat pejabat
yang punya kinerja baik dan banyak membuat kebijakan yang menguntungkan
masyarakat dia adalah pahlawan, tapi tak disangka ternyata si pejabat terjerat
korupsi, dia adalah pengkhianat. Seperti itulah tindakan raja Lańka Ravana, demi memuaskan nafsunya rela mengorbankan sanak
saudara dan rakyatnya untuk berperang. Berbeda dengan Vibhisana yang rela
meninggalkan semuanya demi kebenaran dan nantinya akan datang kembali membawa
perubahan. Banyak sekali ajaran-ajaran dharma yang dapat dipetik dari setiap
karakter tokoh dalam cerita Ramayana, seperti Viveka, pengabdia, kesetiaan,
teguh dan berbudhi luhur. Sehingga ketika seseorang sudah mampu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk maka seseorang itu akan sadar akan hakikat
kebenaran yang sejati. Karena pada dasarnya seseorang selalu terpengaruh oleh
tiga sifat dasar yang saling melengkapi. Namun sifat dharmalah yang harus
ditonjolkan.
Dari latar belakang yang telah
diuraikan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji nilai-nilai yang
terdapat pada tokoh Vibhisana khususnya nilai filosofis karakter Vibhisana
berjudul “Kajian nilai filosofis pada karakter Vibhisana
dalam Yudha Kanda”.
1.2
Batasan
Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas,
maka penulis membatasi masalah penelitian ini hanya pada penyebab Vibhisana
berbeda karakter dengan saudara–saudaranya dan nilai filosofis pada karakter Vibhisana.
1.3
Rumusan
Masalah
Mengacu kepada latar belakang masalah
sebagaimana diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai
berikut:
1.3.1
Mengapa Vibhisana berbeda karakter dengan
saudara–saudaranya ?
1.3.2
Nilai Filosofis apa yang terkandung dalam karakter Vibhisana ?
1.4 Tujuan Penelitian
Dengan
mempelajari cerita Ramayana yang merupakan karya sastra sejarah, untuk
membuktikan bahwa cerita ini memang mengandung kebenaran. Ramayana merupakan
kisah yang benar-benar terjadi dan bukan cerita dari negeri dongeng. Sejarah
ini disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan kisah ini akan selalu abadi. Kitab Amarakosa, sejenis glosari yang ditulis
oleh pujangga besar bernama Amarasingha,
menyatakan bahwa nama lain dari Itihasa adalah akhyayika, Amarakosa I.6.5
Akhyayikopalabdhartha
Terjemahan
:
Cerita
yang sungguh-sungguh terjadi adalah akhyayika
(Titib, 1996:6)
Berdasarkan
Sloka di atas, semakin menegaskan bahwa kisah Ramayana adalah sejarah yang
benar-benar dan abadi. Kisah ini penuh dengan nilai-nilai filosofis, heroik dan
berbagai tokoh yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Tujuan dari penelitian
ini adalah merujuk pada permasalahan yang telah dirumuskan di atas yaitu :
1.
Mengetahui
latar belakang yang menyebabkan Vibhisana berbeda karakter dengan
saudara-saudaranya.
2.
Mengetahui
nilai-nilai filosofis pada karakter Vibhisana.
1.5 Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan hendaknya
memiliki nilai manfaat bagi kehidupan masyarakat maupun bagi pengembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Demikian pula dengan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan suatu manfaat, khususnya bagi masyarakat dan perkembangan pengetahuan
tentang Hindu.
Secara
garis besar, manfaat penelitian ini terbagi ke dalam dua aspek, yaitu:
1.5.1
Manfaat Praktis
Melalui
epos Ramayana masyarakat secara praktis diberikan suatu
tuntunan untuk hidup berdasarkan pada ajaran Veda. Tuntunan tersebut diberikan
melalui nilai-nilai yang terkandung dalam epos Ramayana. Penelitian ini
diharapkan mampu memberikan nilai filosofis yang ada pada karakter Vibhisana dalam Yudha Kanda.
1.5.2
Manfaat Teoritis
Sebagai
bagian dari masyarakat akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan pengetahuan agama Hindu. Penelitian ini juga diharapkan dapat
dijadikan rujukan bagi penelitian-penelitian yang akan datang berkaitan dengan
konsep tentang karakter tokoh pada epos Ramayana khusunya dalam Yudha Kanda.
2.1 Landasan Konseptual
Dalam
penulisan skripsi ini, penulisan menggunakan landasan konseptual yang
menguraikan tentang pengertian–pengertian mengenai suatu istilah yang
berhubungan dengan nilai filosofis pada karakter Vibhisana. Beberapa istilah
yang dijelaskan dalam skripsi, adalah :
2.1.1
Nilai
Agama dalam kehidupan pemeluknya
merupakan ajaran yang mendasar yang menjadi pandangan atau pedoman hidup.
Pandangan hidup ialah konsep nilai yang dimiliki seseorang atau sekelompok
orang mengenai kehidupan. Apa yang disebut nilai-nilai adalah sesuatu yang
dipandang berharga dalam kehidupan manusia, yang memengaruhi sikap hidupnya.
Manusia antara yang satu dengan yang lainnya sering memiliki pandangan hidup
yang berbeda berdasarkan agamanya masing-masing.
Nilai
adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Menilai berarti
menimbang-nimbang dan membandingkan sesuatu dengan yang lainya untuk kemudian
mengambil sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan ini yang
disebut dengan nilai. Yang dinilai disini dapat berupa benda, sikap atau
tindakan seseorang. Pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai bersumber dan
terkait dengan: (1) Agama, sebagai sistem keyakinan yang mendasar, sakral dan
menyeluruh mengenai hakikat kehidupan yang pusatnya ialah keyakinan kepada
Tuhan; (2) Ideologi, sebagai sistem paham yang ingin menjelaskan dan melakukan
perubahan dalam kehidupan ini, terutama dalam kehidupan sosial-politik; dan (3)
Filsafat, sistem berpikir yang bijaksana (Nashir, 2013:64). Pandangan hidup
manusia dapat diwujudkan dalam cita-cita, sikap hidup, keyakinan hidup dan
lebih konkrit lagi perilaku dan tindakan.
Menurut Max Scheler (seperti
dikutip Wahana, 2004: 52-53), nilai harus dipahami sebagai yang bersifat
absolut, tetap dan tidak berubah, serta tidak tergantung pada dunia indrawi
yang selalu berubah dalam sejarah. Nilai juga diartikan suatu konsep yang
berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam
dunia empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik buruk,
indah maupun tidak indah, layak atau tidak layak, adil dan tidak adil dan lain
sebagainya. Pada hakikatnya segala sesuatu
bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut
dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan
penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang dalam
rangka penggolongannya.
Menurut pengertian yang absolut, nilai kebaikan
adalah nilai yang tampak pada tindakan mewujudkan nilai yang tertinggi dan
nilai kejahatan adalah nilai yang tampak pada tindakan mewujudkan nilai
terendah (Wahana, 2004: 56). Dengan demikian, segala sesuatu tindakan yang
positif melekat pada kebaikan sedangkan suatu tindakan yang negatif melekat
pada kejahatan.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian
nilai disebutkan sebagai berikut :
Nilai adalah harga (dalam
arti taksiran harga), sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan
hakikat: etika, nilai yang berhubungan dengan akhlak, nilai yang berkaitan
dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan masyarakat. Bernilai artinya
memiliki harga, ternilai artinya terkiranya harga dan penilaian artinya juru
taksir (Tim penyusun, 2003:783).
Menurut I Nyoman Arya Sugiarta (Skripsi, 2012:16) berjudul “ Analisis Pendidikan
Karakter Prajurit Bangsa dalam Perspektif ajaran Hindu ”, nilai berarti norma
atau sesuatu yang baik, sesuatu yang dapat diterima masyarakat dan berguna bagi
kelangsungan hidupnya. Nilai
hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati. Nilai juga berkaitan dengan
cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat batiniah. Menilai
berati menimbang, yaitu kegiatan manusia yang menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain untuk mengambil suatu keputusan.
Menurut
K.Bertens (2013:112), nilai sekurang–kurangnya memiliki tiga ciri yaitu :
a) Nilai
berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, tidak ada nilai.
Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai
sebagai “indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran
subjek yang menilai.
b) Nilai
tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu. Dalam
pendekatan yang semata–mata teoritis, tidak akan nada nilai.
c) Nilai–nilai
menyangkut sifat–sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat–sifat yang
dimiliki oleh obyek.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang memiliki makna tersendiri,
tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya dan dapat dihitung. Nilai
memiliki level–level tersendiri dan besar kecilnya nilai dilihat dari cara
pandang seseorang dalam menyikapi sesuatu hal.
Ada juga yang menyatakan nilai adalah segala sesuatu yang memiliki makna
kualitas, bobot, isi kandungan dari sesuatu hal yang berguna bagi kehidupan
manusia. Persoalan tentang nilai merupakan salah satu masalah yang sangat sulit
dalam filsafat karena sangat bermakna. Nilai juga sangat menarik karena amat
dalam dan luas sehingga menyentuh kehidupan manusia dan bahkan boleh dikatakan
menyentuh eksistensi manusiawi.
Dalam
skripsi ini peneliti mengkaji nilai filosofis dalam karakter Vibhisana. Nilai
yang dimaksud adalah tentang karakter dari Vibhisana. Hubungan nilai dengan
karakter berlandaskan ajaran agama Hindu adalah pada ajaran-ajaran tentang
susila, karena susila mengajarkan tentang nilai kebaikan dan viveka. Dengan
nilai-nilai yang tertanam dalam ajaran tersebut, diharapakan dapat membentuk
karakter yang baik dan berguna bagi individu yang lain. Karena Vibhisana
memiliki karakter yang berbeda dengan kaum raksasa pada umumnya, sehingga
Vibhisana memiliki nilai positif sebagai karakter yang memegang teguh ajaran kebenaran.
Nilai dapat bermuatan positif maupun negatif, benar atau salah, baik atau
buruk, hal itu dapat terjadi jika nantinya ada yang meneliti karakter Vibhisana
dari sudut pandang yang berbeda. Dalam
skripsi ini peneliti mengkaji nilai filosofis dalam karakter Vibhisana. Jadi
dalam skripsi ini terkandung makna nilai yang positif pada karakter Vibhisana.
2.1.2.Filosofis
Filosofis merupakan pemaknaan terhadap
suatu teks, berdasarkan ilmu filsafat, yaitu dengan pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budhi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan
hukum. Kata
filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia
yang terdiri dari dua suku kata, yaitu philo
yang berarti cinta atau philia yang
berarti persahabatan dan kata sophos
yang memiliki berbagai analog yaitu kebijaksanaan, keterampilan, pengalaman dan
pengetahuan. Sehingga filsafat secara singkat disebut sebagai cinta akan
kebijaksanaan (Semiawan, Setiawan dan Yufiarti, 2005:115).
Menurut Soetriono dan Hanafie (2007:20)
mengatakan secara umum filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Dengan cara ini maka jawaban
yang akan diberikan berupa kebenaran yang hakiki.
Menurut
Sudarto (dalam Sukarini, 2007:19-20) filsafat sebagai asas atau paradigma yang
nilai kebenarannya telah diyakini dan diterima oleh seseorang atau suatu
kelompok sebagai dasar atau pedoman untuk memecahkan masalah dalam kehidupan.
Yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan adalah kebenaran akal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran
wahyu (Soetriono dan Hanafie, 2007:23).
Menurut
Soetriono dan Rita Hanafie (2007: 20) mengatakan pengertian filsafat dapat dirangkum sebagai berikut, yaitu :
a)
Filsafat
adalah hasil pemikiran manusia yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang
sistematis.
b)
Filsafat
adalah hasil pikiran manusia yang paling dalam.
c)
Filsafat
adalah pandangan hidup.
d)
Filsafat
adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan menyeluruh.
Dalam modul
filsafat, istilah filsafat berarti : (1) kerendahan hati; (2) mengoreksi diri,
semacam keberanian untuk berterus terang seberapa jauh sebenarnya yang dicari
telah dijangkau (Tim Penyusun, 2010:1-2).
Dalam konsep Hindu istilah filsafat dinamakan
Tattva. Kata “Tattva” ini berarti kebenaran yang utama dan hakiki. Kata Tattva
juga berasal dari kata “Tat”, yang berarti jiwa yang tertinggi (Tuhan). Sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat yakni suatu kebenaran yang
hakiki dan utama (Sudarma, Skripsi, 2003:60). Tattva begitu diyakini
kebenarannya, karena itu tattva memiliki dimensi keyakinan yang terdapat dalam
filsafat. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final,
sementara tattva adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini
kebenarannya (Putra, Jelantik dan
Argawa, 2013:99).
Kerangka dasar agama Hindu yang terdiri dari
tiga bagian, yaitu tattva (filosofi),
susila (etika), dan upakara (ritual). Kesatuan ketiganya dianalogikan seperti
sebutir telur, dimana tattva adalah bagian kuning (inti paling dalam), susila
atau etika (bagian putih) dan upakara (bagian kulit) (Madrasuta, 2013:52). Sedangkan filosofi adalah studi mengenai kebijaksanaan, dasar–dasar
pengetahuan dan proses yang digunakan untuk mengembangkan dan merancang
pandangan mengenai suatu kehidupan. Filosofi memberi pandangan dan menyatakan
secara tidak langsung mengenai sistem keyakinan dan kepercayaan.
Kata filosofis merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Belanda
yaitu filosofy, menurut kamus filsafat bahasa inggris Philosophy yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu Philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan.
Sehingga filosofis adalah bentuk penyelidikan kritis atas
pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai
bidang pengetahuan. Kata filsafat atau philosophia itu dapat diartikan cinta
atau berkawan ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan. Apabila kebijaksanaan ini
telah dapat diamalkan dalam bentuk berbagai perbuatan baik lahir maupun bathin,
dan telah adanya penyesuaian antara kebijasanaan dengan objeknya, makan itulah
yang dinamakan ”Kebenaran” dalam filsafat. Adapun jenis tingkat dan nilai dari
kebijaksanaan atau kebenaran itu adalah berbeda–beda tergantung pada
perkembangan desa, kala dan patra serta menurut dasar dan tujuan kemampuan
logika manusia yang berfilsafat (Sudarma, Skripsi, 2003:56).
Dalam KBBI, Tim Penyususn (1992:317) kata
filosofis berarti pemaknaan terhadap suatu teks berdasarkan ilmu filsafat yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budhi mengenai hakekat segala yang ada
sebab asal dan hukuman dan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika
dan epistemologi. Filosofi dapat didefinisikan dari sudut pandang yang berbeda.
Masing–masing sudut pandang perlu diingat sebagai suatu pemahaman yang jernih
mengenai makna filosofi. Adapun sudut pandang tersebut adalah :
a.
Filosofi
adalah suatu metode pemikiran dan pengkajian berdasarkan pertimbangan yang
sehat;
b.
Filosofi
adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan yang menyeluruh.
”http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2125904-makna- filosofi”(diakses pada tanggal 26–02–2014)
Jadi
filsafat merupakan sebuah studi atau ilmu sedangkan filosofis adalah segala hal
yang berkaitan dengan kecintaan atas kebijaksanaan (segala yang berkaitan dengan
filsafat). Para rohaniawan berpendapat,
bahwa yang dianggap kebenaran yang tertinggi dan hakiki adalah Tuhan itu
sendiri. Apabila seseorang telah mempersatukan kembali Atma dengan Tuhan Yang
Maha Sempurna, itulah orang yang bijaksana dan telah mencapai kebenaran dan
kebahagiaan yang tertinggi dan abadi yang dalam istilah agama Hindu disebut
Moksa. Dapat disimpulkan bahwa filosofis senantiasa dan terus menerus bertujuan
untuk dapat mencapai hakekat kebenaran sesuatu yang setinggi–tingginya.
Makna
filosofis dalam skripsi ini adalah sebagai pemahaman makna yang sangat mendalam
bagi tokoh Vibhisana yang memiliki karakter berbeda dengan saudara-saudaranya,
serta memiliki makna bagi kehidupan dewasa ini. Dalam skripsi ini makna
filosofis pada setiap tokoh Ramayana tentunya berbeda-beda. Namun ketertarikan
peneliti untuk meneliti dan mencari makna filosofis pada karakter Vibhisana
dimana Vibhisana berani menjadi diri sendiri di tengah lingkungan yang
sebenarnya sangat mempengaruhi kehidupannya.
Filosofis
secara umum dapat ditemukan di dalam ajarannya, karakter dari tokoh yang
menjadi objek penelitian serta keyakinan dan pandangan-pandangannya. Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan
yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara
lebih baik manusia perlu untuk dibentuk dan diarahkan. Makna filosofis pada karakter Vibhisana bisa saja membawa
dampak bagi peneliti dan pembacanya
karena tokoh ini seyogyannya dapat menjadi panutan dalam menjalani kehidupan. Pembentukan karakter manusia itu dapat melalui
pendidikan atau ilmu yang memengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya,
melalui kehidupan sosial dan melalui
agama.
2.1.3 Karakter
Karakter merupakan standar atau norma dan
sistem nilai yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter
dilandasi nilai-nilai luhur, yang pada akhirnya terwujud di dalam perilaku.
Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda sehingga sifat-sifat itulah
yang membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Karakter secara kebahasaan adalah sifat-sifat kejiwaan atau budhi pekerti yang
membedakan seseorang dari orang lain (Tim Penyusun, 1997:444). Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, karakter adalah sifat–sifat kejiwaan atau budhi pekerti yang
membedakan seseorang dengan yang lain (Tim penyusun, 1992:88).
Menurut Simon Philips,
karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang
ditampilkan (Mu’in, 2013:160). Peterson dan Seligman mengkaitkan secara
langsung karakter dengan kebajikan. Karakter merupakan kumpulan tingkah
laku baik dari seorang anak manusia, tingkah laku ini merupakan perwujudan dari
kesadaran menjalankan peran, fungsi dan tugasnya mengemban amanah dan tanggung
jawab (Sudewo, 2011:13). Menurut Samuel Smiles (Tim Sosialisasi, 2003:vii)
mengatakan bahwa karakter adalah suatu kehormatan dalam diri seseorang, sebagai
harta yang paling penting. Karakter merupakan niat baik dan kehormatan
seseorang, sebagai investasi berharga, meskipun mereka tidak menjadi kaya
secara materi. Mereka yang berkarakter akan memperoleh hasil berupa harga diri
dan kemenangan yang terhormat secara adil.
Menurut Subandi (1978:12),
karakterisasi merupakan pola pelukisan seseorang yang dapat dipandang dari segi
fisik, psikis dan sosiologis. Segi fisik, melukiskan karakter pelaku misalnya,
tampang, umur, raut muka, rambut, bibir, hidung, bentuk kepala, warna kulit dan
lain sebagainya. Segi psikis, melukiskan karakter pelaku melalui gejala-gejala
pikiran, perasan dan kemauannya. Dari segi sosiologis melukiskan watak pelaku
melalui lingkungan hidup kemasyarakatan.
Manusia yang berkarakter kuat
dicirikan oleh kapasitas mental yang membedakan dari orang lain seperti
kepercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, kuat dalam memegang
prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya (Nashir,
2013:13). Manusia
berkarakter adalah manusia yang sanggup memelihara karakter yang akan
bermanfaat besar bagi manusia dalam pergaulan hidup, tanamkan benih kebaikan,
dan tertanamnya kebiasaan baik (Dwi Arisetia, Skripsi, 2013:13). Karakter buruk
masih dapat diperbaiki, utamanya ketika seseorang masih masa kanak-kanak,
sedangkan karakter negatif akan sulit diperbaiki ketika sudah dewasa, kecuali
ada pengalaman yang menyentuh, utamanya sentuhan Tuhan Yang Maha Esa karena
pada waktu penjelmaanya dulu pernah berbuat baik (Titib, 2004:28). Tetapi
karakter negatif pada seorang anak apabila tidak dididik dengan baik ibarat
sebuah titik api yang masih kecil, mungkin orang akan meremehkannya, tetapi
ketika api sudah menyala besar merupakan ancaman akan terjadinya kebakaran. Ketika
itu sudah terjadi, barulah orang akan sadar, bahwa api kecil itu mesti segera
dipadamkan. Anak yang berkarakter tidak baik, dengan penuh kasih sayang mesti
dididik dengan baik. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur,
kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara
orang yang berprilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang
berkarakter mulia.
Willam
Stern berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan menentukan pembentukan
karakter manusia (Purwanto, 2013:15). Pembawaan adalah semua kesanggupan-kesanggupan
yang dapat diwujudkan karena kemampuan itu sudah ada dalam pembawaannya (Purwanto,
2013:22). Sifat-sifat yang termasuk dalam struktur pembawaan itu tidak semuanya
dapat berkembang atau menunjukan diri dalam perwujudannya. Pembawaan adalah potensi-potensi yang aktif
dan pasif, yang terus berkembang hingga mencapai perwujudannya. Jadi
dapat disimpulkan bahwa, semua yang dibawa oleh anak sejak dilahirkan adalah pembawaan. Sedangkan
lingkungan, menurut Sartain mengatakan bahwa lingkungan adalah semua
kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi
tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan (Purwanto,2013:28). Menurut
Woodworth, cara-cara individu berhubungan dengan lingkungannya dapat dibedakan
menjadi 4 macam, yaitu individu bertentangan dengan lingkungannya, individu
menggunakan lingkungannya, individu berpartisipasi dengan lingkungannya, individu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Purwanto, 2013:28). Jika dikaitkan
dengan karakter Vibhisana, dia yang bertentangan dengan Ravana dan
lingkungannya, karena faktor bawaan dan keturunan sejak lahir. Vibhisana
mengubah lingkungannya sesuai dengan keinginan dirinya.
Jadi karakter adalah penggambaran
tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk). Karakter bukan
hanya bawaan lahir tetapi juga terbentuk melalui lingkungan dan
penghayatan nilai-nilai tertentu yang ditanamkan oleh lingkungan.
Pendidikan karakter bukan hanya dengan cara tunduk saja pada pengaruh
lingkungan, melainkan dengan cara kritis menilai dan kemudian mengambil
sikap yang tepat. Seperti karakter Vibhisana yang pada dasarnya tidak
terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, karakter tidak
hanya terpengaruh oleh lingkungan melainkan juga prinsip yang dipegang teguh
oleh seseorang, yang menjadikannya kuat walau dilingkungan yang berlawanan
dengan prinsip hidupnya.
2.1.3.1 Unsur Pembentuk
Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran. Karena di dalam pikiran
terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan
pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang
akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya.
Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran
universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya,
perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program
tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya
membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus
mendapatkan perhatian serius.
Dengan memahami
cara kerja pikiran tersebut, dapat dipahami bahwa pengendalian pikiran menjadi
sangat penting. Dengan kemampuan dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan,
maka akan mudah mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan
berkaitan dengan perasaan, Mu’in (2013:206) mengatakan bahwa pikiran dan
perasaan memang tidak bisa dipisahkan dalam pembentukan karakter manusia.
Karena yang bisa menilai baik dan buruk itu adalah pikiran sedangkan perasaan
itu muncul karena karena dibentuk oleh penilaian terhadap sesuatu yang nyata.
Disadari atau
tidak, jika pikiran lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan
kejahatan, maka akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan. Pada umumnya
tujuan pendidikan menurut Swami Satya
Narayana adalah untuk pembentukan karakter yang baik (character building).
Senada dengan itu disebutkan bahwa tujuan pengetahuan adalah kearifan, tujuan
peradaban adalah kesempurnaan, tujuan kebijaksanaan adalah kebebasan, dan tujuan
pendidikan adalah karakter yang baik
(Titib, 2003:19).
Selain pikiran, ada beberapa unsur dimensi manusia
secara psikologis dan sosiologis yaitu sikap, emosi, kepercayaan dan kemauan.
Menurut Mu’in (2013:168-178) mengatakan bahwa karakter seseorang berkaitan
dengan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1.
Sikap adalah suatu perilaku tertentu dan menjadi
keunikan pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang dipertahankan
dan dikelola oleh individu.
2.
Emosi adalah gejala dimensi dalam situasi yang
dirasakan manusia, yang disertai dengan efek kesadaran dan perilaku.
Golongan-golongan emosi yang secara umum ada pada manusia yaitu amarah,
kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu.
3.
Kemauan adalah kondisi yang sangat mencerminkan
karakter seseorang. Ada orang yang kemauanya keras, tetapi ada juga orang yang kemauannya lemah. Kemauan erat kaitannya
dengan tindakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang
merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.
Konsep pembentukan karakter yang dicerminkan oleh
tingkah laku dan ucapan memang tak dapat dilihat tanpa mengkaitkan manusia
dengan lingkungannya.
2.1.3.2 Pengaruh Tri
Guna terhadap Karakter
Tri Guna adalah tiga tingkatan sifat yang mempengaruhi
manusia. Bagian dari Tri Guna yaitu sattwam, rajas dan tamas. Ketiga sifat ini
saling berkaitan dan mempengaruhi karakter manusia. Sattwam yang bersifat
terang dan bersinar, selalu berdasarkan kebenaran, kesucian, kasih sayang, tenang,
tidak berburu nafsu, bijaksana, senantiasa dengan sifat kedewasaan. Rajas
adalah kegiatan yang terdorong oleh nafsu, semangat dan kemauan yang besar
untuk mencapai tujuan. Sebaliknya sifat–sifat yang dikuasai oleh Tamas,
cenderung bersifat jahat, tidak bertanggung jawab, loba, bodoh, egois, tidak
ada rasa kepedulian.
Agama senantiasa menekankan agar manusia berbuat yang
dikuasai sifat–sifat sattwam dan menjauhkan perbuatan yang dikuasai rajas dan
tamas. Dalam situasi tertentu mungkin dapat dibenarkan melakukan sesuatu dengan
sifat rajas, dalam artian bersemangat untuk mendorong terlaksananya sesuatu
yang diperlukan, asalkan tetap berdasarkan dharma yaitu kejujuran, kebenaran, dan perasaan keadilan (Jelantik, 2009:66).
Pembagian Guna menjadi dua macam, sesuai
dengan klasifikasi perbuatan ke dalam dharma dan adharma. Dharma adalah lambang
kebenaran sedangkan adharma adalah lambang kejahatan dan kegelapan. Dharma
meliputi bukan hanya perbuatan–perbuatan sattwam melainkan juga
perbuatan–perbuatan sattwam–rajas. Maka adharma meliputi bukan hanya perbuatan
tamas melainkan juga tamas–rajas. Konsepsi yang lebih murni dan lebih spiritual
yang dimiliki oleh manusia tentang Dewa–Dewa, timbul dari keunggulan sattwam
guna yaitu kejernihan, kebaikan dan kemurnian. Pandangan yang menunjukan
kemarahan, mudah berang dan emosional timbul dari impuls–impuls rajas guna.
Mahluk–mahluk yang mempunyai karakter tidak baik, lahir dari kegelapan tamas
guna. Aspek–aspek dan personifikasi dari esensi ketuhanan akan terlihat seperti
bervariasi sesuai dengan keluasan pengaruh dari salah satu unsur tri guna di
dalam sifat manusia (Sudharta, 2007:21). Dalam kitab suci Bhagavad Gita XVII.2
dan XVII.4 disebutkan:
Śri bhagavān uvāca :
tri-vidhā bhavati śraddhā
dehinām sā svabhāva jā,
sāttvikĪ rājasĪ caiva
tāmasĪ ceti tām śrnu.
(Bhagavad Gita XVII.2)
Terjemahan :
Ada tiga macam keyakinan, yang tergantung kepada watak perwujudan badan,
yaitu bersifat sattwam, rajas dan tamas; dengarlah itu semua (Pudja, 2004:387).
yajante sāttvikā devān
yaksa
raksamsi rājasāh,
pretān bhūta ganāms cānye
yajante tāmasā janāh.
(Bhagavad Gita XVII.4)
Terjemahan :
Orang yang bersifat sattwam memuja pada Dewata, yang bersifat rajas memuja
yaksa dan raksasa, sedangkan lainnya yang bersifat tamas memuja roh orang mati
dan para bhuta (Pudja, 2004:388).
Berdasarkan sloka diatas, bahwa
manusia sudah sejak sebelum lahir dipengaruhi oleh tri guna. Ketiga sifat ini
sangat berpengaruh terhadap kehidupan yang akan dijalaninya. Seseorang akan
hidup bahagia jika sattwam yang dominan mempengaruhi dirinya. Namun tanpa
dipengaruhi oleh rajas, akan terasa tidak punya semangat untuk bertindak. Oleh
karena itu sattwam dan rajas saling berpengaruh satu dengan yang lain. Namun
sebaliknya jika tamas dan rajas yang dominan maka hidup akan terbelenggung
dalam kegelapan dan penderitaan. Jika dilihat dari posisinya, rajas bersifat
netral, jika rajas bersanding dengan sattwam maka akan muncul sifat dharma,
sedangkan jika rajas bersanding dengan tamas akan muncul sifat adharma.
Di dalam Bhagavad Gita Bab XVI telah
terlihat sangat jelas menggambarkan dua macam karakter, yaitu karakter daivah
dan karakter asura. Di dalam Bhagavad Gita XVI.6 disebutkan :
dvau bhūta – sargau
loke ‘smin
daiva āsura eva ca
daivo
vistarasah prokta
asuram
partha me srnu
Terjemahan :
Ada dua macam mahluk ciptaan di dunia ini, yang mulia dan yang jahat; yang
mulia telah diuraikan secara terperinci, (selanjutnya) dengarkan tentang yang
jahat, dari Aku, wahai Partha (Arjuna)
(Pudja, 2004:374).
Namun ada satu karakter lagi, yaitu
karakter paisacik. Karakter paisacik ini tergolong dalam karakter asura dan
sebagian diabaikan karena terlalu rendah untuk dipertimbangkan. Bahwa
orang–orang yang lahir karena pengaruh jnana memperoleh karakter daiwik,
sedangakan yang lahir dari pengaruh–pengaruh ajnana memperoleh karakter asurik
(Sudharta, 2007:55). Jadi karakter yang baik tidak terbentuk dari sattwam guna
saja. Akan tetapi karakter seseorang didalam kehidupannya menempatkan sattwam
pada karakter yang paling tinggi, lalu rajas dan tamas posisi yang paling
rendah. Dengan kata lain, orang yang berkarakter baik kebanyakan dipengaruhi
oleh sattwam guna, ada kalanya rajas guna dan sesaat tamas guna. Tetapi jika
sebaliknya tamas guna dan rajas guna yang menonjol di dalam karakter seseorang
maka akan berkarakter buruk.
2.1.4 Vibhisana
Vibhisana
adalah anak dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Vibhisana adalah anak yang paling
bungsu dan Vibhisana sebagai seorang satria rupawan tanpa cacat. Keningnya
berkilat-kilat menyimpan cahaya rahasia. Nama Vibhisana diberikan oleh Rsi
Wisrawa dengan sebuah pengharapan, semoga anak ini berwatak brahmana dan satria
sejati. Berani mempertahankan pendirian dan bersedia mengorbankan apa saja demi
membela kebenaran, sabda Rsi Wisrawa (Pratikto, 1980:58).
Vibhisana
dalam istilah sanskerta yang berarti dia yang luar biasa. Vibhisana memiliki
fisik yang kuat dan kesaktian yang diperolehnya dari Bhatara Brahma, namun dia
tidak mau menyalahgunakan kehebatan dirinya. Ia sangat disiplin dan memegang
teguh kebajikan (Pandit, 2009:226). Vibhisana adalah adik bungsu Ravana. Sosoknya
tampan dan menunjukan kebajikan yang sangat berlawanan dengan karakter kakaknya
Ravana yang jahat, ganas, agresif, kejam dan tidak bermoral. Dalam modul
itihasa disebutkan bahwa menurut kitab Uttara Ramayana, Ravana mengawini
Mandodari, Kumbhakarna mengambil istri bernama Vajrajvala, putri Mahabali dan
Vibhisana mengawini Sarala, putri seorang Gandharva bernama Sailusa. Ketika
keputusan Ravana untuk bertempur menghadapi Sri Rama, Vibhisana menyampaikan
pendapat yang berbeda yang meminta Ravana segera mengembalikan Sita kepada
Rama. Vibhisana akhirnya memihak kepada Rama. Ravana dibunuh oleh Sri Rama dan
Vibhisana dinobatkan menjadi raja di Lańka. Ketika Sri Rama
melaksanakan upacara Asvamedhya, yang memimpin pasukan tempur adalah Sugriva
sedangkan yang bertindak sebagai
penyadang dana adalah Vibhisana (Tim penyusun, 2012:229).
2.1.4.1 Silsilah keluarga
Vibhisana adalah putra bungsu Rsi
Wisrawa dan Dewi Sukesi. Vibhisana adalah anak paling bungsu dari 4 bersaudara yaitu
Ravana, Kumbhakarna dan Surpanakha. Ravana lahir berwujud gumpalan
darah. Dalam pedalangan namanya disebut Rahwana, Rah yang artinya darah dan
Wana artinya hutan (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:120). Oleh karena
kemahakuasaan Dewata, gumpalan darah itu berubah dan berwujud raksasa. Kumbhakarna
anak yang kedua dan Surpanakha anak yang
ketiga juga berwujud raksasa. Hal ini menyebabkan Rsi Wisrawa dan Dewi
Sukesi menjadi sedih. Mereka memanjatkan doa bertahun–tahun. Hingga pada
akhirnya lahirlah Vibhisana,
seorang satria rupawan tanpa cacat (Pratikto, 1983:57-58).
2.1.4.2 Peran di Lanka
Di kerajaan Lańka
Vibhisana adalah seorang yang berperan sebagai penasehat Raja. Vibhisana adalah
orang yang mahir dalam seni berbicara. Ia tahu apa yang harus diucapkan, kapan,
dan dimana ia harus berbicara. Setelah gagal membujuk kakaknya untuk
mengembalikan Sita kepada Rama, Vibhisana memutuskan untuk berpihak kepada Rama
yang diyakini sebagai pihak yang benar. Menarik untuk dilihat bahwa Kumbhakarna mengambil sikap yang berlawanan, dimana Kumbhakarna tetap membela tanah air, walaupun
menyadari bahwa dia berada di pihak yang salah. Vibhisana merupakan tokoh yang
menunjukkan bahwa kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan
ikatan persaudaraan.
2.1.4.3
Vibhisana memihak Rama
Karena diusir dari
Lańka, Vibhisana pergi bersama empat raksasa yang baik dan menghadap Rama. Dalam perjalanan ia
dihadang oleh Sugriwa, raja wanara yang mencurigai
kedatangan Vibhisana dari Lańka. Setelah Rama yakin bahwa Vibhisana bukan orang
jahat, Vibhisana menjanjikan persahabatan yang kekal. Dalam misi
menghancurkan Ravana, Vibhisana banyak memberi tahu rahasia pasukan Lańka
dan seluk-beluk setiap raksasa yang menghadang Rama dan pasukannya. Vibhisana
juga sadar apabila ada mata-mata yang menyusup ke tengah pasukan Vanara, dan
melaporkan kepada Rama.
Ketika Kumbhakarna maju menghadapi Rama dan pasukannya, Vibhisana
memohon agar ia diberi kesempatan berbincang-bincang dengan kakaknya itu. Rama
mengabulkan dan mempersilakan Vibhisana untuk bercakap-cakap sebelum
pertempuran meletus. Saat bertatap muka dengan Kumbhakarna, Vibhisana memohon agar
Kumbhakarna mengampuni kesalahannya sebab ia telah menyeberang ke pihak musuh.
Vibhisana juga pasrah apabila Kumbhakarna hendak membunuhnya. Melihat ketulusan
adiknya, Kumbhakarna merasa terharu. Kumbhakarna tidak menyalahkan Vibhisana
sebab ia berbuat benar. Kumbhakarna juga berkata bahwa ia bertempur karena terikat
dengan kewajiban, dan bukan semata-mata karena niatnya sendiri. Setelah
bercakap-cakap, Vibhisana mohon pamit dari hadapan Kumbhakarna dan mempersilahkannya
maju untuk menghadapi Rama.
2.1.5 Yudha Kanda
Yudha Kanda adalah
bagian ke VI epos agung Ramayana. Dalam Yudha Kanda ini diawali dengan
persoalan luasnya lautan yang akan diseberangi oleh Rama dan pasukan Vanara. Setelah
mendapat cara menuju Lańka maka diberangkatkanlah pasukan kera ke Lańka.
Hanuman merusak kota Lańka. Dikisahkan juga dalam yudha kanda penolakan usul
Vibhisana untuk menghindari perang dan pengusiran Vibhisana oleh Ravana,
sehingga pada akhirnya Vibhisana bergabung dengan Rama. Dikisahkan juga Ravana
berusaha membuat Sita sedih. Ravana menjadi frustasi akibat panglima yang sakti
satu persatu meninggal. Dibangunkannya Kumbhakarna namun mati mengenaskan di
tangan Rama. Indrajit maju berperang dan berhasil melukai Rama dan Laksmana.
Hanoman yang diperintahkan untuk mencari obat.
Obat itu berhasil menghidupkan seluruh pasukan Vanara yang tewas. Lańka
dibakar dimalam hari, Indrajit maju untuk kedua kalinya ke medan perang dan
pada akhirnya Indrajit terbunuh oleh Laksmana. Rama melawan Ravana dan akhirnya
Ravana tewas. Vibhisana dinobatkan menjadi raja. Rama meragukan kesucian Sita.
Sita terjun ke api suci untuk membuktikan kesuciannya dan pada akhirnya Rama
percaya dan membawa Sita pulang ke Ayodha.
2.2 Kajian hasil
penelitian yang relevan
Untuk menunjang hasil
penelitian maka peneliti menjadikan buku dan skripsi orang lain sebagai titik
tolak pembanding dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Adapun buku dan
skripsi yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti,
yaitu sebagai berikut :
2.2.1 Suhardi dan Wisnu Subagyo dalam buku yang
berjudul “Arti dan makna tokoh pewayangan
Ramayana dalam pembentukan dan pembinaan watak” (seri II). Buku ini menjadi
salah satu yang menjadi kajian hasil penelitian yang relevan karena kajian
mengenai karakter tokoh–tokoh wayang mengungkapkan nilai–nilai luhur yang
terkandung dalam setiap tokoh wayang yang bersangkutan. Dalam kajian ini
mencakup 5 tokoh, satu diantaranya adalah Vibhisana (dalam buku ini namanya
Raden Gunawan Wibhisana). Metode yang digunakan dalam pengkajian nilai–nilai
tokoh pewayangan ini adalah studi kepustakaan. Hampir seluruhnya bahan yang
dikaji bersumber dari bahan–bahan kepustakaan, khususnya tentang cerita dari
epos Ramayana.
2.2.2 Skripsi STAH DN Jakarta tahun 2012 yang
berjudul “ Analisis Pendidikan Karakter Prajurit Bangsa dalam perspektif ajaran
Hindu “Yudha Kanda” oleh I Nyoman Arya Sugiarta. Penulis menggunakan metode
studi dokumen atau teks dan peneliti menggunakan sumber data sekunder berupa
buku Ramayana kanda ke-enam (Yudha Kanda).
Dalam skripsi ini menjadi kajian hasil penelitian yang relevan karena
menjelaskan nilai–nilai pendidikan karakter dalam Yudha Kanda. Hasil
penelitiannya adalah yudha kanda memberi konsep tentang ahimsa yang melekat
pada diri Rama. Rama adalah pokok utama dari ajaran tidak melakukan tindakan
kekerasan. Kebenaran adalah Rama itu sendiri sebagai avatara yang bertugas
untuk melindungi kemerdekaan dunia. Dalam penelitian ini juga dijelaskan
tentang hukum karmaphala, dimana Ravana yang jahat menemui ajalnya dan
Vibhisana yang bijaksana mendekatkan dirinya kepada kekuasaan Rama sebagai
avatara. Vibhisana sebagai adik dari Ravana rela meninggalkan keluarga, harta
dan negaranya demi membela dan berpegang teguh para prinsif kebenaran. Sehingga
skripsi ini merupakan kajian yang relevan.
Buku dan karya tulis ini telah memberikan
sumbangan dalam penyusunan skripsi peneliti. Karena ada kesamaan dalam metode
dan sumber-sumber yang dipergunakan. Terlepas dari kesamaan tersebut,
penelitian tersebut perlu dikembangkan lebih jauh. Setiap karya tulis pasti
memiliki kelebihan dan kekurangan. Sehingga nantinya dalam setiap penelitian
bisa saling melengkapi. Penelitian ini menjadi hal pembaharuan dan melengkapi
penelitian sebelumnya.
3.1 Latar Penelitian
Cerita
yang terkandung oleh kitab Ramayana itu sangat mempesona karena penuh dengan pendidikan
moral, kewiraan serta disampaikan dalam gaya bahasa yang baik, menyebabkan epos
ini sangat digemari diseluruh dunia. Karena sungguh agung cerita Ramayana ini,
sehingga peneliti tertarik untuk mengambil judul dari kisah tokoh–tokoh yang
terdapat dalam Ramayana tersebut. Salah satu tokoh dalam cerita ini yang sangat
berkaitan dengan skripsi yang peneliti buat adalah Vibhisana. Dia adalah tokoh
yang sangat mulia, sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji nilai filosofis
kehidupan pada karakter Vibhisana. Sehingga nantinya tokoh ini akan menjadi
sosok yang menarik karena kebenarannya bahwa Vibhisana adalah pemegang prinsip
dharma sejati akan terbukti dari skripsi yang akan peneliti buat ini.
Peneliti menggunakan
buku Ramayana kanda VI (Yudha Kanda) karangan Kamala Subramaniam, karena buku
ini menjelaskan secara lengkap dan jelas isi dari Yudha Kanda tersebut. Dimulai
dari persiapan sebelum perang hingga pada akhirnya kemenangan Rama melawan
Ravana dan penobatan Vibhisana sebagai raja lańka yang baru. Namun pada buku
Ramayana karangan Kamala Subramaniam, tidak menjelaskan kisah kehidupan Vibhisana pada masa kecil. Sehingga
peneliti mengkaji dari buku Ramayana dengan pengarang yang berbeda. Buku
Ramayana ini berjudul “Hamba sebut paduka Ramadewa” Ramayana, di dalam buku ini
dijelaskan tentang silsilah dari keluarga Vibhisana.
3.2 Pendekatan dan Metode
Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif yaitu suatu cara analisis atau pengelolahan data dengan
jalan menyusun secara sistematis dalam bentuk kalimat atau kata–kata.
Kategori–kategori mengenai suatu objek yaitu benda, gejala, variabel tertentu.
Hal ini dijelaskan dalam modul metode penelitian (Tim penyusun, 2012:171). Suatu penelitian pada umumnya bertujuan untuk
menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan
berarti berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan.
Suatu metode yang tepat sangat bermanfaat, sehingga keabsahan hasil
penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Metode studi dokumen atau
kajian teks merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam penelitian
ini karena studi dokumen/kajian teks menjadi salah satu bagian yang penting dan
tak terpisahkan dalam metodologi penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan
karena banyak sekali data-data yang tersimpan dalam bentuk dokumen yang bisa
digali. Dalam buku panduan pedoman penulisan skripsi, dijelaskan bahwa studi dokumen atau kajian teks yang
merupakan kajian yang menitik beratkan pada analisis bahan tertulis berdasarkan
konteksnya (Tim penyusun, 2013:51).
3.3 Data dan Sumber Data
Dilihat dari jenisnya data
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder (Setiawan,
2012:8). Jika menggunakan dokumentasi maka hasil pencatatan yang menjadi sumber
data sedangkan isi catatan adalah subjek penelitian atau variabel penelitian.
Jika menggunakan wawancara, maka sumber
data disebut informan yaitu orang yang merespon atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti baik pertanyaan tertulis
maupun lisan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan oleh karena itu data
penelitian berasal dari sumber-sumber
antara lain:
3.3.1 Data primernya berupa buku Yudha
Kanda oleh Kamala Subramaniam (Bahasa Indonesia) diterjemahkan oleh I Gede
Sanjaya, Editor I Wayan Maswinara, 2003.
3.3.2 Data sekundernya berupa
buku atau dokumen yang berasal dari perpustakaan dan koleksi pribadi peneliti
seperti buku Ramayana oleh Kamala
Subramaniam diterjemahkan oleh I
Gede Sanjaya, buku “Hamba sebut paduka
RamaDewa” Ramayana oleh Herman Pratikto, 1983.
3.3.3 Yudha Kanda terjemahan
A.A Inten Mayuni dkk, 2011.
3.3.4 Beberapa sumber lainnya berupa buku-buku agama dan sumber dari
internet sebagai bahan penunjang dalam penelitian ini.
3.3.4 Data yang berasal dari hasil wawancara dengan orang-orang yang
peneliti anggap mampu menjelaskan dan
menguasai permasalahan dalam penelitain ini.
3.4 Prosedur Pengumpulan Data dan Perekaman
Data
3.4.1 Studi
kepustakaan
Studi kepustakaan adalah cara
mengumpulkan data dengan mencatat data yang sudah ada dalam dokumen atau arsip
(Praptini, 2009:45). Kepustakaan dapat digunakan untuk keperluan penelitian
karena memenuhi kriteria dapat dipertanggungjawabkan. Sumber kepustakaan
merupakan sumber yang stabil, berguna sebagai bukti untuk pengkajian, sesuai
untuk penelitian kualitatif karena sifatnya alamiah, dan hasil pengkajian isi
akan membuka kesempatan untuk memperluas tubuh pengetahuan terhadap sesuatu
yang diselidiki.
Untuk mengumpulkan data melalui studi kepustakaan,
peneliti memilih buku-buku, majalah, jurnal, diktat, modul dan referensi dari
internet yang berisikan masalah yang akan diteliti. Dengan mengumpulkan
sumber-sumber yang terkait dengan skripsi, mengkaitkannya dengan data yang
utama. Agar nantinya mempermudah untuk menganalisis.
3.4.2 Wawancara
Wawancara adalah bentuk
komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi berlangsung dalam
bentuk tanya jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik
responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal (Gulo,
2004:11). Wawancara diartikan sebagai percakapan yang mempunyai maksud tertentu
yang dilakukan dengan bentuk percakapan. Percakapan yang dilakukan oleh dua
belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moeloeng, 2002:135).
Dalam wawancara, penetapan informan dilakukan saat
peneliti memulai penelitian. Menurut Esterberg (dalam Sugiyono, 1984:72)
mengatakan bahwa wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan pemikiran melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam
suatu topik tertentu. Tata kerjanya yaitu dengan cara peneliti memilih
seseorang yang dianggap mampu memberikan data yang diperlukan. Selanjutnya, berdasarkan
data dari informan tersebut peneliti dapat menentukan informan lain yang
dipertimbangkan akan memberikan data untuk melengkapi data yang ada.
3.5 Analisis
data
Dalam penelitian ini penulis
akan melakukan analisis data dengan mengumpulkan data untuk mendapatkan hasil
dari masalah yang diteliti. Penelitian kualitatif pada umumnya, analisis
dilakukan dengan pengelompokan data untuk mencari suatu pola atau keteraturan
dari fenomena yang dipelajari, membandingkan data dengan referensi lainnya.
3.5.1 Proses
analisis data
Adapun proses analisis data yang dilakukan adalah reduksi data,
penyajian data, penarikan kesimpulan dan penulisan hasil penelitian.
a) Reduksi
data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, transpormasi data kasar yang didapat dari data
penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan adalah menajamkan analisis,
menggolongkan atau pengkategorisasian ke dalam setiap permasalahan melalui
uraian singkat, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan
data sehingga dapat ditarik kesimpulan final.
b) Penyajian
data
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah penyajian data.
Pada langkah ini penulis berusaha menyusun data yang relevan sehingga menjadi
informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Proses yang
dilakukan yaitu dengan menampilkan dan membuat hubungan antar fenomena untuk
memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk
mencapai tujuan penelitian, yaitu nilai–nilai filosofis dalam karakter
Vibhisana.
c) Penarikan
kesimpulan
Kesimpulan adalah tinjauan terhadap catatan yang telah dilakukan
dalam penelitian. Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah usaha
untuk mencari atau memahami makna, arti, keteraturan, pola, penjelasan dan alur
sebab akibat dari penelitian.
d) Menulis laporan
penelitian
Laporan penelitian merupakan langkah terakhir dalam proses
penelitian. Setelah semua data terkumpul dan diolah, laporan hasil penelitian
ditulis secara lengkap dan sistematik.
3.6
Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
Dalam bagian ini penulis menggunakan kriteria keabsahan
konstruk (Construct validity). Keabsahan data ini dicapai dengan proses
pengumpulan data yang tepat yaitu dengan proses triangulasi. Dalam buku pedoman
penulisan skripsi, menurut Patton (dalam Sulistiany 1999) ada 4 macam
triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu
triangulasi data, triangulasi pengamatan, triangulasi teori dan triangulasi
metode. Peneliti menggunakan triangulasi data. Karena menggunakan berbagai
sumber data seperti dokumen, arsip dan hasil wawancara. Dengan
kesesuaian dari hasil yang dicapai maka peneliti nantinya dapat membuat laporan
hasil kajian ini dengan benar dan dapat dipergunakan sebagai hasil tulisan yang
bermanfaat.
4.1 Sinopsis Kehidupan Vibhisana
4.1.1
Kelahiran Vibhisana
Dalam kehidupan sehari-hari sering
dijumpai orang dengan sifat dan karakter yang berbeda-beda dan memang sudah
kodrat manusia ada yang mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat
buruk. Dalam panca sradha, hal ini dapat dipahami melalui ajaran hukum karma.
Kecenderungan untuk berbuat baik merupakan sifat yang diajarkan dalam subha
karma, sedangkan kecenderungan untuk berbuat buruk merupakan sifat dari asubha
karma.
Vibhisana adalah saudara raja Lańka
Ravana. Ia adalah anak dari Rsi Wisrawa
dan Dewi Sukesi. Pada suatu hari Rsi Wisrawa meletakan jabatan dan hidup
sebagai pendeta.
Rsi
Wisrawa bertempat tinggal di pertapaan Girijembat. Silsilahnya diceritakan
bahwa Sanghyang Manikmaya berputra Batara Sambo dari Dewi Umayi sebagai putra
sulung. Empat keturunan kemudian dari Batara Sambo adalah Prabu Darodana. Dan
empat keturunan dari Prabu Darodana ke kiri adalah Rsi Wisrawa putra Rsi Padma,
sedangkan empat grad ke kanan adalah Dewi Lokawati, putri Prabu Lokawana raja
negara Lokapala. Rsi Wisrawa sangat sakti dan termasyur dalam ilmu kasidan. Ia
kemudian di persandingkan dengan Dewi Lokawati. Setelah Prabu Lokawana mangkat,
maka atas perkenan Dewi Lokawati, Rsi Wisrawa kemudian dilantik menjadi raja
Lokapala. Dari perkawinan tersebut lahir seorang lahir seorang putra bernama
Danapati dan setelah dewasa dinobatkan sebagai raja pengganti Prabu Wisrawa
(Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:510).
Pemerintahan negeri diserahkan
kepada anak kandungnya yaitu Danapati. Suatu ketika Danapati tergila–gila
kepada Dewi Sukesi, putri raja Sumali dari Lańka. Sebagai ayah, Rsi Wisrawa
berusaha melamar puteri idaman hati anaknya itu. Maka pergilah ia ke Lańka
seorang diri, dan mengutarakan maksud kedatangannya itu kepada raja Sumali
(Pratikto, 1983:55). Mendengar hal itu Dewi Sukesi lalu mengajukan sebuah teka–teki
tentang Sastra Jendra Hayuningrat. Rsi
Wisrawa dengan tersenyum menjawab persoalan itu dengan mudah.
Dewi
Sukesi adalah putri Prabu Sumali, setelah dewasa Dewi Sukesi menjadi lamaran
para ksatria. Dewi Sukesi tumbuh menjadi perempuan cerdas yang
gemar belajar. Banyak para raja dan pangeran berdatangan untuk mempersuntingnya.
Seorang perwira Lańka bernama Jambumangli tampil mengumumkan sayembara
barangsiapa yang bisa mengalahkan dirinya berhak memperistri Sukesi. Namun
Sukesi sendiri juga menggelar sayembara yaitu ia hanya mau menikah apabila ada
orang yang bisa mengajarinya ilmu Sastrajendra Hayuningrat. Rsi Wisrawa
datang ke Lańka untuk melamar Sukesi menjadi menantunya, yaitu sebagai istri Danapati raja Lokapala. Sumali yang juga sahabat Wisrawa
menyatakan bahwa sayembara yang digelar Jambumangli tidak sah. Sayembara yang
asli adalah mengajarkan Sastrajendra Hayuningrat. Wisrawa ternyata
menguasai ilmu tersebut namun tidak berani sembarangan mengajarkannya kepada
orang lain. Barang siapa yang mendengarkan sastra tersebut akan memperoleh
pencerahan. Raksasa akan menjadi manusia, sedangkan manusia akan menjadi Dewa.
Sukesi pun meminta agar dirinya diajari ilmu Sastrajendra Hayuningrat Wisrawa
(Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:428).
Sementara itu para Dewa menjadi
sibuk karena perbuatan Rsi Wisrawa itu. Maka turunlah Dewa Siwa dan Dewa
Naradda. Mereka berusaha menggagalkan ajaran suci itu. Oleh sabda kedua Dewa
itu, Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi mendadak jatuh cinta. Akhirnya mereka
memutuskan untuk hidup bersama sebagai suami istri. Raja Sumali gembira
mendengar hal tersebut. Ia telah lama menginginkan menantu berwatak Brahmana
sejati. Namun anaknya Raja Danapati sangat kecewa. Maka terjadilah pertempuran
antara anak dan ayah. Danapati seorang raja yang sangat sakti. Rsi Wisrawa
merasa sangat bersalah dan sebagai penebusan dosa sebenarnya ia rela mati
ditangan anaknya sendiri. Tetapi Dewa tidak memperkenankan, bahkan Danapati
mendapat marah para Dewa, seperti dikutip dalam buku Herman Pratikto yang
berjudul “Hamba sebut Paduka Ramadewa”, seperti yang diuraian dalam teks,
dijelaskan bahwa :
“Kata
Dewa, Manusia tidak berhak mengadili manusia. Lagi pula engkau lahir ke dunia
oleh ayahmu. Seumpama engkau sebatang tanaman, benih–benih ditebarkan oleh
ayahmu. Apa alasanmu hendak melawan ? Itulah dosa yang sebesar–besarnya. Engkau
akan hancur oleh adikmu sendiri. Itulah anak ayahmu yang akan lahir kemudian
hari”. Dewa juga menghukum pekerti
Wisrawa karena telah membuat malu anaknya
yang mencintai dan menghormatinya dengan sepenuh hati. (Pratikto,
1983:57).
Setelah kejadian itu, tidak lama
kemudian lahirlah anak Wisrawa yang pertama dari rahim Dewi Sukesi. Anak itu
lahir di tengah hutan, berwujud gumpalan darah. Dengan amat sedih Rsi Wisrawa
memanjatkan ampun kepada para Dewa. Oleh karena kekuasaan Dewata, segumpalan
darah itu menjadi raksasa. Ia memberikan nama Ravana. Anaknya yang kedua juga
berwujud raksasa. Telinganya sebesar telinga gajah dan diberi nama Kumbhakarna. Menyaksikan keadaan kedua
anaknya itu, Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menjadi sangat malu. Seluruh penduduk
negeri membicarakan aib tersebut. Rsi Wisrawa seorang Rsi yang berbudhi luhur
dan Dewi Sukesi anak seorang raja yang bijaksana. Betapa mungkin kedua anak
mereka berwujud raksasa yang menakutkan. Namun dengan penuh kesungguhan mereka memanjatkan doa
siang malam. Berharap dewata menganugerahi seorang anak yang sempurna. Dewata
yang maha pemurah mengabulkan permintaan mereka. Kali ini lahir seorang anak
yang perempuan. Tubuhnya seperti tubuh manusia, hanya saja berparas raksasa.
Kukunya tajam, mengkilat dan mengandung racun. Rsi Wisrawa memberi nama
Surpanakha. Sekali lagi orang membicarakannya dan mengejeknya. Dengan rasa
sesal dan tobat, keduanya memanjatkan doa bertahun–tahun lamanya. Seperti yang
diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Perkawinan
Rsi Wisrawa dengan Dewi Sukesi tiga kali berturut-turut melahirkan putra dan
putri berwujud raksasa. Hal ini menyedihkan hati. Kemudian ia pun bersamadi
dengan tekun memohon kehadirat Dewa agar dianugerahi putra yang berparas mirip
dengan putranya yang lain yaitu Danapati. Permohonan itu akhirnya terkabulkan
dan Dewi Sukesi kemudian melahirkan seorang putra yang berwajah cakap dan
diberi nama Vibhisana” (Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).
Maka lahirlah anak yang keempat,
seorang satria rupawan tanpa cacat, keningnya berkilat menyimpan cahaya
rahasia. Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi bergembira sekali hatinya. Anak ini diberi
nama Vibhisana. Rsi Wisrawa memberi anugerah, semoga anak ini berwatak Brahmana
sejati. Berani mempertahankan pendirian, dan bersedia mengorbankan apa saja
demi membela kebenaran. Berwatak Brahmana sejati, semoga ini sabda hidup.
Setelah dewasa, Vibhisana disuruh pergi bertapa sampai Dewata menurunkan
anugerah. Lahirnya tiga anak yang berwujud raksasa itu adalah hukuman para Dewa
akibat pernikahan yang terlarang dan membuka ilmu rahasia alam semesta,
sehingga membuat mereka lupa diri. Anak-anak mereka lahir dari nafsu, akibat
perkawinan yang tidak suci, bibit keturunan pun membawa kutukan dari isi ilmu
tersebut.
Dalam buku Ensiklopedi Wayang Purwa 1
(Compendium) disebutkan bahwa Vibhisana dalam tradisi pewayangan jawa bernama
Arya Vibhisana.
“Arya
Vibhisana adalah putra bungsu Rsi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, putri prabu
Sumali, raja Alengka. Arya Vibhisana adalah satu–satunya putra yang berwujud
manusia diantara ketiga saudara sekandungnya, yaitu Prabu Dasamuka/Ravana, Arya
Kumbhakarna dan Dewi Surpanakha yang kesemuanya berwujud raksasa/raksasi. Arya
Vibhisana adalah titisan Rsi Wisnu Anjali, oleh karena itu ia sangat bijaksana.
Mempunyai tempat bersemayam di kesatriyan Utarapura, yang terletak di sebelah
utara keraton Lańka bernama Kuntara. Rsi Wisnu Anjali
adalah kerabat Batara Wisnu yang berkewajiban membina kesejahteraan di dalam
lingkungan para pendeta. Pada jaman Lokapala menjelma dalam diri Rsi Dasarata,
pada jaman Ramayana manuksma dan bersatu dengan Arya Vibhisana, putra Dewi
Sukesi dengan Rsi Wisrawa dan saudara muda dari Prabu Ravana raja Lańka
dan jaman Bharata, sejiwa dan manuksma
di dalam diri Rsi/Begawan Kesawasidi yang merupakan kerabat Dewa Wisnu
(Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).
Keangkaramurkaan kini telah merasuk
pada anak yang pertama yaitu Ravana. Sehingga akan menjadi sumber kehancuran
wangsanya dan negara. Dalam buku cupu manik astagina disebutkan bahwa, dialog
antara Sang Hyang Wenang dan Naradda, saran dari Sang Hyang Wenang untuk
menghalagi atau menaklukan sifat keangkaramurkaan yang terkandung pada anak Rsi
Wisrawa dan Dewi Sukesi itu. Dikutip dari buku Cupi Manik Astagina, dijelakan
bahwa :
“Sang
Hyang Wenang menuturkan bahwa untuk menaklukan sifat kotor dari anak pertama
Wisrawa dan Sukesi itu, aku diharuskan berputra lagi dari seorang putri makhluk
marcapada. Nantinya anakku yang akan dilahirkan itulah yang akan melenyapkan
sifat keangkaramurkaan di dunia. Namun anak itu tidak serta merta melakukan
tugasnya sendiri, namun harus didampingi oleh Batara Wisnu yang akan menitiskan
dirinya kepada manusia. Mereka berdualah yang kelak akan dapat menaklukan
sumber kekacauan ini”. (Ardian Kresna, 2012:109).
Dari penjelas tersebut, bahwa nanti
yang akan menumpas keangkaramurkaan Ravana adalah adiknya yaitu sekutu
dari Vibhisana yang merupakan anak ilahi
dari Dewa Brahma dan Rama yang merupakan reinkarnasi dari Dewa Wisnu. Ketika dharma di injak–injak dan
adharma semakin merajalela, maka Tuhan akan turun kedunia menyelamatkan umat manusia
dari kehancuran. Dengan wujud tertentu dan kembali menegakan dharma yang sudah
menyimpang.
4.1.2.
Anugerah Dewa Brahma
Selama
tiga tahun Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menimang-nimang anaknya. Setelah itu,
disuruhlah anak-anaknya pergi bertapa sampai Dewata menurunkan karunia. Akibat
tapa hebat yang sedang dilakukan oleh anak–anak Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi
tersebut terdengarlah suara yang menggelegar dari Kawah Candradimuka di Gunung
Mahameru. Sehingga turunlah para Dewa ke marcapada. Dilihatlah anak–anak dari
Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi yaitu Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan
Vibhisana. Dewa Brahma lalu mendatangi mereka satu persatu. Tapa mereka pun
dibangunkan oleh Dewa Brahma (Kresna,
2012:110). Dalam buku Cupu Manik Astagina dijelaskan :
“Pertama Dewa Brahma membangunkan Vibhisana, wajah
anak ini sangat tampan dan tenang. “Anak muda, apa yang kamu inginkan dari
tapamu ini ? Vibhisana menjawab, yang aku inginkan hanyalah kenyamanan dan
keamanan dunia sehingga kehidupan manusia dan makhluk–makhluk hidup lain dimuka
bumi ini menjadi tenang dan damai dan Dewa Brahma tersenyum mendengar
permintaan Vibhisana.” Anak muda yang budiman, keinginan itu sangat luhur.
Namun cita–cita itu sangat sulit diwujudkan dikarenakan cara berpikir tiap
makhluk berbeda–beda. Sehingga hasrat dan keinginannya pun berbeda–beda. Akibatnya
akan sering menimbulkan pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.
Perbedaan itulah yang akan menimbulkan kekacauan. Meskipun begitu, cita–cita luhurmu
itu akan aku penuhi meskipun nantinya kau harus berjuang keras untuk
menghalangi segala sifat ketamakan dan kejahatan yang akan mengelilingi jalan hidupmu sendiri. Asalkan kau teguh
dengan keinginan itu, maka kelak kedamaian dunia akan dapat kau wujudkan
meskipun pengorbanannya begitu besar dan berat.
Apa kau sanggup menjalaninya ? Vibhisana menjawab, aku akan berjuang
sekuat tenaga untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran demi kenyamanan dan keamanan
kehidupan di dunia ini. Dewa Brahma sungguh
sangat senang mendengar hal tersebut. Sehingga Vibhisana diberi anugerah sikap
kelembutan dari tutur kata yang dapat mempengaruhi orang lain untuk berbuat
baik dan menghindari kejahatan yang akan dilakukan” (Kresna, 2012:113-114).
Karakter Vibhisana mirip dengan Prahlada yang
dilahirkan sebagai keturunan asura, namun menjadi pemuja Dewa Wisnu yang setia.
Vibhisana menghabiskan masa mudanya dengan bertapa dan memuja Dewa Wisnu.
Ketika Ravana dan Kumbhakarna bertapa memuja Brahma, Vibhisana juga berbuat
demikian. Saat Dewa Brahma memberi kesempatan kepada Vibhisana untuk memohon
anugerah, Vibhisana meminta agar ia selalu berada di jalan kebenaran atau
dharma. Sikapnya tidak seperti kakaknya yang meminta kekuatan untuk menaklukkan
para Dewa. Selanjutnya Dewa Brahma membangunkan tapa dari Surpanakha.
Dewa Brahma bertanya, apa yang kau inginkan dari tapamu itu ? Surpanakha
menjawab, aku ingin selalu mendapatkan kesenangan dengan daya kekuatanku.
Apapun yang aku inginkan dapat terkabulkan agar aku senang. Dewa Brahma
mengabulkan permintaan Surpanakha untuk mendapatkan kesenangan dunia, seperti
yang dia inginkan. Namun sifat wanita raksasa ini akan senantiasa bergelimang
dengan hasrat dan nafsu keinginan duniawi (Kresna, 2012:117).
Setelah Vibhisana dan Surpanakha mendapatkan
anugerah, Dewa Brahma lalu menemui Kumbhakarna. Badannya yang besar menjadikan
Kumbhakarna sosok yang menakutkan. Dewa Brahma
muncul karena berkenan dengan pemujaan yang mereka lakukan. Saat tiba giliran
Kumbahkarna untuk mengajukan permohonan, Dewi Saraswati
masuk ke dalam mulutnya untuk membengkokkan lidahnya, maka saat ia memohon "Indraasan" yang berarti tahta
Dewa Indra, namun yang ia ucapkan adalah "Neendrasan" yang berari tidur abadi. Brahma
mengabulkan permohonannya. Karena merasa sayang terhadap adiknya, Ravana
meminta Dewa Brahma agar membatalkan anugerah tersebut. Brahma tidak berkenan
untuk membatalkan anugrahnya, namun ia meringankan anugrah tersebut agar
Kumbhakarna tidur selama enam bulan dan bangun selama satu hari. Pada saat ia
menjalani masa tidur, ia tidak akan mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.
Brahma mengutuk Kumbhakarna bahwa
dia akan tidur seakan-akan dia mati. Namun Ravana memohon agar jangan mengutuk
Kumbhakarna dengan kutukan seperti itu. Hingga akhirnya Dewa Brahma meringankan
kutukan, bahwa Kumbhakarna akan tidur selama enam bulan dan akan bangun selama
satu hari. Satu hari bangun itu, dia akan makan binatang sebanyak mungkin dan
dia akan seperti hutan api jika dia lapar.
Dewa Brahma lalu menemui putra
sulung Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi yaitu Ravana. Dewa Brahma bertanya, apa yang
kau inginkan dari tapamu ini ? Ravana menjawab, aku ingin menjadi orang paling sakti
di dunia dan memiliki umur panjang. Kalau tidak dikabulkan oleh para Dewa, maka
aku akan terus bertapa di sini sampai permohonanku benar–benar dikabulkan.
Setelah cukup lama merenung, akhirnya Dewa Brahma pun menyutujui keinginan
raksasa muda itu. Saran dari Dewa Brahma, ilmu sakti yang diberikan itu
bukanlah digunakan sebagai alat kejahatan (Kresna, 2012:122). Setelah mendapatkan
anugerah, Dewa Brahma berpesan bahwa gunakanlah kesaktian sebagai penjaga diri
dari ancaman yang akan mencelakakanmu. Ravana pun melonjak–lonjak kegirangan
setelah cita–cita dikabulkan oleh Dewa. Dikutip dalam buku Hamba Sebut Paduka
Ramadewa, dijelaskan bahwa :
“Tiga
tahun lamanya Ravana bertapa, tetapi Dewa yang diharapkan akan memberikan
karunia tidak kunjung datang. Maka diadakanlah suatu persembahan yang istimewa.
Setiap tahun ia memenggal kepalanya sendiri dan diletakan di atas batu,
kemudian memekikan doa himbauan senyaring–nyaringnya. Ia rela mati oleh
tangannya sendiri dari pada hidup berkepanjangan tiada arti. Pada tahun kedua
belas ketika ia hendak memotong kepalanya yang terakhir, di saat itu Dewa
Kalaludra turun ke bumi karena kagumnya menyaksikan tekad yang penuh pengorbanan
itu. “katakan padaku, apa kehendakmu !” tegur Hyang Kalaludra. Dengan sujud
sembah, Ravana mengatakan keinginannya. Pertama, ia ingin menjadi raja besar
tiada bandingannya. Menguasai darat, laut dan udara. Kedua, ia ingin sakti
tiada lawan. Kuasa mengalahkan para Aditya dan Dewa. Karena bersungguh–sungguh,
permohonannya dikabulkan. Watak yang keras membaja itu akan membuat setiap
keinginannya akan terkabulkan. Ravana girang bukan kepalang. Tiba–tiba
kepalanya berjumlah sepuluh dan utuh kembali seperti semula. Kejadian itu
membuat ia menepuk dada seperti sikap menantang semua yang ada di sekelilingnya”
(Pratikto, 1983:59–60).
Setelah
masing–masing dari anak Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi mendapat anugerah lalu
mereka datang ke Lańka. Sungguh perjuangan yang luar biasa karena mereka semua
mendapatkan anugerah yang mereka inginkan. Setiap anugerah yang diberikan
memiliki kelebihan dan kekurangan masing–masing, tergantung bagaimana mereka
nantinya menggunakan anugerah tersebut.
4.2 Sinopsis Yudha Kanda
Ramayana
terdiri dari tujuh kanda yang dituliskan dalam bentuk sloka atau syair yang
banyaknya mencapai 24.000 sloka. Ketujuh kanda tersebut antara lain adalah Bala
Kanda, Ayodhya Kanda, Aranyaka Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yuddha
Kanda dan Uttara Kanda. Adapun cerita singkat dari ketujuh kanda tersebut
yaitu :
1.
Bala kanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Di
dalam Balakanda menceritakan Prabu Dasarata yang
memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu
Dasarata berputra empat orang, yaitu: Rama, Bharata, Lakshmana dan Satrughna. Balakanda juga menceritakan kisah Sang Rama
yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita, puteri Prabu Janaka.
2.
Ayodhya kanda berisi kisah dibuangnya Rama ke hutan bersama Dewi Sita dan Lakshmana karena
permohonan Dewi Kekayi. Setelah
itu, Prabu Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin
dinobatkan menjadi Raja, kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali
ke kerajaan. Akhirnya Bharata memerintah kerajaan atas nama Sang Rama.
3.
Aranyaka kanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di tengah
hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering membantu para
pertapa yang diganggu oleh para raksasa. Aranyaka
kanda juga menceritakan kisah Sita diculik Ravana dan pertarungan antara Jatayu dengan Ravana.
4.
Kiskindha kanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja kera Sugriwa. Sang Rama
membantu Sugriwa merebut kerajaannya dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran,
Subali terbunuh. Sugriwa menjadi Raja di Kiskindha. Kemudian
Sang Rama dan Sugriwa bersekutu untuk menggempur kerajaan Lańka.
5.
Sundara kanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang
membangun jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan Lańka. Hanuman yang
menjadi duta Sang Rama pergi ke Lańka dan menghadap Dewi Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat
meloloskan diri dan membakar ibukota Lańka.
6.
Yudha kanda menceritakan kisah pertempuran antara
laskar kera Sang Rama dengan
pasukan raksasa Sang Ravana. Cerita diawali dengan usaha
pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan mencapai Lańka.
Sementara itu Vibhisana diusir oleh
Ravana karena terlalu banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran, Ravana gugur
di tangan Rama oleh senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat ke Ayodhya bersama
Dewi Sita.
7.
Uttara kanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang Rama mendengar desas-desus dari rakyat
yang sangsi dengan kesucian Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan
Rsi Walmiki dan
melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan
Lawa datang ke istana Sang Rama pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka
menyanyikan Ramayana yang digubah oleh Rsi Walmiki.
Dalam penelitian ini, yang menjadi
data dan fokus penelitian adalah nilai filosofis pada karakter Vibhisana dalam Yudha
Kanda. Di dalam buku Yudha kanda karangan
Kamala Subramaniam, terdiri dari 50 sub bab yaitu persiapan
sebelum perang, longmarch menuju selatan, Ravana yang mulai khawatir, Ravana
kehilangan Vibhisana, Vibhisana dan Rama, persiapan sebelum perang, kemarahan
Rama, pembangunan jembatan, spekulasi–spekulasi, Ravana berusaha membuat Sita
sedih, di ruang sidang kembali, Rama dengan orang-orangnya, kecerobohan
Sugriva, misi Angada, panah Nagapasa, Sita melihat Rama di medan perang, kedua
pangeran kosala sembuh kembali, Ravana mengutus Prahasta ke medan perang,
Ravana di medan perang, Kumbhakarna dibangunkan, Kumbakarna di medan perang,
kematian Kumbhakarna, pangeran-pangeran muda Lańka ke medan perang, kehebatan
pangeran-pangeran Lańka,
Indrajit, tamanan obat, Sanjivini, Kumbha dan Nikumbha, Indrajit datang ke
medan perang lagi, Maya Sita (Sita palsu) terbunuh, Yaga Nikumbhila, Laksmana
menyerang Indrajit, terbunuhnya Indrajit, Rama terhibur kembali, kesedihan
Ravana, Mulabala Ravana, Ravana melakukan persiapan ke medan perang, mencari
sanjivini lagi, pertandingan final (penentuan), terbunuhnya Ravana, ketika
Ravana mati, ratapan Mandodari, upacara pemakaman, Rama mengutus Hanuman pada
Sita, Rama dan Sita, pembuktian kesucian Sita dengan ritual api, para Dewa
turun ke Bumi, perjalanan pulang ke Ayodhya, Hanuman di Nandigrama, kembalinya
Rama ke tanah kelahirannya dan penobatan Rama menjadi raja Phalasruti.
Yudha
Kanda
mengisahkan penyerangan dan pertempuran Rama melawan Ravana. Terdapat berbagai
jenis karakter dalam kisah Ramayana ini. Sehingga setiap sosok memiliki
karakter tersendiri. Salah satu tokoh yang terdapat dalam Yudha kanda ini
adalah Vibhisana. Tidak banyak
yang tahu siapa sebenarnya tokoh Vibhisana ini, karena
dalam kisah Ramayana, Vibhisana muncul disaat akan terjadi penyerangan dan
pertempuran Rama melawan Ravana dan para wangsa raksasa yang jahat. Sehingga
tidak banyak diketahuai kehidupan Vibhisana pada masa kecil hingga tumbuh
menjadi sosok dewasa. Sosok ini
sungguh mulia, namun mengapa bisa disebut mulia, padahal pada dasarnya beliau berada dalam lingkungan para raksasa?
sungguh menarik sosok Vibhisana ini, walaupun terlahir dari ibu yang sama,
tidak akan menjadi sebuah jaminan seorang anak–anak itu memiliki karakter yang
sama. Terkadang lingkungan mempengaruhi karakter manusia.
Tetapi pernyataan tersebut akan menjadi berbeda jika mengenal sosok Vibhisana.
4.3 Kajian Nilai Filosofis Karakter Vibhisana
4.3.1 Karma memengaruhi Karakter Vibhisana
Kata karma berasal dari
bahasa Sansekerta dari urat kata “kr”
artinya melakukan yang menyatakan sebuah tindakan yang membawa hasil dalam
kehidupan sekarang atau dikehidupan yang akan datang (Pandit, 2006:71). Dalam
slokantara dijelaskan bahwa :
Karmaphala
ngaran ika
Phalaning gawe
hala hayu
Terjemahan :
Karmaphala artinya akibat (pahala) dari
buruk (suatu) perbuatan (karma). Subhaasubha karma (subhasubha prawrtti)
(Rai Putra, Jelantik dan Argawa,
2013:116)
Baik buruknya perbuatan akan membawa akibatnya, baik saat ini
atau akhirat nanti. Karmaphala mengajarkan untuk percaya bahwa perbuatan baik
akan berphala baik dan perbuatan buruk, buruk pula pahalanya. Karakter tidak
saja dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi karakter juga dipengaruhi oleh karma.
Karma ini adalah sifat masa lalu yang berpengaruh terhadap kehidupan sekarang.
Jika dahulu karmanya baik dan suka menolong, tetapi mengalami punarbhawa maka
pada kehidupan yang sekarang akan menjadi orang baik, suka menolong dan dharma
selalu menjadi tuntunan dalam hidup.
Vibhisana adalah reinkarnasi dari seorang Rsi agung dan mulia,
sehingga Vibhisana bagaikan permata dalam lingkungan negeri Lańka. Dalam buku
Ensiklopedi Wayang Purwa 1 (Compendium), seperti uraian teks, dijelaskan bahwa
:
Arya
Vibhisana adalah titisan Rsi Wisnu Anjali, oleh karena itu ia sangat bijaksana.
Rsi Wisnu Anjali adalah kerabat Batara Wisnu yang berkewajiban membina
kesejahteraan di dalam lingkungan para pendeta. Pada jaman Lokapala menjelma
dalam diri Rsi Dasarata, pada jaman Ramayana manuksma dan bersatu dengan Arya
Vibhisana, putra Dewi Sukesi dengan Rsi Wisrawa dan saudara muda dari Prabu
Ravana raja Lańka dan Jaman Bharata, sejiwa dan
manuksma di dalam diri Rsi/Begawan Kesawasidi yang merupakan kerabat Dewa Wisnu
(Suwandono, Dhanisworo dan Mujiyono, tt:481).
Dari uraian teks tersebut, dapat
mempertegas bahwa karakter Vibhisana itu dipengaruhi oleh karma kehidupan
terdahulu. Pada kehidupan terdahulu, Vibhisana adalah seorang pendeta agung
yang bertugas membina kesejahteraan di lingkungan para pendeta. Ketika
Vibhisana lahir pada jaman Treta Yuga, Vibhisana berusaha untuk menjalankan
tugasnya sebagai seorang ksatria yang berkarakter pendeta. Vibhisana memang
sudah berbeda dari sejak lahir hingga dia tumbuh dewasa. Walau tempat Vibhisana
tinggal adalah lingkungan para raksasa, namun karena keteguhan dan sifat-sifat
khasnya yang sudah dibawa sejak lahir, menyebabkan Vibhisana tidak terpengaruh
oleh lingkungannya. Karma seseorang terdahulu akan dapat mempengaruhi
karakternya pada kehidupan sekarang atau pada masa yang akan datang. Sehingga
akan selalu terikat oleh karma-karma terdahulu, sekarang dan akan datang.
Adapun jenis-jenis karmaphala yaitu :
1.
Sancita Karmaphala adalah pahala
perbuatan pada kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih
merupakan benih yang bisa menentukan perjalanan hidup sekarang.
2.
Prarabda Karmaphala adalah perbuatan
pada kehidupan sekarang dan pahala akan diterima pada kehidupan sekarang pula.
3.
Kriyamana Karmaphala adalah perbuatan
yang tidak langsung dinikmati pada masa sekarang, tetapi pahalanya dari
perbuatan tersebut akan diterima pada masa yang akan datang.
Dari karma-karma terdahulu
menyebabkan seseorang lahir dengan karakter-karakter yang berbeda-beda. Ada
yang lahir dengan sifat Daiva dan ada yang lahir dengan sifat Asura. Karakter
Ravana dan Kumbhakarna juga dipengaruhi oleh karma terdahulu. Dalam Srimad
Bhagavatam diceritakan, ketika Catursana yaitu Sanaka, Sananda, Sanatana dan
Sanatkumara pergi ke Waikunta yang dipercaya sebagai tempat Narayana dengan
keinginan untuk memuja beliau. Mereka melalui enam gerbang dalam keadaan
tergesa-gesa, namun para Rsi dicegah oleh Jaya dan Wijaya yang merupakan
penjaga pintu Waikunta. Akibatnya para Rsi menjadi marah dan mereka mengutuk
Jaya dan Wijaya. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Kami
dapat melihat bahwa posisimu di sisi Tuhan telah menjadikan kalian berdua
sombong. Kami mengutuk kalian untuk meninggalkan Narayana. Kalian akan lahir
sebagai manusia yang dikuasai oleh kama, kroda, mada dan semua kejahatan lain
(Subramaniam, 2006:65).
Kesombongan akan membawa kehancuran
dan kutukan, kutukan tersebut harus dijalani sebagai sebuah hukuman akibat
perbuatan yang melanggar aturan. Mereka berdua diberi dua pilihan oleh Dewa Wisnu jika hidup di dunia, yaitu sebagai
pemuja Wisnu selama tujuh kehidupan atau sebagai musuh Dewa Wisnu selama tiga
kehidupan. Karena Jaya dan Wijaya ingin singkat menjalani hidup di dunia, maka
mereka lebih memilih untuk menjalani hidup sebagai musuh Dewa Wisnu. Selama
Jaya dan Wijaya bereinkarnasi ke dunia dan menjalani karmanya, mereka selalu
dibunuh oleh awatara Dewa Wisnu. Pada masa Satya Yuga, Jaya dan Wijaya lahir
sebagai Hiranyaksa dan Hiranyakasipu, putra Diti dan Kasyapa. Hiranyaksa
dibunuh oleh Waraha awatara, sedangkan Hiranyakasipu dibunuh oleh Narasinga
awatara. Pada masa Treta Yuga, Jaya dan Wijaya lahir kembali sebagai Ravana dan
Kumbhakarna, putera Wisrawa dan mereka dibunuh oleh Rama awatara. Pada masa
Dwapara Yuga, mereka lahir sebagai Sisupala dan Kamsa dan keduanya dibunuh oleh
Kresna. Setelah mereka menjalani hukuman karma, Jaya dan Wijaya kembali ke
Waikunta.
Dari kisah Jaya dan Wijaya
tersebut, maka dapat mempertegas bahwa karma terdahulu sangat berpengaruh
terhadap karakter kehidupan kini dan
kehidupan masa yang akan datang. Kelahiran dari yang berwujud raksasa Hiranyakasipu menjadi
Ravana lalu menjadi Sisupala, ini adalah sebuah proses, Hiranyakasipu adalah
raksasa, Ravana juga berwujud raksasa, tetapi sudah lebih baik karena
mempelajari Veda sedangkan Sisupa adalah manusia sempurna hanya saja mereka
semua harus mati ditangan Dewa Wisnu. Tidak
ada yang terbebas dari ikatan karma, sehingga berbuatlah yang baik, jalani
kehidupan dengan penuh rasa kasih dan mengamalkan ajaran agama yang merupakan
sumber dari segala kebenaran. Sehingga nantinya terhindar dari karmaphala buruk
dan menyiksa. Dari karma yang mempengaruhi karakter Vibhisana ini, dapat
diambil hikmahnya, bahwa ketika istri hamil, suami harus berdoa untuk
keselamatan istri dan jabang bayi agar anaknya benar-benar merupakan anugerah
dari Sang Hyang Widhi bukan anak yang lahir dari sekedar nafsu. Jangan sampai
yang lahir adalah keturunan yang bermasalah yang mengakibatkan penderitaan bagi
keluarga.
4.3.2 Vibhisana
Lahir dari Yadnya
Yadnya
berasal dari Bahasa Sansekerta dari akar kata “Yaj” yang artinya memuja. Secara
etimologi pengertian yadnya adalah korban suci secara tulus ikhlas dalam rangka
memuja Hyang Widhi. Pada masa penciptaan alam Sang Hyang Widhi dalam kondisi
Nirguna Brahman (Tuhan dalam wujud tanpa sifat) melakukan tapa menjadikan diri
beliau Saguna Brahma (Tuhan dalam wujud sifat Purusha dan Pradhana). Dari
proses ini, bahwa penciptaan awal dilakukan dengan yadnya yaitu pengorbanan
diri Sang Hyang Widhi dari Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman. Selanjutnya
semua alam diciptakan secara evolusi melalui Yadnya. Dalam Bhagawadgita Bab
III, sloka 10 disebutkan :
saha-yajnāh prajāh srstvā
purovāca prajāpatih
anena
prasavisyadhvam
esa vo ‘stv ista-kāma-dhuk
Terjemahan :
Sesungguhnya
sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yadnya,
berkata dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang
memenuhi keinginanmu (sendiri) Pudja, 2004:84.
Dari satu sloka tersebut, jelas bahwa manusia saja diciptakan melalui
yadnya, maka untuk kepentingan hidup dan berkembang serta memenuhi segala
keinginannya semestinya dengan yadnya. Manusia harus berkorban untuk mencapai
tujuan dan keinginannya. Yadnya memiliki tiga manfaat, yaitu :
1.
Menjamin
ketenteraman bagi manusia melalui anugerah Dewa selama hidup di dunia;
2.
Untuk
hidup bahagia setelah kematian di alam para Dewa;
3.
Yadnya
sebagai kewajiban bagi ketenteraman dunia dan tanpa memikirkan keuntungan diri
sendiri.
(Saraswati,
2009:40)
Setiap pasangan suami istri pasti menginginkan untuk mempunyai keturunan
yang sempurna. Oleh karena itu, seyogyanya melaksanakan yadnya sebagai bentuk
sujud dan bakti kehadapan Sang Hyang Widhi. Karena seorang anak adalah hadiah
terbesar yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi, sehingga pelaksanaan yadnya
sebagai bentuk rasa terimakasih kepada-Nya. Kelahiran Vibhisana karena yadnya
dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Untuk mendapatkan keturunan yang berwujud
manusia sejati, diperlukan sebuah korban suci secara tulus ikhlas. Karena
Kesempurnaan dan kebahagiaan tidak mungkin akan tercapai tanpa ada pengorbanan.
Diibaratkan bahwa diri manusia itu tidak ubahnya seperti lembu perah yang akan
diperah terus menerus untuk memenuhi keinginan yang timbul pada diri manusia
itu sendiri.
Sebagaimana Tuhan menciptakan manusia melalui yadnya, demikian pula
manusia harus beryadnya untuk memperoleh segala keinginan, termasuk untuk
memperoleh keturunan. Contoh sederhana bila memiliki secarik kain dan berniat
untuk menjadikannya sepotong baju, maka kain yang utuh tersebut harus direlakan
untuk dipotong sesuai dengan pola yang selanjutnya potongan-potongan tersebut
dijahit kembali sehingga berwujud baju. Sedangkan potongan yang tidak
diperlukan tentu harus dibuang. Jika bersikukuh tidak rela kainnya dipotong dan
dibuang sebagian, maka sangat mustahil akan memperoleh sepotong baju.
Dari gambaran sederhana tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup maka harus rela berkorban. Tentu saja pengorbanan ini harus dilandasi rasa cinta, tulus dan ikhlas. Tanpa dasar tersebut maka suatu pengorbanan bukanlah yadnya.
Dari gambaran sederhana tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup maka harus rela berkorban. Tentu saja pengorbanan ini harus dilandasi rasa cinta, tulus dan ikhlas. Tanpa dasar tersebut maka suatu pengorbanan bukanlah yadnya.
4.3.3 Vibhisana Sebagai Simbol Sattwam
Dalam
membaca mahakarya Ramayana, bukan saja tokoh Sri Rama saja yang menarik, tetapi
juga tokoh-tokoh Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana. Mereka adalah
tokoh bersaudara tetapi yang sangat menarik dan menjadi perhatian, karena
mereka memiliki dasar-dasar pemikiran yang berbeda dan karakter yang berbeda. Menurut
pemikiran timur, sifat manusia dapat dibagi ke dalam tiga kualitas. Setiap
orang memiliki ketiganya dalam derajat yang berbeda. Namun setiap individu
didominasi oleh satu dari ketiganya yang mempengaruhi dan mengarahkan tingkah
lakunya (Madrasuta, 2013:25).
Sifat
sattwam yakni sifat tenang, suci, bijaksana, cerdas, terang, tenteram, waspada,
disiplin, ringan dan sifat-sifat baik lainnya. Orang yang dikuasai oleh sifat
sattwam biasanya berwatak tenang, waspada, dan berhati yang damai serta welas
asih. Kalau mengambil keputusan akan ditimbang terlebih dahulu secara matang,
kemudian barulah dilaksanakannya.Segala pikiran, perkataan, dan perilakunya
mencerminkan kebijaksanaan dan kebajikan, seperti tindakan sang Yudistira dan sang
Krishna dalam cerita Mahabharata, dan tindakan sang Rama dan Vibhisana dalam
cerita Ramayana. Keadaan sattwam adalah kesenangan diperintah oleh tindakan
yang dituntut oleh pengetahuan dan kebijaksanaan. Seseorang bertindak dengan
tujuan pasti adalah dia mengerti bahwa hadiah terdalam dari tindakan adalah
kebahagiaan karena tindakan itu sendiri (Madrasuta, 2013:257).
a.
Sattwam dalam filsafat Samkhya
Pokok ajaran filsafat Samkhya ialah
ajaran tentang Purusa dan Prakerti yaitu
asas rohani dan bendani. Dari keduanya ini terciptalah alam semesta dengan
isinya (Sumawa dan Krisnu, 1995:139). Di dalam filsafat Samkhya, dalam Prakerti
ada tiga guna. Prakerti dibangun oleh tri guna yaitu sattwam, rajas dan tamas.
Purusa adalah tidak terikat, ia merupakan kesadaran, meresapi segalanya dan
abadi. Karakter suatu mahluk ditentukan oleh tri guna. Sattwam adalah keseimbangan,
bila sattwam yang berkuasa maka akan terjadi kedamaian dan ketenangan. Rajas adalah aktivitas yang menyebabkan suka
da tidak suka, menarik dan benci. Tamas adalah yang membelenggung hingga muncul
kelesuan dan kemalasan. Salah satu guna ini biasanya lebih berpengaruh pada
orang yang berbeda-beda, sehingga muncul karakter yang berbeda-beda pula.
Seseorang yang dikuasai sifat
sattwam akan berkarakter bijaksana, cenderung menjalani kehidupan yang murni,
suci, mulia dan memiliki sifat kedewataan. Sifat sattwam ini banyak dimiliki
oleh orang-orang yang bijak atau orang suci. Dalam filsafat samkhya ada dua
perubahan bentuk tri guna yaitu wirupa parinama dan swarupa parinama.
1.
Wirupa Parinama
Wirupa
parinama adalah disaat guna yang satu menguasai guna yang lain dan bekerja
sama, maka terjadilah penciptaan (Sumawa dan Krisnu, 1995:141). Ketika wirupa
parinama yang mempengaruhi dan Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana,
mereka masih bertukar pikiran, maka Lańka menjadi sangat kuat, tidak bisa dikalahkan.
Ketiganya saling memengaruhi dan mereka bersinergi, maka mereka akan menjadi sakti. Jika Ravana
mau mendengarkan Vibhisana maka mereka tidak akan pernah terkalahkan dan apapun yang diinginkan pasti akan tercapai.
Andai saja Vibhisana tidak usir oleh Ravana, Rama dan pasukan wanara akan
kesulitan mengalahkan pasukan Ravana.
Ketika
sattwan memihak kepada sattwam dan tidak lagi bergabung dengan rajas, maka
pihak kebenaran ada di sattwam. Karena yang menjadi pengendali dari rajas
adalah sattwam. Ibarat mobil dengan perangkatnya yaitu setir, gas dan rem.
Setir melambangkan sattwam, gas melambangkan rajas dan rem melambangkan tamas.
Tanpa adanya setir sebagai pengendali pengemudi, gas akan kehilangan arah dan
tidak terkontrol. Demikian pula dengan Vibhisana yang bertugas sebagai
penasehat raja, namun diusir dan dipermalukan oleh raja Ravana. Akibat
diusirnya Vibhisana, dia memihak kepada Rama dan menjadi penasehat. Vibhisana
memberi nasehat ketika Rama dililit oleh nagapasa milik indrajit.
Dengan
bergabungnya Vibhisana, menyebabkan Rama mengetahui kelemahan para raksasa. Ketika
indrajit melepaskan nagapasa, tidak akan yang bisa menolong kecuali Vibhisana
yang memberi tahu obat lataosadi. Andai kata Vibhisana tidak bisa diusir, maka
indrajit tidak bisa dikalahkan. Vibhisana memberi informasi Hanoman untuk
melihat dan mengganggu ritual indrajit ketika memohon kesaktian kepada Dewi
Kali. Ini bukti yang mempertegas bahwa, ketika sattwan, rajas dan tamas tidak
bersatu pasti kehancuran yang akan terjadi. Membenarkan perbuatan yang
dilakukan oleh Vibhisana dan ini semua adalah rekayasa Sang Hyang Widhi. Hanoman melihat yaga nikumbhila
Indrajit, menyebabkan ritual kepada Dewi
Kali tidak berhasil. Hal ini sama dengan teori pengleakan di Bali. Ketika ada
orang yang mau ngeleak tetapi dilihat oleh manusia menyebabkan kekacauan dan
proses pengleakannya tidak sempurna. Dengan demikian, sattwam, rajas dan tamas
harus bersinergi, jika tidak bersatu maka akan menyebabkan kehancuran, seperti
yang dialami oleh Ravana dan para raksasa.
2.
Swarupa Parinama
Swarupa
parinama adalah pada waktu pralaya, masing-masing guna berdiri sendiri (Sumawa
dan Krisnu, 1995:141). Ketika sattwam, rajas dan tamas, masing-masing berdiri
sendiri maka akan terjadi kehancuran dan disebut dengan swarupa parimana.
Seperti halnya, Ravana yang melambangkan rajas, Kumbhakarna melambangkan tamas
dan Vibhisana yang melambangkan sattwam, karena terjadi perbedaan pendapat dan
perselisihan menyebabkan kehancuran. Vibhisana diusir dari negerinya sendiri. Vibhisana
berbeda karakter dengan saudara-saudaranya, karena memang proses lahir
Vibhisana berbeda dengan saudara-saudaranya. Ravana lahir dari nafsu, Vibhisana
lahir dari tapa dan permohonan. Memohon agar mempunyai anak yang daivi sampat,
artinya anak yang bersifat dewata dan mulia. Dari nafsu lahirlah Ravana,
kemudian berkurang nafsunya, lahirlah Kumbhakarna, kemudian memohon lagi dan
meningkat kualitasnya. Ibarat menyaring air, dari keruh makin jernih dan
jernih. Baru yang terjernih adalah Vibhisana. Dengan tapa dan permohonan dari
Wisrawa, Dewa Brahma mendengarkan dan akhirnya diberikan anak yang benar-benar
berparas tampan dan berkarakter sattwam.
Ketika svarupa parinama, kecenderungan
masing-masing guna berputar dan bergerak pada diri sendiri. Di mana Ravana pada
egonya, Kumbhakarna tidur dan bermalas-malasan, nasehat Vibhisana tidak
didengar oleh Ravana dan mereka semua berdiri sendiri, menyebabkan semuanya
hancur. Demikian juga tri guna dalam diri manusia. jika sattwam, rajas dan
tamas berdiri sendiri atau tidak saling
mempengaruhi maka akan terjadi kiamat atau kematian. Rajas tidak ada, maka
angin tidak akan bergerak menyebabkan manusia akan mati. Tamas tidak ada maka
tidak akan ada yang tidur dan dunia selalu sibuk dan sattwam tidak ada, maka
tidak akan ada kebaikan di dunia ini.
Ravana tidak mendengarkan nasehat Vibhisana dan Kumbakharna tidur maka terjadi
kehancuran. Sattwan sudah tidak ada, andai saja Vibhisana masih ada di Lańka,
maka akan sangat sulit untuk mengalahkan para raksasa. Vibhisana
adalah simbol sattwam, sattwan sudah berusaha masuk ke rajas, supaya sattwam
dan rajas ini bisa bersatu. Tetapi rajas tidak menerima dan akhirnya terjadi
svarupa parinama.
b. Sattwam
dalam Wrhaspati-Tattwa
Wrhaspati-Tattwa
adalah salah satu lontar yang bercorak siwaistik yang ajarannya bersumber dari
Veda. Dalam Wrhaspati-Tattwa dijelaskan, kekuatan Tuhanlah yang menggerakan mayatattva dan timbulah pradhanatattva, yang merupakan
perwujudan maya yang hampa yaitu alam tidak sadar. Tuhan menggabungkan atmatattva dan pradhanatattva. Atman lenyap dan menjadi tidak sadar. Ia menjadi acetana karena ia tidak merasa dimasuki
oleh pradhanatattva. Itulah yang
menyebabkan ketidaksadaran atman, sedangkan pradhanatattva
digerakan oleh kekuatan Tuhan (kriyasakti) dan melahirkan tri guna, yaitu
sattwam, rajas dan tamas (Putra dan Sadia, 1998:16).
Tri guna mewarnai pikiran manusia,
sehingga akan berpengaruh terhadap perkataan dan perbuatan. Dalam
Wrhaspati-Tattwa sloka 15 dan 16 dijelaskan :
Ikang
citta mahangan māwa, yeka
sattwa ngaranya, ikang madêrês molah, yeka rajah ngaranya, ikang abwat pêtêng, yeka
tamah ngaranya
Terjemahan :
Sattwam bersifat terang dan bersinar, rajas berubah-ubah,
tamas berat dan kabur. Ketiga sifat itulah yang mempengaruhi pikiran. Pikiran
yang terang dan jernih disebut sattwam. Pikiran yang selalu berubah-ubah
disebut rajas dan pikiran yang berat dan
keruh disebut tamas (Putra dan Sadia,
1998:15).
Ikang ambêk duga-duga drêdha, maso
ta ya wruh ta ya ri palenan ing wastu lawan maryada, wruh ta yeng Iswaratattwa,
widagdha ya, mamanis ta ya denyan pamêtwakên wuwusnya, mahalêp pindakarāny awaknya, yeka laksana ning citta sattwika
Terjemahan :
Kejujuran, kebebasan, kelembutan, kekuatan, keagungan,
ketangkasan, kehalusan dan keindahan adalah sifat-sifat pikiran sattvika.
Pikiran jujur dan teguh dapat membedakan antara benda dan batas-batasnya,
memiliki pengetahuan tentang Iswara-tattwa, pandai menunjukan kelembutan dalam
berbicara, memiliki bentuk badan yang indah, merupakan sifat pikiran sattwika.
(Putra dan Sadia, 1998:16).
Vibhisana
mewakili diri yang sudah sadar, bahwa kakak-kakaknya Ravana, Kumbhakarna dan
Surpanakha adalah saudara dalam kehidupan kini. Vibhisana mengasihi kakak-kakaknya,
akan tetapi dia lebih memilih dharma, kebenaran yang nyata dan abadi. Wujud
kakak-kakaknya hanya sementara di dunia, yang belum tentu dikenalnya
dikehidupan sebelumnya maupun yang kehidupan yang akan datang.
Dalam ajaran tri guna, Vibhisana
melambangkan Sattwam, berbeda dengan kakak-kakaknya yang mewakili rajas, tamas
dan kama. Ravana
mewakili ego yang hanya memikirkan diri pribadi, termasuk menculik Sita dengan
menggunakan segala cara dan mempertahankannya dengan kekuasaan. Bahkan
mengorbankan rakyat dan negara demi kesenangan pribadi, dalam ajaran tri guna,
Ravana melambangkan Rajas. Ketika Ravana dipengaruhi oleh kama dan mada, itu
adalah awal dari kehancurannya dan itulah sebab kebinasaannya. Surpanakha
adalah lambang dari kama (nafsu). Surpanakha adalah penyebab diculiknya Sita,
karena informasi keberadaan Sita berasal dari Surpanakha, seperti dalam uraian
teks dijelaskan :
“Rama
memiliki istri bernama Sita, “ia amat cantik” ucap Surpanakha. Aku pikir
kesempurnaan wanita ini akan menjadi ideal jika menjadi milikmu. Dadamu yang
perkasa adalah tempat bersandar untuk tangannya yang lembut. Ketika aku
berusaha menangkapnya untuk membawanya
padamu sebagai hadiah, pada saat itulah Laksmana melakukan penghinaan dengan
melukai dan membuatku cacat seumur hidup” (Subramaniam, 2003:59).
Jika berpikir lebih dalam, siapa sebenarnya musuh-musuh yang
paling kuat dalam hidup ini ? ternyata musuh itu adalah pikiran yang tercemar.
Ketika nafsu berjalan bersama dengan rajas menyebabkan sifat-sifat yang penuh
semangat membara ini tidak terkontrol, karena nafsu yang berlebihan menjadi
pemimpin semua sifat buruk manusia. Dalam buku “Hidup itu seperti petir”
Suyadnya (2007:9-10) Krsna bersabda bahwa betapapun tingginya pendidikanmu,
apapun pangkatmu, apapun jabatanmu, kalau engkau tidak bisa mengendalikan
nafsu, engkau tidak akan memperoleh ketenangan batin. Ketenangan batin hanya
dapat diperoleh dengan mengendalikan nafsu.
Kumbhakarna mewakili ego yang sudah meluas memikirkan negara
yang menghidupinya, sehingga walaupun tahu kepala negara sekaligus kakak
kandungnya bersalah, dia berperang membela negaranya yang sedang diserang.
Terlepas dari anugerah yang diperoleh oleh Kumbakarna, dalam kesehariannya
Kumbakarna selalu tidur, bermalas–malasan dan tidak memikirkan apapun yang ada
disekitarnya. Sehingga dalan ajaran tri guna, Kumbhakarna melambangkan tamas.
c.
Sattwam dalam Dwaita Wedanta
Dalam
Dwaita Wedanta dijelaskan bahwa jiwa dapat dipengaruhi oleh tri guna yaitu :
1. Jiwa sattwika yaitu yang dikuasai
oleh sifat sattwam dan jiwa semacam ini akan dapat menuju ke alam sorga.
2. Jiwa rajasa ialah jiwa yang dikuasai
oleh sifat rajas dan jiwa yang semacam ini akan tetap dalam keadaan samsara.
3. Jiwa tamasa ialah jiwa yang dikuasai
oleh sifat tamas dan jiwa ini akan jatuh ke alam neraka.
Pengaruh tiga
guna inilah yang menentukan jiwa-jiwa itu untuk mencapai sorga, kelahiran
kembali ke dunia dan masuk neraka yang menyebabkan seseorang mengalami
kebahagiaan dan penderitaan. Menurut Dwaita, tiga guna itu merupakan produk
pertama dari prakerti yang menjadi asas kebendaan, maka dari itu pengaruhnya sangat kuat terhadap jiwa.
Dalam modul 1-12, Sumawa dan Krisnu (1995:264) dijelaskan bahwa :
1. Sattwam adalah unsur dari prakerti
yang alamnya bersifat tenang, riang, terang dan bercahaya. Wujudnya berupa
kesadaran, sifatnya ringan yang menimbulkan gerak keatas, seperti adanya angin
dan air di udara dan semua bentuk kesenangang, kepuasan dan kebahagiaan.
2. Rajas adalah unsur gerak pada
benda-benda ini, ia selalu bergerak, yang menyebabkan benda dan makhluk
bergerak. Rajas menyebabkan api berkobar, angin berhembus dan pikiran
berkeliaran kesana-kemari.
3. Tamas menyebabkan sesuatu menjadi
pasif dan bersifat negatif. Ia bersifat keras, menentang aktivitas, menahan
gerak pikiran sehingga menimbulkan kegelapan, kebodohan dan mengantarkan
manusia pada kebingungan.
Pengalaman di
dunia, setiap objek tampaknya memiliki tiga karakter. Masing–masing dari
karakter ini mewakili satu aspek berbeda dari realitas fisik. Sattwam menandakan
segala sesuatu yang murni halus dan berguna untuk menghasilkan kebahagiaan.
Rajas selalu aktif, ia juga bertanggung jawab untuk keinginan dan ambisi. Tamas
yang berarti pendiam dan memberikan perlawanan. Ia cenderung untuk tidur dan
tidak aktif (Madrasuta, 2014:73). Ketiga guna ini selalu hadir bersama dan
tidak pernah dapat dipisahkan. Ketiga ini ada didalam satu keadaan seimbang
secara sempurna dan sangat mempengaruhi karakter hidup manusia.
Adanya tri guna pada manusia
menyebabkan adanya orang–orang yang sabar dan tenang serta tabah menghadapi
sesuatu yang menimpa dirinya. Adanya
orang–orang yang resah, gelisah, bingung dan selalu penuh dengan kesibukan
dalam hidup ini. Selain itu ada lagi orang–orang yang malas, manja, tidak mau
bekerja, apatis dan masa bodoh serta acuh tak acuh yang tidak menghiraukan apa
yang terjadi disekelilingnya.
Karakter Ravana, Kumbhakarna,
Surpanakha dan Vibhisana selalu ada dalam diri manusia. Ketika Ravana yang
bersifat rajas menguasai diri ini maka akan mengakibatkan kehancuran dan
penderitaan yang mendalam. Apapun yang sifatnya berlebihan itu tidaklah baik.
Hindari memuaskan diri sendiri tanpa berlandaskan ajaran dharma. Sradha kepada
Tuhan dan sifat tidak mengejar keduniawian merupakan kunci untuk mencapai
kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian. Bhagawan Sri Satya Sai Baba
bersabda bahwa ketidakterikatan terhadap keduniawian memberi kebahagiaan dan
keterikatan membawa sengsara. Dalam kutipan dijelaskan :
“Beradalah
di dunia namun tidak terikat. Saudara, rekan, teman, dan mitra Rama, semuanya
adalah teladan pribadi yang dijiwai oleh dharma.
Tiga pemimpin raksasa melambangkan pribadi yang bersifat rajas (Ravana), sifat tamas
(Kumbhakarna), dan sifat sattva
(Vibhisana). Sita merupakan Brahmajnana
atau kesadaran Tuhan yang universal dan mutlak yang harus dicapai setiap
individu melalui pahit getirnya kehidupan dunia. Sucikan dan kuatkan hatimu
dengan merenungkan kemuliaan Ramayana
dan yakinilah Rama adalah jati dirimu” (Bhagawan Sri Satya Sai Baba, terj.,N
Kasturi, 2011:xi-xii).
Ibarat makan, jika makan itu
berlebihan makan perut akan menjadi sakit. Karena perut sakit menyebabkan diri
ini menderita. Akan tetapi ketika
manusia sudah bisa mengendalikan diri, apapun yang dimakan pasti dengan porsi
yang cukup, seperti ada pepatah yang mengatakan “berhentilah makan sebelum anda
kenyangan”. Kalimat ini menyarankan untuk hidup secara seimbang dan tidak
berpoya–poya. Semua sifat itu ada pada karakter Vibhisana yang selalu
menjalankan kaidah kehidupan dengan seimbang. Itu semua dia buktikan dengan
selalu mengatur pola makannya, menghormati para leluhurnya, dan rajin berdoa
untuk keselamatan dunia.
Di dalam Vayu Purana disebutkan
bahwa Brahma membagi ke dalam 3 fungsi utama, yaitu sebagai pencipta,
pemelihara dan pelebur, yang disebut dengan Tri Murti. Tri Murti jika dikaitkan
dengan Tri Guna maka akan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai
dengan fungsinya. Dewa Wisnu dengan sifatnya sattwam yang bertugas untuk
memelihara dan menjaga dunia dari sifat-sifat adharma, Dewa Brahma adalah
Dewata dengan sifatnya rajas yang bertugas sebagai pencipta dan Dewa Siva
adalah Dewata dengan sifatnya tamas yang bertugas sebagai pralina atau pelebur.
Jika dikaitkan dengan karakter Vibhisana yang berpegang teguh pada dharma, maka
Vibhisana karakternya dipengaruhi oleh sifat-sifat sattwam.
4.3.4
Vibhisana
Berpegang Teguh pada Prinsip Kebenaran
Vibhisana
adalah simbol dharma yang merupakan kebenaran tertinggi dan universal.
Dimanapun kebenaran itu akan tetap benar. Walau ditaruh ditempat yang kotor,
tetap saja akan berpegang teguh pada kebenaran. Dalam kehidupan Vibhisana, dia
selalu berpegang teguh pada prinsip hidupnya. Prinsip tersebut tidak lepas dari
karakter Vibhisana yang baik, sopan, tenang karena sifat Vibhisana dipengaruhi
oleh sattwam dan menyebabkan perilaku Vibhisana yang sesuai dengan ajaran moral
dan sesuai dengan aturan. Vibhisana yang sejak lahir memang berwujud manusia
dan tidak terpengaruh oleh lingkungan tempat dia tinggal. Ketika Vibhisana
lahir, Rsi Wisrawa bersabda bahwa Vibhisana akan menjadi anak berwatak Brahmana sejati. Berani mempertahankan
pendirian dan bersedia mengorbankan apa saja demi membela kebenaran (Pratikto,
1983:58). Saat dewasa Vibhisana bertapa memohon anugerah, permohonan Vibhisana
sungguh mulia. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
“Anak muda, apa yang kamu inginkan dari tapamu ini ?
Vibhisana menjawab, yang aku inginkan hanyalah kenyamanan dan keamanan dunia
sehingga kehidupan manusia dan makhluk–makhluk hidup lain dimuka bumi ini
menjadi tenang dan damai. Apa kau sanggup menjalaninya ? Vibhisana menjawab, aku
akan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran demi
kenyamanan dan keamanan kehidupan di dunia ini. Dewa Brahma sungguh sangat
senang mendengar hal tersebut. Sehingga Vibhisana diberi anugerah sikap
kelembutan dari tutur kata yang dapat mempengaruhi orang lain untuk berbuat
baik dan menghindari kejahatan yang akan dilakukan” (Kresna, 2012:113-114).
Keinginan Vibhisana sungguh mulia
dan anugerah itu menjadi prinsip hidupnya. Dengan karakter dan anugerah tersebut, Vibhisana
bagaikan permata yang bersinar di antara para raksasa. Karakter yang berpegang
teguh pada kebenaran dan berani menentang tindakan-tindakan adharma menyebabkan
Vibhisana sering berselisih dengan Raja Ravana. Kebenaran adalah dharma dan
dharma adalah nafas kehidupan. Sri Swami Sivananda (2003:72) menyatakan bahwa
dalam filsafat Waisesika, yang
meningkatkan dan membawa lebih dekat kepada Tuhan adalah benar, yang membawamu turun dan jauh dari
Tuhan adalah salah, yang dilakukan dengan tepat sesuai dengan kitab suci adalah
benar dan yang dilakukan dengan melanggar kitab suci adalah salah. Agama adalah
ajaran tentang kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu-gugat karena berasal
dari Tuhan. Kebenaran adalah sesuatu yang tidak berubah dan selalu benar. Jika
kebenaran itu adalah sesuatu yang benar hari ini, maka kebenaran itu juga akan
menjadi benar besok dan selamanya. Karakter Vibhisana berpegang teguh pada
kebenaran adalah kebenaran yang berdasarkan ajaran kitab suci yang merupakan
petunjuk dari Tuhan dan tindakan Vibhisana dibenarkan dalam kitab suci. Adapun
ajaran-ajaran kebenaran dalam kitab suci dipertegas dalam berbagai sloka-sloka,
antara laian :
a.
Ajaran
Kebenaran dalam Slokantara
Secara harafiah, Slokantara berarti untain sloka
mahawakya yang diyakini mengandung kebenaran hakiki. Kitab ini sejajar
kedudukannya dengan kitab Sarasamuccaya yang bersama-sama merupakan Kitab Smrti
(Sudharta, 2012:vii). Teks Slokantara dapat menjadi fundamen yang kokoh bagi
umat Hindu dalam menghadapi kehidupan yang penuh godaan duniawi yang
menyesatkan. Ketika Vibhisana telah lelah memberi nasehat kepada Ravana, hingga
pada akhirnya demi kebenaran, Vibhisana meninggalkan itu semua, karena tidak
ada yang melebihi dari ajaran kebenaran dan itu dibenarkan dalam kitab
Slokantara. Dalam kitab Slokantara Sloka
3 (7) dan 4 (9) di jelaskan :
Nāsti satyāt paro dharmo nānrtāt pātakam param,
triloke ca hi
dharma syāt tasmāt satyam na ’lopayet.
Terjemahan :
Tidak
ada dharma (kewajiban suci ) yang lebih tinggi dari kebenaran (satya), tidak
ada dosa lebih rendah dari dusta. Dharma harus dilaksanakan di ketiga dunia ini
dan kebenaran harus tidak dilanggar
(Sudharta, 2012:15).
Anityam yauwanam
rupamanityo drawyasamcayah,
anityah
priyasamyogastasmād dharmam samācaret.
Terjemahan :
Keremajaan
dan kecantikan rupa tidak langgeng. Timbunan kekayaan tidak langgeng. Hubungan
dengan yang dicinta pun tidak langgeng. Oleh karena itu harus selalu mengejar
dharma (kebenaran) karena itulah yang langgeng (Sudharta, 2012:17).
Vibhisana
mempunyai harta berlimpah, mempunyai wewenang sangat besar sebagai adik seorang
raja yang sangat berkuasa. Vibhisana mempunyai keluarga yang hidup sejahtera di
negeri Lańka. Akan tetapi demi kebenaran dia rela menukar itu
semua dengan menyeberang ke pihak Rama yang kekuatannya belum diketahui apakah bisa
mengalahkan pasukan Lańka. Sebuah pilihan yang penuh resiko
terhadap diri dan keluarganya, terutama apabila pasukan Rama kalah perang
melawan pasukan Ravana. Sesungguhnya manusia semua, tanpa kecuali sadar atau
tidak, tengah memetik buah dari masa lalu. Seperti yang dijelaskan dalam kitab
Slokantara sloka 43(40), bahwa seorang pelayan boleh meninggalkan rajanya
dengan alasan yang dijelaskan sloka ini yang berbunyi :
Tyajet swāminamatyugrāt krpanam tyajet,
Knpanadawisesajnamawisesat
krtaghnakan.
Terjemahan :
Seorang
pelayan boleh meninggalkan tuannya, jika tuannya itu sangat kejam atau kikir,
sangat kikir, apabila jika ia tidak mempunyai rasa perikemanusiaan, atau jika
ia tidak bisa membalas budhi
(Sudharta, 2012:133).
Jika keluarga bertindak yang bertentangan dengan
ajaran dharma dan menginjang-injak dharma maka tindakan yang harus di perbuat
adalah menasehati dengan perkataan dan menasehati dengan tindakan. Dia adalah
musuh bagi kebenaran. Membela kebenaran jangan pernah mengkaitkannya dengan
hubungan kekerabatan dan bertindaklah adil. Hal ini dipertegas dalam kitab
Slokantara sloka 25 (51) yang berbunyi:
Paro’pi hitāwām
bandhurbandurapyahitah parah,
ahito dehajo wyādhir hitamāranyamausadham
Terjemahan :
Walau
orang lain tetapi bermaksud baik adalah keluarga. Walau keluarga tetapi kalau
bermaksud jahat adalah orang lain. Sebagai halnya penyakit, walaupun timbul
dari diri sendiri tidaklah menyenangkan, sedangkan daun obat-obatan walaupun
dari hutan asalnya, sangatlah dihargai (Sudharta, 2012:85).
Dari Sloka tersebut dapat dijelaskan kondisi–kondisi
kapan waktunya seorang raja patut ditinggalkan. Ketika raja mementingkan diri
sendiri tanpa memikirkan nasib rakyatnya atas perbuatan menculik Sita, ketika
itu juga penasehat raja harus berani membuka pintu hati sang raja agar mengubah
sikapnya. Sudah sepatutnya seorang penasehat memberikan arahan dan jalan
kebenaran. Namun apa jadinya jika seorang penasehat yang jujur dan bijaksana,
tetapi raja tidak memperdulikannya bahkan mengusirnya. Jika seorang raja sudah
bertindak sedemikian jahatnya dan tidak menghiraukan cahaya kebenaran,
tinggalkanlah raja yang bersifat demikian. Seketika penasehat raja yang
bijaksana meninggalkannya, seketika itu pula cahaya akan padam. Akibatnya
kegelapan dan nafsu yang menyelimutinya yang menyebabkan raja menjadi tersesat
dan terjerumus ke dalam lubang kehancuran.
Vibhisana
adalah ornamen yang paling indah seperti permata. Dia telah memahami bahwa
negara hanya merupakan maya yang tidak abadi yang berguna bagi peningkatan
kesadaran, sedangkan dharma adalah kebenaran yang benar-benar nyata. Vibhisana
secara tidak langsung telah memuliakan dan mensucikan kaum Raksasa.
b. Keagungan
Dharma dalam Kitab Sarasamuccaya
Untuk mencapai kebahagiaan itu orang
harus mengamalkan ajaran kebenaran dengan sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu,
marilah amalkan ajaran kebenaran dimulai dari diri sendiri, orang lain dan
lingkungan sekitar. Dharma juga sering didefinisikan sebagai jalan dua arah
yaitu pravrtti dan nivritti. Pravrtti adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan dunia luar
atau dunia lahiriah. Sedangkan nivrtti adalah
hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan batiniah (Sri Satya Sai, 2008:69). Dengan mengamalkan ajaran kebenaran,
seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Dalam kitab Sarasamuccaya dijelaskan
tentang keagungan dharma atau kebenaran, yaitu :
1.
Mengamalkan
ajaran dharma dengan sebaik-baiknya memberi jalan untuk mendapatkan
kebahagiaan, baik jasmani maupun rohani. Dalam Sloka nomor 12 dijelaskan :
Kamarthau lipsamānastu
Dharmmamevāditascaret
Nahi dharmmādapetyārthah
Kāmo yapi kadācana
Terjemahan:
Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka
seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu, tak tersangsikan lagi,
pasti akan diperoleh artha dan kama itu nantinya, tidak aka nada artinya jika
artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma (Kajeng, 2005:15).
Dari
sloka di atas, jika ingin mendapatkan artha dan memuaskan nafsu, hendakanya
harus memahami dharma. Karena dharma akan mengantarkan manusia untuk memperoleh
artha dan pemuasan nafsu dengan jalan yang benar. Tetapi untuk menegakan
pengamalan ajaran dharma yang menyimpang, nafsu harus di kendalikan. Pemuasan
nafsu yang berlebihan adalah penyebab dari kehancuran. Sebagai contoh, Ravana
yang menculik Sita secara paksa karena tergoda oleh nafsu yang membutakan mata
hatinya. Oleh karena itu, kendalikan kama yang dapat merusak tatanan ajaran
dharma. Jika sudah demikian, maka kepuasan pasti akan diperoleh dan kepuasan
yang dapat berdasarkan tindakan dharma.
2.
Dharma
adalah penyelamat bagi mereka yang teguh budhinya, walaupun ia harus berkelana
dan meninggalkan semua yang dimikili demi menegakan dharma. Dalam sloka nomor
18 dijelaskan :
Dharma sadā hitah
pumsām
Dharmacaivācrayah
satam
Dharmallokāstrayastāta
Prawartatah
sacarācarāh
Terjemahan :
Dan keutamanan dharma itu sungguhnya merupakan sumber
datangnya kebahagiaan bagi mereka yang melaksanakannya, lagipula dharma itu
merupakan perlindungan orang yang berilmu, tegasnya hanya dharmalah yang dapat
melebur dosa triloka dan jagat tiga itu
(Kajeng, 2005:18).
Dari sloka di atas, dapat dijelaskan
bahwa untuk mencapai kebahagiaan maka bertindaklah sesuai dengan ajaran dharma.
Tetaplah berada dijalan dharma, walau terkadang jalan dharma menyakitkan dan
butuh pengorbanan. Tindakan Vibhisana yang meninggalkan keluarga dan rakyatnya
adalah untuk menegakan kebenaran di negerinya. Vibhisana ingin menunjukan,
inilah jalan kebenaran yang harus dilakukan. Dari sloka diatas pengamalan
ajaran dharma dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu :
1)
Dalam
kehidupan sehari-hari hendaknya dipertimbangkan baik itu pikiran, perkataan
maupun perbuatan.
2)
Dharma
adalah universal dan tidak pilih kasih, ia berlaku di mana saja dan kapan saja.
Karena dharma adalah kebenaran tertinggi.
3)
Ada
harta yang tidak dapat hilang dan akan dibawa sampai mati, harta yang dimaksud
adalah perbuatan dharma.
4)
Orang
yang tekun melaksanakan dharma akan terhindar dari penderitaan, tidak perlu
khawatir sebab ajaran dharma selalu memberikan perlindungan.
Dalam wrhaspati tattwa dijelaskan
bahwa dharma adalah perbuatan mulia, yajna, tapa, dana punia, dan yoga (Putra
dan Sadia, 1998:21). Dengan mengamalkan ajaran dharma, maka seseorang akan
mencapai sorga dan berinkarmasi menjadi manusia rupawan dan dermawan.
4.3.5 Nasehat Kebenaran Vibhisana
kepada Ravana
Ada pepatah yang mengatakan bahwa
keberhasilan tergantung pada nasehat orang bijak. Vibhisana merupakan penasehat
raja dan selalu menjalankan tugasnya dengan baik. Ketika Vibhisana bertemu
dengan Hanoman, Vibhisana berdialog dengan Hanoman, seperti yang diuraikan
dalam teks :
“Wahai Hanuman, engkau sungguh
beruntung telah dipilih sebagai Duta Sri Rama. Tahukah wahai Hanuman, mengapa
saya yang berdoa setiap hari terhadap Sri Rama belum dapat bertemu Sri Rama?”
Hanuman menjawab: “Pangeran Vibhisana, karena senantiasa doa maka Pangeran
akan memperoleh kesempatan dharsan,
bertemu muka dengan Sri Rama. Akan tetapi sekedar berdoa kurang bermakna, doa
harus diikuti perbuatan nyata. Paling tidak Pangeran harus menyuarakan
Kebenaran. Karena yang paham diam, maka
negeri Lańka mengalami carut-marut dalam penegakan dharma.” (Anandas
Ra, 2004:122).
Dari
dialog tersebut, keberanian Vibhisana muncul untuk menasehati Ravana, karena
tindakannya telah menyimpang dari ajaran dharma. Ia mengetahui
betul kaidah dharma yang harus di jalani sebagai seorang penasehat raja.
Vibhisana adalah orang yang mahir dalam seni berbicara. Dari tutur bicara,
Vibhisana tahu apa yang harus diucapkan, kapan dan dimana ia harus berbicara.
Sesuai dengan karakter Vibhisana yang tenang dan sopan mencoba untuk menasehat Ravana.
Ternyata umur tidak bisa menjadi jaminan
seseorang untuk bisa berpikir lebih dewasa dan bijak. Ibarat pepatah
mengatakan, “lebih duluan yang tua merasakan garam kehidupan tetapi belum tentu
bisa berpikir bijak”, Vibhisana yang lebih muda tetapi berpikir dewasa dan
tidak ada salahnya Vibhisana menasehati Ravana. Karena yang menunjukan
kedewasaan seseorang dalam kehidupan bukan dari usianya, namun dari karakter
yang baik, ucapan dan tindakan yang bijaksana. Di dunia ini akan mudah untuk
mencari orang yang akan menyenangkan hati dengan kata-kata yang manis, akan
tetapi akan sangat sulit mencari orang yang menyuarakan kebenaran dengan tegas.
Dunia ini bagaikan dijatuhi racun oleh perbuatan Ravana. Oleh karena itu, harus
ada penawar racun agar dunia terselamatkan. Nasehat yang jujur ibarat pil pahit
namun pada akhirnya akan menyembuhkan. Kritik yang jujur sulit diterima,
terutama dari seseorang anggota keluarga, seorang teman, seorang kenalan atau
orang asing (Foster, 2008:78). Nasehat Vibhisana adalah amerta yang akan
menyelamatkan Ravana dan dunia ini. Adapun nasehat-nasehat dari Vibhisana untuk
raja Ravana, yaitu Vibhisana ingin agar Ravana
mempertimbangkan kekuatan musuh, mengembalian Sita dan menyembah Rama.
a. Mempertimbangkan kekuatan musuh
Tugas menjadi seorang penasehat adalah
menasehati tentang kebenaran, walau terkadang kebenaran itu menyakitkan. Namun,
jika nasehat itu diperuntukan untuk kepentingan bersama, seharusnya nasehat
tersebut dipertimbangkan. Pasukan Lańka terlalu menganggap remeh pasukan
Wanara, sehingga mereka semua menjadi sombong. Tetapi, mempertimbangkan
kekuatan musuh adalah suatu kebijakan yang sangat tepat. Seperti yang diuraikan
dalam teks, dijelaskan bahwa :
“Aku telah
mendengar tentang Rama. Dia adalah orang yang selalu berhati-hati dan penuh
pertimbangan akan selalu didukung oleh para Dewa. Rama adalah seorang yang
selalu jaya dan yang terpenting adalah
Dewa ada dibelakangnya. Pertimbangkanlah kekuatan Hanoman, tidak boleh
merendahkan kekuatan musuh” (Subramaniam, 2003:13).
Dari kutipan di atas, dapat dilihat
sosok Vibhisana yang bisa menilai dan menimbang kekuatan musuh. Sudah sangat
jelas, kesalahan ada dipihak Ravana, karena menculik istri Rama. Seharusnya
tidak ada peperangan, namun yang harus dilakukan adalah mengembalikan Sita dan
memohon maaf kepada Rama. Tidak boleh meremehkan musuh, walau seorang raja
memiliki kekuatan yang luar biasa dan tidak terkalahkan. Karena dengan demikian
hanya akan menimbulkan sifat keakuan yang sebenarnya akan membawa diri pada
kehancuran. Jangan pernah mengukur kekuatan musuh dari segi fisik dan jumlah.
Semua menteri dan pasukan raksasa Ravana memberikan nasehat penuh dengan
kesombongan yang merupakan ciri khas sifat dari para raksasa. Ravana adalah
orang yang bingung dan bodoh, kejam tak punya belas kasihan. Ravana ibarat
racun, supaya menjadi sehat, hendaknya menasehatinya.
b. Menasehati untuk mengembalikan Sita
Ketika mengambil
istri orang, itu adalah dosa yang paling besar, membunuh Brahmana adalah dosa
terberat dan terjahat. Kalau selingkuh, menyebabkan dosa pada istri dan dosa
pada suaminya dia. Ravana seharunya berani mengakui kesalahan, karena Sita bukan
istri yang diperebutkan dalam sayembara, melainkan dengan menculik dan itu
adalah tindakan yang sangat memalukan. Kejatuhan seseorang ada tiga yaitu tahta, harta dan wanita. Awal dari segala
bencana yang terjadi di negeri Lańka adalah akibat ulah memalukan rajanya
sendiri. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Kalian harus
menasehati agar dia mengembalikan Sita pada suaminya dan ini adalah jalan yang
terbaik. Vibhisana menoleh kearah Ravana dan berkata, kembalikan Sita pada
Rama. Maka selanjutnya kau akan terbebas dari segala kekhawatiran dan kamipun
bisa bernafas lega serta hidup bahagia. Vibhisana memohon agar nasehatnya
didengar” (Subramaniam, 2003:21-23)
Memang dalam hidup ini akan sangat
mudah menemukan seseorang dengan kebohongan dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang manis. Tetapi sulit
mencari seseorang yang jujur dan tulus dari hati, seperti tindakan lantang dan
berani Vibhisana yang menyuruh Ravana untuk mengembalikan Dewi Sita. Karena dengan mengembalikan Sita, berarti
Ravana menjunjung tinggi nilai keagungan martabat leluhurnya, Ravana akan
tercatat sebagai seorang raja yang cinta damai, Ravana akan menjadi raja yang
pandai menghargai hak dan nilai budhi seorang raja yang luhur, dengan keputusan
itu Ravana akan dihormati sejarah sebagai seorang raja yang mengutamakan cinta
kasih dan Ravana akan dihormati para Dewa dan umat manusia diseluruh dunia (Pratikto, 1983: 348-349).
Jika Ravana dikaitkan dengan jaman
sekarang ini, Ravana akan dicap sebagai pemimpin yang tidak bermoral oleh
rakyatnya sendiri. Bukannya mempertahankan daerah kekuasaan tetapi
mempertahankan istri orang lain. Seharusnya tidak ada rakyat yang patut untuk
membelanya. Tetapi sangat disayangkan, karena pengaruh sifat keraksasaan mereka
ikut terjerumus oleh nafsu rajanya Ravana. Namun Vibhisana memang sungguh
berbeda, Vibhisana ibarat permata didalam lumpur. Walau dikotori oleh lumpur tetap
saja akan menjadi permata yang indah. Vibhisana yang berada di lingkungan para
raksasa tetapi tetap bisa memancarkan cahaya kebenaran, bahkan tidak
terpengaruh oleh lingkungan tempat dia berada. Seperti pernyataan Vibhisana
kepada Ravana “sekarang apa tujuan berperang? hanya bersitegang mempertahankan
istri orang lain? Bukakankah nama paduka yang agung dan berwibawa akan runtuh
karenanya?”(Pratikto, 1983:349).
Dengan demikian nasehat–nasehat yang
disampaikan oleh Vibhisana sungguh agung dan mengarahkan kejalan kebenaran. Apa
yang dipertahankan oleh Ravana itu adalah sesuatu yang tidak sepatutnya
dipertahankan. Karena Sita adalah racun yang telah membutakan mata Ravana.
Racun yang akan membunuh kejahatan para raksasa. Sita ibarata kekuasaan yang
dipertahankan untuk kepentingan Ravana sendiri tetapi mengorbankan rakyat Lańka
untuk mempertahankannya. Ravana telah dipengaruhi oleh Sad Ripu karena tidak
bisa mengendalikan keinginannya. Andai saja Ravana mempertahankan wilayah
kekuasaan, peneliti mempunyai keyakin bahwa Vibhisana tidak akan membelot dan
membantu raja untuk berperang. Namun pada kenyataannya apa yang telah
dipertahankan Ravana telah berseberangan dengan sendi–sendi ajaran kebenaran.
c. Menasehati agar Ravana menyembah
dan bersahabatan
Vibhisana menasehati Ravana agar
menyembah dan bersahabat dengan Rama. Seperti yang diuraikan dalam teks
dijelaskan bahwa “tuanku, mohon dengarkan nasehatku, ambil permata-permata
berhargamu dan bawalah Sita kepada Rama” (Subramaniam, 2003:23). Nasehat untuk
menyembah dan bersahabat dengan Rama adalah nasehat yang sungguh mulia.
Peneliti mempunyai keyakinan jika Ravana mau mendengarkan nasehat Vibhisana
maka kerajaan Lańka
akan semakin jaya. Menyembah dan mengakui kesalahan adalah tindakan kesatria.
Dengan menyembah Rama, sebenarnya Ravana akan berumur panjang karena terbebas
dari kematian.
Namun karakter Ravana yang angkuh
dan merasa hebat menyebabkan dia menjadi sombong dan tidak mau bersahabat.
Menyembah dan bersahabat dengan musuh, bukanlah tindakan pengecut. Karena
persahabatan akan melahirkan rasa saling mengasihi dan saling menyayangi.
Bahkan yang termulia akan semakin terhormat dan disegani oleh masyarakat.
Apabila Ravana mau mendengar nasehat Vibhisana, maka selamanya tidak akan
terjadi perang, tidak ada kerugian, tidak ada kematian, tidak ada kesedihan
yang diterima oleh Ravana dan pengikutnya. Nasehat Vibhisana adalah siasat yang
tetap, karena peperangan tidak akan menghasilkan apa-apa, yang ada hanya
kehancuran dan penderitaan. Apalagi Ravana berada dipihak yang salah dengan
menculik Sita, maka Ravana akan hancur.
4.3.6
Vibhisana
Berseberangan dengan Kepala Negara
Ketika Vibhisana berseberangan dan
berbeda pendapat dengan kepala negara banyak kalangan yang menyebutkan adalah
seorang penghianat. Namun peneliti
berpandangan lain, karena karakter Vibhisana yang berpegang teguh pada prinsip
kebenaran dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Vibhisana memberikan
saran dan nasehat, namun saran tersebut tidak diterima oleh Ravana. Sejak kecil
hingga dewasa, Ravana dan Vibhisana selalu berbeda pendapat, namun Vibhisana
tetap hormat kepada kakaknya. Adapun penyebab Vibhisana berseberangan dengan
kepala negara dan pergi meninggalkan negeri Lańka, yaitu :
a. Vibhisana diusir oleh Ravana
Vibhisana mencoba menasehati tentang
kebajikan kepada Ravana, Tujuan dari nasehat tersebut adalah untuk
menyelamatkan Ravana dari kehancuran. Namun Vibhisana diusir dari tanah
kelahirannya sendiri dan Vibhisana bingung karena diusir dan tidak tahu dia
harus pergi kemana, seperti yang diuraikan dalam teks dijelaskan bahwa :
“Vibhisana
dengan sabar berusaha mengingatkan sang raja atas tindakan bodohnya dan sang
raja malah menyakiti hatinya dengan kalimat kasar dan mengusirnya. Kesetiaan itulah
yang memaksa Vibhisana untuk memberikan nasehat yang sia-sia, karena Ravana
telah diikat di tali kematiaanmu” (Subramaniam, 2003:24-25).
Kepergian Vibhisana meninggalkan raja
Ravana, apakah bisa disebut dengan tindakan penghianatan. Apakah Vibhisana
berhianat? tergantung dari segi mana melihatnya. Kalau orang yang tidak
mengerti prosesnya maka Vibhisana disebut penghianat, tetapi jika
seseorang mengerti prosesnya bahwa
sebenarnya Vibhisana diusir dan mahkotanya ditendang maka akan berpendapat berbeda.
Karena tidak mungkin kebenaran itu mau diam ditempat yang salah. Mengapa dia
meninggalkan negeri ? karena dia di usir dan ditendang kehormatannya.
Semua nasehat yang diberikan oleh
Vibhisana menjadi tidak berarti lagi. Karena Ravana sudah dipengaruhi oleh Sad
Ripu dan Sapta Timira yang menyebabkan kegelapan (avidya) dalam dirinya.
Kalimat pedas dan hinaan yang dilontarkan dengan kasar oleh Ravana ditanggapi
dengan senyum oleh Vibhisana. Ravana terpengaruh oleh musuh-musuh dalam diri
ini. Sad Ripu adalah enam musuh dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang
mengakibatkan ketidakstabilan emosi (Putra, Jelantik dan Arawa, 2013:137). Kama
dan krodha adalah penyebab manusia kehilangan jati diri, seperti asap yang
menyelimuti api, menyebabkan diri kehilangan sifat aslinya. Memerangi Sad Ripu
harus dimulai dari membatasi keinginan atau kama, karena kama yang berlebihan
merupakan sumber penderitaan. Apabila tidak mampu menguasainya akan membawa
bencana dan kehancuran total bagi kehidupan manusia. Bhagawan Satya Narayana (ter., I Dewa Geda Malih, 1999:27–28)
menandaskan bahwa manusia harus berusahan menundukan manah dengan budhi yang
berkemampuan membeda–bedakan (viveka) sehingga dengan demikian manah akan dapat
menolong karena kalau tidak demikian, ia malah akan dirugikan.
b. Berseberangan akibat Ravana
menculik Sita
Dalam beberapa sloka dijelaskan bahwa, dimana
wanita tidak hargai dan dilecehkan disana akan terjadi kehancuran, seperti yang
dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 56 dan III. 57, yang berbunyi :
Yatra Naryastu Pujyante
Ramante Tatra
Devatah
Yatraitastu Na
Pujyante
Sarvastatraphalah
Kriyah
Terjemahan :
Dimana
wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugerahnya. Dimana
wanita tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang memberikan pahala mulia
(Pudja dan Sudharta, 2003:147).
Socanti Jamayo
Yatra
Vinasyatyacu
Tatkulam
Na Socanti Tu
Yatraita
Vardhate Taddhi
Sarvada
Terjemahannya :
Dimana wanita hidup dalam kesedihan,
keluarga itu akan hancur,
Tetapi di mana wanita tidak menderita,
keluarga itu akan bahagia
(Pudja
dan Sudharta, 2003:147).
Menahan istri orang adalah tindakan
yang bertentangan dengan dharma. Karena dibutakan oleh cintanya kepada Sita,
dengan cara apapun dilakukan untuk meluluhkan hatinya. Namun dengan teguh dan
pendirian yang kuat Sita tidak tergoda oleh rayuan dan tipu daya Ravana.
Menculik Sita dari Rama itu merupakan pertanda kehancuran Ravana, seperti yang
disebutkan dalam kitab Manawa Dharmasastra, bahwa seseorang akan hancur dan
menderita karena memperlakukan wanita secara semena–mena. Cinta seorang wanita
tidak bisa dipaksakan. Jangan bersifat seperti Ravana yang memaksakan kehendak
dan nafsunya pribadi tanpa mengindahkan kaidah–kaidah ajaran agama. Sungguh
sulit untuk memberi saran kebaikan kepada orang yang sedang dimabuk oleh nafsu.
Akan tetapi sangat sulit untuk mencari seseorang yang menyuarakan kebenaran
dengan tegas. Dengarkan dengan hati yang bersih dan hening. Vibhisana
bersumpah, hamba adalah adik sekandung yang sudah sewajarnya rela mati bersama
disamping paduka. Tetapi hamba ingin mati dengan tujuan dan cita–cita yang
benar. Pertimbangkan apa guna faedah perang ini (Pratikto, 1983:350). Setelah
itu ia mohon diri untuk bersiap–siap pamit dan meninggalkan Lańka.
Jika tetap membela Ravana, berarti
Vibhisana membela kejahatan yang sangat bertentangan dengan prinsipnya.
Vibhisana bertentangan dengan raja Ravana bukan berarti bertentangan dan
melawan negara tetapi dia ingin menunjukan tentang kebenaran kepada negaranya
yaitu Lańka. Vibhisana telah merubah segalanya. Jika tidak ada keberanian maka
kejahatan semakin merajalela. Menyuarakan kebenaran memang sangat sulit,
apalagi kebenaran itu disuarakan hanya sendiri. Tetapi yakinlah kebenaran pasti
akan menang dan jaya kembali. Walaupun sendiri tidak perlu takut untuk menyuarakan
kebenaran. Jika bukan Vibhisana yang merubah siapa lagi. Semua itu telah
dilakukan oleh Vibhisana dengan prinsipnya dan perubahannya untuk negeri Lańka.
c.
Kebenaran
ada dipihak Rama
Dalam
dharma melawan adharma, Vibhisana berpendapat bahwa, kebenaran itu hanya satu,
dimanapun dan kapanpun. Kebenaran itu dharma abadi, maka artinya sama dan
kebenaran itu ada dipihak Rama. Rama adalah avatara dari Dewa Wisnu yang turun
ke dunia untuk menegakan dharma. Ketika adharma merajalela dan dharma
diinjak-injak, maka turunlah Dewa Wisnu untuk menyelamatkan alam semesta dan
mahluk cipataan-Nya dari kehancuran. Dalam Bhagavad Gita Bab IV sloka 7 dan 8
dijelaskan :
Yadā yadā hi dharmasya
glānir bhavati
bhārata
abhutthanam adharmasya
tadātmānam srjāmy aham
Terjemahan
:
Sesungguhnya manakala dharma
berkurang kekuasaannya dan tirani hendak merajalela, wahai Arjuna, saat itu Aku
ciptakan diriku sendiri (Pudja, 2004:109).
Paritrānya sadhūnām
vināśāya ca duskrtām
dharma samsthāpanarthāya
sambhavāmi
yuge-yuge
Terjemahan
:
Untuk melindungi orang-orang baik
dan untuk memusnakan orang yang jahat, Aku lahir ke dunia dari masa ke masa,
untuk menegakan dharma (Pudja, 2004:110).
Dari
dua sloka tersebut, ketika makin memudarnya kekuatan dharma di dunia ini, maka
Tuhan akan turun sendiri ke dunia mengambil wujud tertentu yang sangat sulit
sekali ditebak. Ketika Ravana berperilaku sewenang-wenang dan menggemparkan
ketiga dunia, para Dewa menghadap Dewa Brahma untuk memohon bantuan untuk
mengatasi sikap jahat Ravana, seperti yang diuraikan dalam teks Ramayana bahwa
Dewa Brahma telah memberkati Ravana dengan kekuatan yang tidak akan mati oleh
Dewa, Danawa, Yaksa dan Gandharwa, tetapi Ravana tidak mempertimbangkan untuk
meminta anugerah agar tidak mati ditangan manusia (Subramaniam, 2004:26). Oleh
karena itu, Ravana akan dibunuh oleh manusia dan vanara, dalam uraian teks
Ramayana dijelaskan:
“Narayana mempertimbangkan kata-kata
Brahma itu lalu bersabda, Jangan khawatir, aku telah membuat keputusan untuk
lahir di dunia manusia. aku akan menghancurkan Ravana beserta kroni-kroninya
dan aku tidak punya tujuan lain selain itu. Narayana lalu berkata, untuk
membantuku dalam misi ini, maka kalian semua juga harus lahir ke dunia. Karena
Ravana lupa meminta berkat kekebalan terhadap binatang, seperti kera dan
beruang. Oleh karena itu, aku minta kalian juga lahir dalam wujud kera-kera
untuk membantuku jika waktunya sudah tiba” (Subramaniam, 2004:28).
Dharma di dunia ini kian hari kian menurun
dari jaman Satya Yuga, Treta Yuga, Dvapara Yuga dan Kali Yuga. Dewa Wisnu turun
dan menjelma menjadi Rama pada jaman Treta Yuga. Bisa melayani dan membantu
avatara dalam menjalankan misinya adalah suatu tindakan yang sangat mulia dan
tindakan itu sudah dilakukan oleh Vibhisana yang bergabung dengan Rama demi
membela dharma yang kian merosot di negerinya Lańka dan dunia. Kasih yang
dipancarkan oleh Rama pada akhirnya akan lebih berkuasa dibandingkan kebencian
dan kekejaman. Ketika Ravana gugur di medan perang, Vibhisana menjadi sedih
dan Mandodari menangis. Seperti yang diuraikan dalam teks Ramayana, dijelaskan
bahwa :
“Aku tahu siapa Rama. Ia adalah penguasa dari
semua Dewa yaitu Narayana. Beliau adalah yogi agung, paramatman yang merupakan
asal muasal segala sesuatu, kebenaran tiada berawal, pertengahan dan berakhir.
Beliau adalah yang abadi. Beliau adalah penguasa tiga dunia ini. Dengan tujuan
melakukan kebaikan untuk dunia manusia dan para Dewa beliau menyamar menjadi
manusia dan para Wanara ini adalah inkarnasi para Dewa dalam wujud kera”
(Subramaniam, 2003:177).
Dharma pasti
menang dan adharma kalah. Vibhisana dan Mandodari sudah berusaha untuk
menasehati Ravana, karena mustahil bagi manusia biasa, apalagi raksasa untuk
mengalahkan Rama. Seorang raja yang jaya dan berkuasa, namun tidak dapat
mengendalikan nafsu dan keinginannya menyebabkan kehancuran. Nasehat seorang
istri haruslah didengar, karena istri adalah sumber kasih sayang dan merupakan
sakti yang tidak dapat dipisahkan. Ravana terlalu sombong dengan kekuatannya,
akibat kekuatan yang tak terkalahkan itu mata hatinya menjadi buta. Ravana
tidak sadar bahwa Rama adalah Avatara dari Dewa Wisnu. Vibhisana sesungguhnya
ingin mengabdi kepada orang yang bijaksana dan benar-benar mengayomi dunia dan
Vibhisana melaksanakan kewajiban untuk meyelamatkan negara (Nirdon, 1998:66).
Dari
pernyataan Vibhisana tersebut terungkap secara nyata alasan mengapa Vibhisana
mendatangi Rama. Karena sesungguhnya Vibhisana sudah berusaha untuk menasehati
Ravana. Kematian Ravana adalah bukti nyata yang diyakini Vibhisana, bahwa
mereka yang mengikuti ajaran agama akan terselamatkan. Rama adalah lambang
manusia yang memiliki sifat-sifat kedewataan sedangkan Ravana adalah lambang
manusia yang mempunyai sifat keraksasaan.
Nasehat yang diberikan tidak ditanggapi oleh Ravana,
sehingga Vibhisana berseberangan dengan Ravana. Kepergian Vibhisana bukanlah
tanpa alasan. Semua itu terjadi karena prinsip Vibhisana berbeda dengan Ravana.
Tetapi prinsip hidup Vibhisana adalah prinsip kebenaran. dengan demikian
Vibhisana telah berviveka dan mampu mengendalikan diri.
1)
Viveka
Pemilah–milahan
viveka adalah akal budhi,dengan mengetahui Tuhan sendirilah yang nyata dan yang
lain selain Tuhan tidak nyata. Diantara mahluk ciptaan Tuhan, hanya manusialah
yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam kitab
sarasamuccaya sloka nomor 2 dijelaskan :
Mānusah
sarvabhūteșu
varttate vai șubhāśubhe
aśubheșu samaviștam
śubhesvevāvakārayet
Terjemahan
:
Di antara semua mahluk hidup, hanya
yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik
ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk
itu. Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia (Kajeng, 2005:8).
Dari sloka diatas dapat dijelaskan bahwa,
manusia memiliki keistimewaan dibandingkan dengan mahluk lainnya. Oleh karena
itu, gunakanlah keistimewaan yang diberikan untuk menjalankan dharma menjadi
seorang manusia. Diantara anak-anak Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya Vibhisana
yang berwujud manusia dan yang lainnya berwujud raksasa. Vibhisana menasehati
Ravana, Vibhisana sudah tahu mana yang benar dan pihak mana yang salah.
Vibhisana dengan semangatnya memberikan nasehat dan saran untuk mengembalikan
Sita, karena Vibhisana tahu Ravana dan pasukannya berada dipihak yang salah.
Vibhisana telah bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang maya, berarti dia
telah sadar akan jati dirinya yang sejati. Karena manusia adalah bagian terkecil dari yang
nyata. Pergunakan viveka jika pikiran berkelana kearah yang tidak nyata.
2). Pengendalian Diri
Dengan adanya
viveka seseorang telah bisa memilih yang baik dan menghindari yang salah. Dalam
hidup ini, seseorang memiliki dua unsur yang selalu berdampingan yaitu unsur
baik dan unsur buruk, unsur dewata dan unsur raksasa. Kendalikan diri ini agar
terhindar dari malapetaka. Kendalikanlah pikiran, perkataan dan perbuatan
sehingga segala daya menuju kepada yang baik. Dharma mengendalikan orang menuju
kepada kebajikan dan pada akhirnya mendapatkan kelepasan duniawi ini.
Dasa
Yama Brata adalah sepuluh jenis pengekangan diri berdasarkan upaya individu
untuk menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan (Putra, Jelantik dan
Argawa, 2013:134). Dalam kitab Sarasamuccaya 259 disebutkan bahwa :
ānrcamsyam ksamā satyamahinsā dama ārjavam,
prītih prasādo mādhuryam mārdavam ca yamā daca
Terjemahan
:
Inilah brata
yang disebut yama, perinciannya demikian: anresangsya, ksama, satya, ahimsa,
dama, arjawa, priti, prasada, madhurya, mardawa, sepuluh banyaknya; anresangsya
yaitu harimbawa tidak mementingkan diri sendiri, ksama yaitu tahan akan panas
dan dingin, satya yaitu tidak berkata bohong, ahimsa yaitu berbuat selamat dan
tidak membunuh, dama yaitu sabar serta dapat menasehati diri sendiri, arjawa
adalah tulus hati dan berpegang teguh pada kebenaran, priti adalah sangat welas
asih, prasada adalah kejernihan hati, madhurya yaitu manis pandangannya dan
manis perkataannya, mardhawa adalah kelembutan hati (Kajeng, 2005:195).
Dalam
ajaran Dasa Yama Brata, Vibhisana memiliki karakter yang arjawa, yaitu dapat
mempertahankan kebenaran dan berpegang teguh pada kebenaran. Berbeda dengan
karakter Ravana yang diperbudak oleh nafsu dan pengaruh Sad Ripu. Sad Ripu adalah enam musuh dalam
diri manusia yang selalu menggoda dan yang menyebabkan ketidakstabilan emosi
(Putra, Jelantik dan Argawa, 2013:137). Oleh karena itu Sad Ripu harus
dikendalikan. Ketika kama, lobha, krodha, moha, mada dan matsarya ini
mempengaruhi akan menyebabkan hancurnya hidup manusia.
a.
Kama
adalah keinginan atau hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan;
b.
Lobha
adalah sifat tamak yang ingin selalu mendapatkan lebih;
c.
Krodha
adalah kemarahan yang melampaui batas;
d.
Moha
adalah kebingungan yang menyebabkan tidak fokus;
e.
Mada
adalah kesombongan, kemabukan yang menyebabkan gelapnya pikiran;
f.
Matsarya
adalah iri hati atau dengki yang menyebabkan rusaknya hubungan kekerabatan
seseorang.
Selain Sad Ripu sebagai unsur
sifat-sifat yang selalu memengaruhi manusia, terdapat juga tujuh unsur
kegelapan yang disebut dengan Sapta Timira. Adapun bagian-bagian dari Sapta
Timira, yaitu :
a. Surupa berarti kecantikan atau kebagusan
wajah. Kecantikan atau ketampanan yang disalahgunakan akan membuat orang
itu sombong. Hal ini yang menyebabkan kehancuran.
b. Dhana berarti kekayaan atau harta benda
yang melimpah. Kekayaan yang digunakan dan didapat bukan melalui jalan dharma
menyebabkan orang menjadi angkuh, sombong, menghina orang lain, dan sebagainya.
c. Guna berarti kepintaran atau kepandaian.
Jika kepandaian ada pada orang yang bermoral tidak baik seperti teroris,
koruptor, penipu, dan sebagainya maka akan menyebabkan kekacauan.
d. Kulina berarti keturunan atau
kebangsawanan. Orang yang berasal dari keturunan keluarga terhormat, seperti
bangsawan, putra raja akan dihormati. Jika dengan keturunan ini seseorang
menjadi sombong, menghina orang lain, hal ini yang menyebabkan kegelapan.
e. Yohana berarti masa remaja. Seseorang pada
masa muda memiliki pendirian yang labil sehingga mudah terpengaruh ke hal–hal
yang negatif.
f. Sura berarti minuman keras (yang
memabukan). Minuman keras tentunya harus dihindari, karena minuman ini dapat
menyebabkan mabuk. Banyak akibat buruk yang ditimbulkan karena mabuk seperti
tindakan tindakan kriminal, kecelakaan lalu lintas dan lain-lain.
g. Kasuruan berarti keberanian. Keberanian yang
tidak terkontrol akan menyebabkan kehancuran, seperti setiap orang yang ditemui
ditantang untuk bertarung dan pada akhirnya terjadi perkelahian. Akibat dari
perkelahian tersebut adalah kehancuran dan kesengsaraan.
Orang yang selalu
bertindak adharma dikarenakan tidak bisa mengendalikan Sad Ripu dan Sapta
Timira. Berperang melawan Sad Ripu harus dimulai dari membatasi kama, karena
kama atau nafsu yang berlebihan adalah sumber dari penderitaan. Dengan
terkendalinya kama tersebut, maka otomatis elemen-elemen Sad Ripu lainnya sulit
berkembang dan terhindar dari kehancuran. Sifat-sifat Sad Ripu ini tidak bisa
dihilangkan dan akan selalu ada dalam diri manusia. Tanpa adanya sifat Sad Ripu
ini menyebabkan hilangnya kegairahan hidup. Contohnya adalah sifat matsarya,
karena tanpa adanya sifat matsarya ini manusia cenderung malas-malasan dan
tidak ada rasa untuk memacu diri agar menjadi manusia yang sukses.
Ketika manusia
diperbudak oleh nafsu dan tujuh macam kegelapan, seperti Ravana dan Ravana
menjadi pemimpin, apa yang harus dilakukan? mencari Vibhisana, karena dalam
setiap kerajaan Lańka, niscayalah ada seorang Vibhisana. Berpihaklah padanya
dan berdirilah bersamanya dan kesadaran Vibhisana pun ada berupa suara hati.
Berpihaklah pada dia, dan bebaskan diri dari kuasa Sad Ripu dan Sapta Timira. Berbeda
dengan Ravana, bersama dia ikut binasalah seluruh kaumnya. Apa salah kaumnya?
hanya satu yaitu mereka mengikuti Ravana dan tidak menggunakan akal sehat
mereka. Vibhisana yang menggunakan akal sehatnya terselamatkan.
4.3.7
Nilai-nilai
yang perlu diteladani dari Karakter Vibhisana
a. Ketekunan
Ketekunan adalah perilaku atau tindakan
yang bersungguh-sungguh, rajin dan penuh semangat. Vibhisana bersama
saudara–saudaranya bertapa selama bertahun–tahun untuk mendapatkan ilmu yang
diharapkan. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa:
Tiga
tahun lamanya Vibhisana dan saudara-saudaranya bertapa, hingga pada akhirnya
Vibhisana memperoleh anugerah dari dari Dewa Brahma. Vibhisana datang ke negeri
Lańka dan memiliki anugerah
dari Dewata sebagai mahluk sakti yang tidak terkalahkan (Pratikto, 1983:60).
Pada jaman sekarang ini, bertapa selama
sepuluh tahun untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diidentikan dengan orang yang
belajar pada pendidikan formal untuk mendapatkan bekal hidupnya. Hal ini bukan
perjuangan yang mudah. Tentunya Vibhisana dan saudara–saudaranya mengalami
banyak tantangan, kesulitan serta godaan. Namun demikian pada akhirnya
Vibhisana berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Sejak mulai bertapa, Vibhisana sudah didasari
oleh maksud–maksud dan cita–cita yang baik. Dia tidak mengharapkan dapat
menguasai dunia atau mendapat kekuasaan, tetapi lebih kepada cita–cita
kedamaian dan kelestarian hidup umat manusia. Hal tersebut dipegang teguh serta
dilaksanakan setelah tuntas perjuangan memperoleh ilmu. Ilmu itu diamalkan
dalam kehidupan sebenarnya, yaitu menentang kebatilan untuk menegakan
kebenaran.
b. Keteguhan hati
Keteguhan hati adalah kekuatan hati, di
mana hal yang mutlak diperlukan oleh manusia dalam keseluruhan aspek kehidupan
manusia. Keteguhan hati dapat berarti dalam keyakinan sradha kepada Sang Hyang
Widhi, komitmen terhadap ajaran-ajaran-Nya, teguh dalam memegang
prinsip–prinsip kebenaran dan kuat dalam memperjuangkan keyakinan yang
bersumber dari hati nurani. Dalam teks dijelaskan, ketika Vibhisana menjawab
pertanyaan Ravana, “hamba tetap pada pendirian semula, bila paduka ingin tetap
menjadi raja agung di negeri Lańka,
kembalikan Sita” (Pratikto, 1983:348).
Keteguhan hati mengantarkan seseorang
meraih kebijaksanaan dan kemuliaan dalam hidupnya. Keteguhan hati menjadi
cermin kepribadian seseorang, karena menunjukan keyakinan kebenaran yang
ditempuh. Dalam teks dijelaskan :
Seorang
kakak harus diperlakukan sebagai seorang ayah. Akan tetapi, tuan kau telah
menolak untuk berjalan di atas rel dharma. Aku berrmaksud menyelamatkanmu. Aku
punya satu keinginan dalam hatiku dan itu adalah kebaikan dan keselamatanmu
(Subramaniam, 2003:25).
Ketika seseorang mampu mendengarkan
bisikan hati, dalam kebenaran dan kebaikan, tidak mudah tergoda dengan tawaran
dan jebakan hawa nafsu dan ego pribadi,
tidak mudah dibelokan dengan tujuan yang tidak sesuai dengan keyakinan hati.
Keteguhan hati merupakan nilai yang dapat temukan pada karakter Vibhisana.
Vibhisana yang memiliki pola pikir dan pola tindakan berbeda dengan
saudara–saudaranya sangat teguh memegang prinsipnya. Sebagai orang yang luas
pengetahun lahir maupun batin, Vibhisana tahu persis apa yang akan dihadapi
dengan tindakan dan perilakunya. Vibhisana tidak pernah mau bergeming dari
prinsip–prinsip yang diyakini kebenarannya. Semua itu didasari oleh keyakinan
bahwa itulah laku seorang yang luhur budhinya, itulah laku seorang pendeta yang
arif dan bijaksana, dan dengan cara itu dia dapat mengamalkan ilmunya demi
kebenaran dan keadilan. Dia adalah gambaran orang yang sangat teguh hatinya.
Dia adalah orang yang betul–betul membela kebenaran yang diyakini. Dia berani
berkorban atas segala yang dimilikinya demi kebenaran.
c. Bijaksana
Bijaksana adalah tindakan dengan
menggunakan akan budhinya dalam menghadapi suatu masalah kehidupan dan
kecakapan dalam bertindak apabila dalam menghadapi suatu kesulitan. Dimana
terdapat nafsu, kebencian, kemabukan, amarah disitu tidak terdapat
kebijaksanaan. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan bahwa :
Vibhisana
berdiri dan berbicara dengan penuh kebijaksanaan, pertimbangkanlah kehebatan
Hanuman. Dia telah menyeberangi lautan samudera luas yang tak akan pernah bisa
diseberangi oleh mahluk duniawi. Karena tidak boleh merendahkan kekuatan musuh
dan jangan tergesa-gesa menafsirkan kekuatan mereka (Subramaniam, 2003:13).
Kebijaksanaan menjadi permata bernilai
bagi seseorang. Tanpa adanya kebijaksanaan maka kesalahan dan keserakahan akan
semakin sering dilakukan. Vibhisana adalah orang yang terkenal sangat luas
pengetahuannya, baik lahir maupun batin. Dalam kisah kehidupannya, Vibhisana
adalah orang yang menghargai pendapat orang lain, baik para orang tua,
penguasa, ataupun rakyat jelata. Dengan sifat yang demikian, Vibhisana selalu
bisa menimbang apa yang seharusnya dilakukan atau diputuskan terhadap suatu
masalah yang dihadapi.
d. Satria
Satria adalah suatu sifat yang selalu
membela kebenaran, tidak takut menghadapai kesulitan atau tantangan yang
bagaimanapun beratnya, serta mau mengakui kesalahan. Dalam hal pertentangan
antara kakaknya Ravana, dengan Rama, Vibhisana digambarkan tahu persis mana
yang benar dan mana yang salah. Atas dasar tersebut, Vibhisana berani
mengesampingkan nilai “berbakti” kepada raja Ravana, karena tujuan Vibhisana
adalah untuk membela kebenaran dan keadilan. Dia berani menasehati, meminta dan
menganjurkan kakaknya untuk mengembalikan Sita kepada Rama, serta meminta maaf
kepada Rama atas kesalahan yang telah menculik Dewi Sita. Vibhisana berani
menasehati Ravana dengan pandangan yang berbeda. Seperti yang diuraikan dalam
teks, dijelaskan bahwa :
Mohon
kembalikan Sita pada Rama, aku tidak pernah takut mengorbankan nyawa, namun aku
mengkhawatirkanmu. Akan sangat mudah untuk mencari semilyar orang yang akan
menyenangkanmu dengan kata-kata manis. Akan tetapi akan sangat sulit mencari
orang yang mau menyuarakan kebenaran dengan tegas. Mohon selamatkan kota ini
dan dirimu sendiri (Subramaniam, 2003:25).
Vibhisana sadar betul bahwa tindakannya
itu akan membuat Rahvana murka. Walaupun demikian, Vibhisana tidak takut
dimarahi, disakiti dan bahkan diusir dari negara yang dicintainya demi membela
kebenaran. Dia rela meninggalkan kemewahan dan berbagai fasilitas yang
dimilikinya. Dia cenderung memilih kebenaran dan berbagai kesulitan dari pada
kesenangan tetapi menginjak–injak sendi kebenaran dan keadilan.
e. Berbakti
Berbakti adalah perbuatan yang menyatakan
setia, tunduk dan hormat kepada orang tua dan Tuhan Yang Maha Esa. Berbakti
berarti sikap dan perilaku terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus,
karena adanya perbedaan dalam usia dan kedudukan. Berbakti juga berarti menjunjung
tinggi pesan dan amanat yang diterima, khususnya dari ayah dan ibu. Karena
nasehat ayah dan ibu adalah doa dan anugerah yang suci. Sehingga pengertian
berbakti ini dapat pula terwujud dalam sikap tidak menolak terhadap pesan
orang, misalnya kakak, paman, bibi, bahkan kakek dan nenek. Betapa baktinya
Vibhisana kepada Ravana, supaya Ravana tidak hancur, Vibhisana menasehati dan
memperingati adalah pengabdian yang sungguh luar biasa. Simbol bakti adalah
selalu mengingatkan dan menghormati kakaknya Ravana, namun Ravana tidak paham,
hingga tega mengusir Vibhisana. Seperti yang diuraikan dalam teks, dijelaskan
bahwa :
Ia
memasuki ruangan istana, kemudian
Vibhisana mendekat dan bersujud dihadapan Ravana. Vibhisana adalah orang yang
mahir dalam seni berbicara. Ia tahu apa yang harus diucapkan, kapan dan dimana
saja (Subramaniam, 2003:15).
Vibhisana adalah orang yang berbakti yang
selalu menuruti aturan yang berlaku dalam segala perilaku dan tindakanya.
Sikapnya pun selalu sopan dan sangat santun. Misalnya menyembah dulu sebelum
mengucapkan sesuatu. Dia selalu memilih
kata dan bahasa yang halus dan rendah untuk mengutarakan pendapat pada orang
yang dihormati itu. Vibhisana tidak pernah membantah pesan dan amanat yang
datang dari orang tuanya, termasuk pesan ibunya untuk memberi peringatan dan
nasehat kepada kakanya Ravana.
Berdasarkan
rumusan masalah dan pembahasan yang telah diberikan, maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Vibhisana memiliki karakter berbeda dengan
saudara-saudaranya sehingga sering terjadi perselisihan akibat perbedaan
pendapat dan tindakan. Karakter dipengaruhi oleh lingkungan, pergaulan,
pendidikan dan karma. Ravana, Kumbhakarna, Surpanakha dan Vibhisana adalah anak
dari Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menjalani
hubungan terlarang karena membuka ilmu rahasia yang menyebabkan mereka jatuh
cinta. Dari hubungan tersebut lahirlah Ravana yang berwujud raksasa,
Kumbhakarna juga berwujud raksasa yang bertubuh besar dan Surpanakha yang
merupakan satu-satunya anak perempuan dari Rsi Wisrawa juga berwujud raksasa.
Seorang Rsi, tetapi melahirkan keturunan yang berwujud raksasa, akibatnya orang
mengejek dan Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi menjadi malu.
Semua itu bisa terjadi karena hubungan yang
terlarang dan tidak suci. Karena keinginan untuk memiliki putra yang lahir
berwujud sempurna, Rsi Wisrawa dan Dewi Sukesi berdoa, memohon ampun dan
memohon agar diberikan karunia seorang anak berwujud manusia sejati. Sehingga
lahirlah Vibhisana yang berwujud manusia. Itu semua terjadi karena doa dan
harapan Rsi Wisrawa dikabulkan oleh Dewa. Vibhisana terlahir karena doa yang
suci, sedangkan Ravana, Kumbhakarna dan Supanakha lahir karena hubungan yang
penuh dengan nafsu. Dari kelahiran itu, menyebabkan Vibhisana berbeda karakter
dengan saudara-saudaranya. Vibhisana berkarater baik, ketika Vibhisana bertapa
dan menjalani pendidikan, Vibhisana memohon anugerah dari Dewa Brahma, dia
meminta permohonan yang sungguh mulia, yaitu keselamatan dunia dan berharap
selalu berpegang teguh pada ajaran dharma. Berbeda dengan saudara-saudaranya,
yang menginginkan keinginan duniawi dan nafsu dunia. Sehinga prinsip hidup
Vibhisana yang membedakan karakter dia dengan kaumnya.
2.
Dari uraian yang telah dibahas, dapat
disimpulkan nilai filosofis yang terkadung dalam karakter Vibhisana, yaitu dari kelahirannya,
Vibhisana lahir karena permohonan dan doa yang suci. Jika dikaitkan dengan
jaman sekarang, sepasang suami istri hendaknya menjalani hubungan dengan
harmonis. Memohon anugerah agar memperoleh keturunan yang saputra dan tidak
hanya mengumbar nafsu yang mementingkan kenikmatan duniawi. Selain doa dan
harapan yang suci, kelahiran Vibhisana juga tidak terlepas dari ikatan karma.
Vibhisana adalah reinkarnasi dari Rsi Wisnu Anjali yang merupakan kerabat dari
Dewa Wisnu. Beliau turun kedunia untuk membantu Dewa Wisnu membina
kesejahteraan umat manusia. Dalam kehidupannya di negeri Lańka, Vibhisana bertugas
menjadi seorang penasehat raja. Vibhisana selalu bertentangan pendapat dengan
Rajanya, karena Ravana bertindak yang bertentangan dengan dharma. Dharma
seorang raja adalah melindungi rakyat dan menjadi panutan bagi rakyat. Tetapi
Ravana adalah raja yang selalu dipengaruhi oleh kama yang tidak terkendali.
Puncaknya adalah ketika Ravana menculik Sita dari Rama. Karena penculikan
tersebut, terjadilah pertentangan pendapat antara Vibhisana dengan Ravana.
Nasehat yang diberikan tidak dihiraukan dan Vibhisana diusir dari Lańka. Karena bertentangn
dengan prinsip hidup dan hati nurani, akhirnya Vibhisana pergi meninggalkan
raja dan bertemu Rama untuk memohon perlindungan. Kepergian Vibhisana dari Lańka dan bergabung dengan
Rama, bukanlah tindakan pembelotan dan penghianatan. Tetapi Vibhisana pergi
menghadap Rama, agar Rama dan pasukan Vanara tidak membunuh rakyat yang tidak
bersalah karena Vibhisana cinta kepada rakyat negeri Lańka. Sehingga pada akhirnya, setelah
kematian raja Ravana, Vibhisana diangkat menjadi raja negeri Lańka dan menjadi
raja yang adil dan bijaksana.
Vibhisana adalah permata bagi negeri Lańka, karena permata akan tetap
menjadi permata walau berada dilautan yang dalam dan akan menjadi sesuatu yang
berharga ketika permata itu diangkat ke permukaan. Seperti itulah karakter dan
prinsip kehidupan Vibhisana. Karena karakter yang berbeda,
menyebabkan semua itu terjadi. Dalam ajaran tri guna, Ravana melambangkan sifat
rajas, Kumbhakarna melambangkan sifat tamas dan Vibhisana melambangkan sifat
sattwam. Sedangkan saudara perempuannya, yaitu Surpanakha melambangkan sifat
kama. Akan tetapi jika tri guna ini bersatu dan seimbang, ibarat setir, gas dan
rem, maka akan menjadi sesuatu yang sangat berguna. Dalam filsafat Samkhya ada
disebut dengan wirupa dan swarupa parinama. Wirupa adalah ketika mereka
bersinergi dan bersatu. Sattwam, rajas dan tamas bergabung, maka kerajaan Lańka
menjadi sangat kuat dan jaya. Ketika
diusir, sattwam hilang, tamas tidur, rajas berdiri sendiri menyebabkan
kehancuran disebut dengan swarupa parinama. Dalam kehidupan manusia, ketika
terjadi swarupa parinama, maka rajas tidak bergerak angin pun tidak bergerak.
Sattwam, rajas dan tamas ini tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan
yang utuh. Sehingga ketika Vibhisana pergi meninggalkan Lańka dan saudara-saudaranya,
menyebabkan kehancuran pada pihak adharma dan kemenangan bagi yang berpegang
teguh pada ajaran dharma. Dewasa ini, tri guna tidak dapat dipisahkan, karena
saling berkaitan. Ketika pagi hari perbuatan yang dilakukan bersifat sattwam,
pada siang hari perbuatan yang dilakukan bersifat rajas dan pada saat sore hari
menjelang malam perbuatan yang dilakukan bersifat tamas. Dengan demikian, tri
guna adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalani kehidupan
didunia ini. Dari kerakter Vibhisana, terdapat nilai-nilai yang dapat
diteladani dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu ketekunan,
berbakti, bijaksana, satria dan
keteguhan hati.
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens, K. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Jelantik, Ida Bagus, et.al. Yudha Kanda, terj. Anak Agung
Inten Mayuni, I Wayan Ana, I Made Jendra, I Wayan Sukarma. Denpasar: ESBE buku, 2011.
Kajeng, I Nyoman. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita
Surabaya, 2005.
Kresna, Ardian. Cupu Manik Astagina Tragedi Maha Hebat
Pusaka Pemberian Batara Surya. Jogjakarta: Diva Press, 2012.
Lal, P. Ramayana. Jakarta: Gramedia, 1980.
Maswinara, I Wayan. Rg Veda. Surabaya: Paramita Surabaya,
2004.
Madrasuta, Ngakan Made. Petunjuk Untuk Yang Ragu. Jakarta: Media Hindu, 2013.
Madrasuta, Ngakan Made. Kamu adalah Tuhan. Jakarta: Media
Hindu, 2014.
Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2002.
Nashir, Haeder. Pendidikan Karakter berbasis Agama dan
Budaya. Yogyakarta: Multi Presindo, 2013
Notopertomo, Margono., Warih
Jatirahayu. 51 Karakter Tokoh Wayang
Populer.Klaten: Hafamira, 2000.
Nala. I Gusti Ngurah. Murddha Agama Hindu. Denpasar: Upada
Sastra, 1989.
Normies, Adam., Sri Sani Bagus,
Imron. Kamus Bahasa Indonesia.
Surabaya: Karya Ilmu, 1992.
Nirdon, Ki. Wija Kasawur (2). Denpasar: T.U Warta Hindu Dharma, 1998.
Oka, Gde Nyoman Jelantik. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya
Dharma, 2009.
Pratikto, Herman. Hamba Sebut Paduka Ramadewa:Ramayana.
Jakarta: Widjaya Jakarta, 1980.
Pudja. Gede. Bhagava Gita. Surabaya: Paramita Surabaya, 2004.
Pandit, Bansi. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita Surabaya, 2006.
Putra, I.G.A.G., I Wayan Sadia. Wrhaspati Tattwa. Surabaya: Paramita
Surabaya, 1998.
Putra, Ida Bagus Rai., Ida Bagus
Jelantik, I Nyoman Argawa. Swastikarana
Pedoman Ajaran Hindu Dharma. Jakarta: Parisadha Hindu Dharma Indonesia,
2013.
Purwanto, M. Ngalim. Psikologi
Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Rai Sudharta, Tjok. Ajaran Moral dalam Bhagavad Gita. Surabaya:
Paramita Surabaya, 2007.
Sadia, I Wayan. Melaksanakan Gita sehari-hari jalan menuju
Tuhan. Surabaya: Paramita Surabaya, 2010.
Saraswati, Sri Chandrasekharendra. Peta Jalan Veda. Jakarta: Media Hindu,
2009.
Subramaniam, Kamala. Ramayana Kanda VI, terj. I Gede
Sanjaya. Surabaya: Paramita Surabaya, 2003.
Subramaniam, Kamala. Ramayana, terj. I Gede Sanjaya.
Surabaya: Paramita Surabaya, 2004.
Subramaniam, Kamala. Srimad Bhagavatam, terj. Suwariyati. Surabaya: Paramita Surabaya,
2006.
Suhardi., Wisnu Subagyo. Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Ramayana
dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
kebudayaan, 1996.
Sura, I Gede. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Denpasar:
Hanuman Sakti, 2001.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV Alfabeta, 2012.
Soetriono., Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian.
Yogyakarta: C.V Andi, 2007.
Semiawan, Conny., Setiawan,
Yufiarti. Panorama Filsafat Ilmu.
Jakarta: Taraju, 2005.
S. Pendit, Nyoman. Glosari Sanskerta Kontemporer. Denpasar:
Sarad, 2009.
Titib, I Made. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita
Surabaya, 1996.
Tim Penyusun. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu Kementerian Agama Ri, 2012.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan
Skripsi. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta, 2013.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Tim Penyusun. Ensiklopedi Wayan Purwa I
(Compendium). Jakarta,tt.
Tim Penyusun. Sri Satya Sai.
Jakarta: Yayasan Sri Satya Sai Indonesia, 2008.
Wahana, Paulus. Nilai Etika Aksiologis Max
Scheler. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Yayasan Sanatana Dharmasrama
Surabaya. Intisari Ajaran Hindu.
Surabaya: Paramita Surabaya, 2003
Sumber Hasil Penelitian, Majalah
dan Skripsi :
Ananda, I Nyoman. “Pandangan Ramakrishna tentang Dunia dan Maya”,
Raditya, Desember 2013.
Arisetia, Dwi. “ Kajian Nilai
Pendidikan Tattva dalam dialog Yudhistira dengan Yaksa dalam Vana Parva.”,
Skripsi, STAH DN Jakarta, Jakarta, 2013.
Muliawan, I Gusti Ngurah. “ Kajian
Nilai Kesetiaan Hanoman kepada Rama dalam Ramayana.”, Skripsi, STAH DN Jakarta,
Jakarta, 2012.
Sugiarta, I Nyoman Arya. “Analisi
Pendidikan Karakter Prajurit Bangsa dalam Perspektif ajaran Hindu dalam Yudha
Kanda.” , Skripsi, STAH DN Jakarta, Jakarta, 2012.
Sumber internet :
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2125904-makna-filosofi (diakses pada tanggal 26–02–2014)
https://wayang.wordpress.com/category/wayang-karakter/tokoh-ramayana/(diakses tanggal 10-06-2014).
http://babusview.blogspot.com/2013/12/vibhisana-traitor-or-devotee.html\ (diakses tanggal 10-06-2014).
www.spdi.eu/tag/gambar-vibhisana/ (diakses pada tanggal 10-06-2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar